Part 33

1.1K 148 62
                                    

Setelah hibernasi yang super lama, UAS yang sepanjang jalan kenangan dan super nguras pikiran, akhirnya part ini selesai :')

Aku udh sempet nyelesain part ini, bahkan nyaris dipublish. Tapi qodarulloh ketikanku hilang. Padahal ini part terpanjang, sengaja buat permintaan ma'af buat pembaca yg lama kugantung. Ini kenyataan, nggak ngada2. Padahal aku udh susah ngetik di HP karna laptopku ketinggalan di kos. Langsung nangis donk. Nyesek dan badmood seketika :'( sampe waktu itu pengen hapus aplikasi wattpad ini sangking dendamnya... *Hiksss #curcol

Dan sekarang, aku udah libur donkkk...
Jadi in syaa Allah aku bakalan rajin update klo readersnya juga rajin vote dan comment (tentu saja) :p

Btw, aku ganti cover baru. Buat yang mendalami karakter dan penampilannya dari awal, pasti tau donk mana Reza mana Elzaaan? Coba tebaaaak... Wkwk...

Makasih buat yang kemaren udah vote dan comment... Luv yu... ❤❤❤
heppi riding ol :)🔥
Jangan lupa vote, comment, dan follow authornya 🙏

***

Dedaunan pohon diluar sana terlihat bergerak sesekali karena tertiup angin. Meski terlihat sejuk, aku tahu udara panas diluar sana begitu menyengat. Aku bahkan masih sibuk mengusap keringat dengan tissu, sambil menikmati cahaya mentari yang menyelinap di sela dedaunan dari balik jendela kafe dengan Ac yang padahal bekerja dengan baik.

Renata baru saja memasuki mobil merahnya, meninggalkan setengah gelas milk shakenya yang belum habis karena panggilan mendadak. Juga meninggalkanku bersama pria yang saat ini menyeruput kopi americanonya sedikit canggung. Aku ikut meraih buble teaku mendekat, mengaduknya pelan searah jarum jam.

"waktu itu, kamu kenapa menangis?" tanyanya hati-hati, setelah berdehem pelan memecah kesunyian diantara kami. Aku menghentikan aksi mengadukku, lalu menatap laki-laki di depanku yang tengah melempar pandangannya keluar jendela. Dulu, jauh sebelum dia menyakiti perasaanku, duduk berdua seperti ini hanyalah angan-angan yang kupikir tidak akan mungkin terwujud. Bagiku yang dulu baru berhijrah, Reza adalah seseorang yang terlalu berlebihan untuk kuimpikan menjadi pasangan hidup. Bahkan hanya untuk memandangnya sedekat ini sekalipun.

Ya, kami tengah duduk berdua di dalam kafe. Sesuai janji, Renata memperkenalkanku dengan guru privat kakeknya yang tidak lain adalah Reza. Tentu saja kami terkejut pada awalnya. Aku tidak percaya, bahkan pertemuan yang kupikir akan terjadi dengan orang barupun ternyata berakhir dengan orang yang sedang ingin kutinggalkan untuk menjadi masa lalu.

Kupikir, aku tidak akan pernah bisa bertemu laki-laki ini tanpa membawa luka masa lalu. Kupikir aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membencinya. Kupikir aku tidak akan pernah baik-baik saja saat harus bertemu seseorang yang melepasku begitu saja saat aku sedang kuat-kuatnya mengenggamnya. Aku tidak tahu sejak kapan luka itu tidak lagi seperih dulu saat harus menatapnya seperti ini. Sisa debar yang dulu selalu berulah saat kami tak sengaja bersitatap itu hilang seiring berjalannya waktu. Entah ini bukti bahwa teori 'waktu yang akan menyembuhkan' itu memang benar, atau aku memang sudah menemukan debar lain yang lebih kuat? Entahlah...

Meski suasananya terasa aneh pada awalnya, tapi beruntungnya kami masih bisa bersikap profesional. Aku yang membujuk Reza agar mau bergabung dan menulis sebuah naskah untuk perusahaan kami, dan juga Reza yang justru tidak menyerah untuk menolak tawaranku meski sudah dibantu Renata. Sepertinya dia memang tidak tertarik untuk terjun ke dunia tulis menulis. Padahal jika Reza mau bergabung, itu akan menjadi keuntungan besar bagi perusahaan. Tulisannya akan tepat mengenai target pasaran.

Reza sedang menjadi perhatian publik akhir-akhir ini, terutama diantara aktivis dakwah. Tidak usah ditanya lagi seberapa banyak komentar para akhwat yang 'mengelu-elukan' nya pada setiap postingan instagramnya. Sebagiannya bahkan pernah membuatku cemburu tidak jelas.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang