Hollaaa, ada yang nunggu cerita ini? Kalau ada, please vote dan commentnya yaa... Nggak sulit kok. Lebih mudah, daripada bikin malesku kumat. Wkwk.
Heppi riding :)
***
Terkadang aku benci perasaanku sendiri. Kesal pada caranya mengingkari janji yang telah kami setujui sebelum tidur. Antara aku dan perasaanku. Janji tentang menghapus sebuah nama, berhenti berharap banyak, lalu merayakan kehilangan rasa yang memang seharusnya tak pernah ada.
Janji itu selayaknya dongeng sebelum tidur. Agar aku berhenti menangis, lalu tertidur dengan cepat. Kenyataannya, memaksakan perasaan untuk beranjak dari tempatnya tersiksa tak semudah kelihatannya. Meski dia tahu lukanya akan semakin menganga, sakitnya akan semakin berdarah.
Aku ingin mengabaikannya, pura-pura tidak melihatnya sama sekali. Persis seperti apa yang sudah susah payah kurencanakan, jika pesan singkat Nadine terbukti benar. Meski seharusnya Reza tidak disana. Karena aku tahu laki-laki semacam Reza tidak akan menghampiri wanita yang bukan mahramnya. Belum terikat secara sah dalam agama. Kami sama sekali tidak pernah terlibat pertemuan empat mata yang benar-benar disengaja sebelumnya.Tapi aku benar-benar melihatnya, tepat saat suara mesin mobil Elzan tak terdengar lagi.
Awalnya kupikir rencana yang kubuat cukup mudah. Aku hanya harus pura-pura tidak melihatnya, masuk kantor, lalu menyibukkan diri dalam kubikel kecilku. Tapi perasaanku kembali berulah. Ingin rasanya mengutuk langkah kakiku yang berhenti, saat Reza memanggil namaku. Hanya sekali, tapi mampu membuat tanganku gagal meraih gagang pintu kaca kantor. Aku sempat melihat punggung Elzan yang sepertinya tidak sadar aku berhenti berjalan di belakangnya, sebelum akhirnya menghilang di kelokan.
Kepalaku menoleh seketika. Ada Reza disana. Penampilannya lebih kasual, diluar kebiasaannya yang sering kulihat. Mungkin karena aku hanya melihatnya saat jam sekolah, atau saat mengikuti kajian dengan dia menjadi pengisinya. Itulah mengapa aku makin kesal pada perasaanku sendiri. Kuantitas kami bertemu yang luar biasa jarang, seharusnya tidak bisa menimbulkan perasaan yang sulit kusingkirkan.
Reza berjalan kearahku. Tali hoodie abu-abu yang dia pakai terlihat bergoyang, karena langkahnya yang agak tergesa saat menaiki undakan anak tangga di depan pintu kantor.
"Bisa minta waktunya sebentar?" tanyanya sopan.
Seharusnya tidak. Dia tidak berhak memintanya, setelah membuatku membuang waktu untuk menangisinya. Setelah membuatku sering menghabiskan waktu hingga larut malam, hanya untuk membujuk perasaanku agar melupakannya. Dan menyedihkannya, perasaanku mengingkari janjinya dengan kembali mengingatnya keesokan hari.
Aku terdiam. Bahkan tanpa mengangguk ataupun menggeleng. Kepalaku terus menunduk. Perasaan dan otakku sedang berselisih paham. Dari caranya memainkan jari, aku tahu Reza gugup. Mungkin dia bingung ingin memulai darimana.
"Aku minta maaf," mulainya singkat. Dari semua sifat Reza yang ku ketahui, nyaris seluruhnya aku sukai. Kecuali sifatnya yang bisa dibilang pengecut. Dan itu sudah melukaiku berulang kali.
Aku tahu lelaki gentle banyak membuktikan dengan sikap daripada bicara, tapi berbicara itu terkadang perlu. Aku tahu diam itu emas, tapi bukan disaat harusnya kita angkat bicara. Aku ingat betul bagaimana sebagian orang pesantren sibuk mencelaku dan merendahkanku saat kabar pernikahan kami terdengar untuk pertama kali, dan dia hanya diam saja. Bagaimana ibunya meremehkanku habis-habisan, dan dia kembali diam. Ya, aku tahu, seharusnya aku mengabaikan saja omongan banyak orang selama perasaan Reza padaku tetap sama. Tetapi begitulah, terkadang perasaan perempuan serumit itu. Sebagian dari mereka ingin dibela, diperjuangkan, dan merasa dikhawatirkan. Aku salah satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...