Aku lagi baik, nggak tau kenapa :p
Doakan aku yang baik-baik yaa, semoga semua doa baik temen-temen balik juga ke diri sendiri...
Eheee *idupin instrument mellow :'DHepi riding!!! Please vote, comment, share link cerita ini buat dijadiin rekomendasi ke temen2 kalian. Teng kyuuu ❤
***
Aku tertawa terpingkal-pingkal saat Tante Liana –Mamanya Elzan – mengirimkan foto kecil laki-laki yang baru saja kuterima ajakannya untuk hidup bersama selamanya itu. Dia memakai kemeja putih dengan aksen lipatan disamping bagian kancing, jas, dan dasi kupu-kupu bermotif pulkadot. Penampilan yang terlalu resmi untuk anak yang dengan mulut belepotan cokelat tengah berusaha meniup lilin dengan angka 8 diatas kue ulang tahun berbentuk karakter kartun kereta yang bisa bicara. Dia menggemaskan sekali.
“Jangan bilang-bilang Elzan, yaa,” pesan Tante Liana menyusul kemudian.
“Siap, Tante,” balasku cepat. Aku berharap Bunda tidak akan mengirimkan foto serupa versiku ke Elzan. Dia pasti akan menertawakannya habis-habisan persis seperti apa yang kulakukan sekarang.
Tante Liana mengirimkan sticker dua orang yang sedang kompak tertawa setelahnya. Kami memang menjadi lebih sering berkomunikasi, untuk membicarakan persiapan pernikahanku dan Elzan. Laki-laki itu benar-benar menepati janjinya. Dia tidak menghubungiku sama sekali, dan mengutarakan pendapatnya lewat Mamanya. Akupun begitu.
Kami sepakat kalau sebelum pernikahan, hubungan kami belum beralih kemanapun. Masih dua orang asing yang saling menatappun belum menjadi halal.
Keluarga kami tentu saja sempat protes. Dua orang yang sudah sepakat untuk hidup bersama selamanya dan hanya tinggal mengumumkan kesepakatan itu sesuai agama dan negara, tapi masih menganggap asing satu sama lain.Menurut mereka prinsip kami juga membuat proses persiapannya menjadi lebih ribet. Tapi aku bersyukur karena Elzan benar-benar menemaniku diatas jalan yang sama meski tidak mudah. Dia membuatku merasa tidak sendiri untuk menghadapi semua komentar yang mencecar dari berbagai pihak. Dan akhirnya, aku cukup kuat untuk tetap sepakat menjaga batasan kami sebisa mungkin.
Aku baru saja menutup aplikasi percakapanku dengan Tante Liana, saat gamis navy kotak-kotakku terkena cipratan genangan air hujan di depanku karena seseorang baru saja menginjaknya. Aku memang berteduh di depan toko yang berada di pinggir jalan, di dekat halte busway. Hujan sangat deras, dan aku tidak membawa payung.
“Maaf-maaf,” seru seseorang yang baru saja tak sengaja menginjaknya. Sepatu kets putihnya juga sudah berubah cokelat karena genangan itu.
“Tidak apa-ap...” Kalimatku terhenti saat menegakkan tubuh, setelah sibuk mengusap bagian gamisku yang basah. Pandangan kami bertemu, dan aku juga bisa melihat keterkejutan di wajahnya.
“Milka?”
“Reza?”
Tiba-tiba suasana menjadi canggung, padahal bukan hanya kami berdua yang berteduh di depan toko ini. Ada seorang Ibu berbadan gempal, yang tengah mengusap punggung anaknya seolah memberi kehangatan.
Reza meletakkan payung yang dia bawa. Lalu duduk berjarak dariku, melepas headseat yang tadi menyumpal telinganya, dan meletakkan buku lumayan tebal yang tadi dibawanya diantara kami. Itu kebiasaannya. Jangan bertanya aku tahu darimana, karena aku yang dulu adalah stalker legendaris Reza. Stalker paling hits di zamannya.
“Selamat,ya,” ungkapnya tiba-tiba. Aku hanya mengangguk, karena tahu ucapan itu untuk apa. “Maaf karena aku nggak bisa berbohong untuk bilang kalau aku ikut bahagia. Maaf karena aku masih butuh waktu untuk merasa seperti itu. Dan kurasa, lumayan lama,” lanjutnya lagi. Aku menggigit bibir bawahku mendengar kalimatnya. Bingung harus bagaimana menanggapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
EspiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...