Votenya kurang satu lagi mau 50 gaesss! Wkwk. Satunya bonus...
Pasti bakalan banyak yang ngingetin, "lama banget sih updatenya?" hahaha maapkeun sii... Ada banyak hal yang bikin aku lama publishnya dan nggak bisa aku uraikan alesannya disini, tapi makasih banget udah diingetin 😂Jan lupa vote dan commentnya yaa, pelishhhh 😅
***
Kepalaku benar-benar berat. Leherku juga terasa sakit. Badanku demam dan terasa menggigil. Aku memang terlalu banyak menangis akhir-akhir ini. Rasanya tubuh sekaligus hatiku sudah benar-benar lelah. Bunda sempat melarangku pergi bekerja, tapi aku berhasil meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja."Mbak Milka, dipanggil Pak Elzan." Aku baru saja meletakkan kopi panas di meja kubikel kecilku, saat Nadine datang dengan raut cemas. Firasat buruk menyergapku seketika.
"Oke, makasih, Nad." Aku segera menyambar tisu untuk membersihkan percikan kopi pada telapak tanganku karena membawanya dengan terburu-buru tadi. Sejenak mengatur napasku pelan, lalu terseok menuju ruangan Elzan.
Elzan tidak sendiri. Aku bisa melihat dari kaca ruangannya. Dia terlihat sedang ribut dengan wanita yang tempo hari juga berdebat dengannya di depanku. Dan aku tidak berminat mendengarnya untuk kedua kalinya, tentu saja. Aku pergi menjauh meski Elzan sempat melihatku berdiri dibalik kaca ruangannya.
"Siapa yang menyuruhmu pergi?" Aku segera berbalik. Elzan sudah ada di luar ruangannya, dengan wajah geram yang menakutkan. Entah karena masih terbawa emosi dari perdebatannya barusan, atau memang aku sudah berbuat kesalahan. Aku tidak tahu. Dan kalau boleh jujur, aku sebenarnya sedang tidak ingin tahu.
Aku segera mengikutinya yang kembali masuk ruangan. Masih ada Renata disana. Dia makin cantik dengan atasan blus putih yang dipadukan dengan luaran blazer berbahan tweed dengan color highlight putih. Dan tentu saja dengan senyum manis yang sepertinya selalu menghias wajahnya. Dia benar-benar cantik.
"Kamu serius ingin bekerja disini? Atau bekerja disini hanya kamu jadikan pelarian?" Aku yang sedang mengagumui Renata, terkesiap seketika saat Elzan melemparkan kalimat pedas itu.
"Apa?" tanyaku masih tak percaya.
"Aku memang menyuruh kamu segera memberi stok naskah, tapi bukan berarti kamu bisa asal-asalan begini." Elzan melemparkan naskah sampai ujung meja. Tepat di hadapanku. Aku memang tidak terlalu yakin kali ini sudah mencari naskah dengan benar, tapi bukan berarti aku siap menerima amukan ini. Wajahnya sungguh berbeda dari yang terakhir kulihat malam itu.
"Coba lihat ulang! Deskripsi naskah ini terasa membosankan dan terlalu melelahkan untuk dibaca. Logika peristiwanya benar-benar kacau. Kejadiannya nggak berurutan, bahkan ada yang nggak masuk akal. Belum lagi jalan ceritanya yang hambar dan benar-benar datar. Nggak akan berlebihan kalau aku menyebut naskah ini 'KACAU'."
"Maaf, Pak," cicitku ketakutan. Elzan benar-benar murka. Seharusnya wajar dia marah kalau naskahnya memang benar-benar sekacau itu, tapi entah kenapa sakit sekali rasanya mendapatkan amarahnya.
"Maaf? Aku memang nggak berhak untuk ikut campur urusanmu, tapi bukan berarti kamu bisa mengacaukan pekerjaan ini karena masalah pribadi," pekiknya lagi. Kedua tangannya mengepal, bertumpu diatas meja. Dia benar. Aku sudah mengacaukan pekerjaanku karena masalah pribadi. Tapi haruskah diungkit seperti itu?
"Elzan! Kamu berlebihan," sentak Renata membelaku. Dia segera mendekatiku, lalu mengusap lenganku pelan. "Sudah, kamu keluar dulu saja. Jangan diambil hati, biar aku yang bicara," bisik Renata menenangkan.
Aku segera menatap Elzan, tapi dia memalingkan pandangan. Membiarkanku pergi begitu saja, setelah Renata berhasil meyakinkanku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...