1|Pertemuan Apa Ini?

16.9K 731 4
                                    

Kringgg....

Bunyi nyaring terdengar di telingaku. Aku meraba nakas di samping tempat tidur. Jam weker, berhasil membangunkanku. Samar-samar ku lihat waktu, menunjukkan pukul tujuh pagi.

Apa? Tujuh pagi? Ternyata aku kesiangan. Aku lupa mengerjakan tugas, dan aku lupa jika hari ini ada kelas pagi. Dosen yang masuk sangat menyeramkan.

Segera aku bangun dari tidur dan mandi. Tanpa polesan makeup dan segera merapikan rambutku. Laptop yang masih menyala ku tutup langsung tanpa di matikan, buku-buku filosopi hukum juga asal ku masukan kedalam tas.

Aku tak sarapan, hanya minum setengah gelas air putih. Aku buru-buru. Kuliah di mulai pukul tujuh pagi, ini sudah pukul delapan pagi. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan depan dosen?

Bis tak kunjung datang. Jarak dari kost-an ku ke kampus lumayan jauh. Biasalah aku hanya anak rantau, aku merantau dari Jakarta ke Depok. Lumayan jauh, bukan? Salahnya aku tidak memilih tempat kost-kost-an di dekat kampus.

Pukul sembilan, akhirnya aku sampai di kampus. Aku berlari dengan sangat kencang ke arah fakultas dan kelasku. Di lantai tiga, aku tak masalah jika aku capek, aku tak masalah jika terlambat. Yang penting aku masuk kelas Pak Gibran.

Dengan gemetar, aku mengetuk pintu. Pintu terbuka, aku di sambut oleh tatapan tajam para mahasiswa di kelas dan Pak Gibran juga dengan kacamata minimalisnya.

"Ayna, sudah jam berapa ini?" Pak Gibran menatapku seram, duh aku gugup lagi.

"Sembilan... Pak." Jawabku gemetar, parah ini parah.

Pak Gibran tersenyum sinis, "Jadwal saya memang di undur jadi jam sembilan?" Pertanyaan meledek macam apa itu Pak? Ah aku tak bisa menjawab.

Aku hanya diam, menunduk. Dag dig dug jantung ini, debarannya begitu dahsyat. Apa ini yang di namakan punishment is coming?

"Malah diam! Ayo jawab! Baru kali ini mahasiswa hukum terlambat di kelas saya!" Cecarnya, jujur aku tak bisa menjawab.

Kalau bukan karna malam itu aku menonton drama Korea, mungkin aku tak akan kesiangan. Dan kenapa juga jam weker berbunyi pukul tujuh pagi?

"Maaf, Pak." Lirihku, Pak Gibran memainkan matanya, tanda meledekku, ".. Saya kesiangan, macet." Satu alasan terlontar dari mulutku, berbohong. Sekali-kali berbohong demi kebaikan tak apalah,

"Alasan klasik itu!" Oke Bapak, alasan itu memang sangat sangat klasik. Tapi aku bisa apa? Jawab jujur? Ah tak mungkin, aku malu.

"Untuk kali ini, saya maafkan kamu! Jangan sekali-kali lagi. Ayo masuk! Atau kamu saya suruh pulang?" Suruhnya. Fyuh, Alhamdulillah puji syukur Tuhan menyelamatkan ku dari dosen killer ini.

Aku berjalan malu ke dalam kelas, dan duduk di ujung. Apalah daya hanya anak rantau dengan tempat duduk di ujung.

Jam Pak Gibran telah berakhir. Aku bisa bernapas lega. Untungnya dosen itu tidak menanyakan tugas tentang pasal-pasal. Karna, kalau di tanya bisa habis aku. Tugasnya belum ku kerjakan.

Jam pulang tiba, dengan tubuh lelahku, maksudnya pikiran lelahku juga, berjalan dari kampus menuju halte.

Minim sekali memang, tak ada kendaraan. Bukannya tidak mampu membeli motor atau mobil, namun orang tuaku masih tidak mengijinkan aku membawa kendaraan sendiri, padahal umurku sudah layak untuk mempunyai SIM kok.

Aku adalah mahasiswa semester akhir di sebuah universitas negeri daerah Depok. Universitas favorit di seluruh Indonesia. Fakultas Hukum, entah kenapa aku bisa mengambil jurusan itu. Ya, saat SBMPTN lalu, aku memilih dua jurusan, yakni Kedokteran dan Hukum. Kedokteran menutup pintu untukku, Hukum membuka pintu lebar-lebar bagiku.

Masih sama, bis tak kunjung . Ini sudah pukul lima sore. Aku belum beres-beres di kost-an. Karna tadi tidak sempat.

Lantas aku berjalan kaki saja, menunggu angkutan kota. Semoga saja ada orang yang menawari boncengannya untukku.

Jalanan Depok lumayan padat, namanya juga hari Sabtu, pasti padat. Berjalan gontai di trotoar sembari memandang pemandangan di depan, mobil dan motor memenuhi jalan raya.

Dua kilometer aku berjalan dari kampus, capek ternyata. Sebentar aku ke arah warung kecil pinggir jalan, hanya untuk membeli minum. Aku harus irit. Karna biaya kuliah itu cukup lumayan, aku tak boleh meminta pada orang tua.

Ya walaupun aku mendapat beasiswa untuk kuliah, dan orang tua setiap bulan selalu rajin menambah saldo ATMku, tetap aku harus irit. Beginilah anak rantau dan mahasiswa tingkat akhir, setiap akhir bulan pasti stok mie instan menumpuk di lemari bahan makanan.

Air minum sudah ku beli, aku lanjut berjalan, cukup membutuhkan tiga kilometer untuk sampai tempat kost, jauh juga.

Cittt...

Ya ampun, hampir aku tertabrak. Decitan ban mobil berhenti tepat di depanku. Ini orang buta apa? Bukannya ini lampu merah? Kenapa dia mau menerobos lampu merah? Aku tak salah menyebrang di zebracross. Tak punya otak. Kalau saja aku sudah menyandang sarjana hukum, bisa-bisa dia aku bawa ke meja hijau juga. Halah gayamu Ayna.

Sontak aku terkejut, untung saja aku tak teriak. Kulihat Bapak-bapak pengendara motor memarahi si pengendara mobil yang akan menabrakku. Halah marahi terus Pak! Dia tak patuh peraturan.

Aku ditenangkan oleh ibu-ibu dan dibawa ke bahu jalan, polisi berdatangan, karna membuat jalanan sangat macet.

Masih agak syok sih, kepalaku pening, ingin rasanya aku pingsan tapi jangan.

"Mbak, maaf tadi saya sedang buru-buru dan tidak melihat lampu merah di depan." Seorang lelaki memakai seragam hijau TNI AD itu menghampiriku, aku tak jelas melihat wajahnya.

"Loh, Ayna?"

Lelaki itu berjongkok di hadapanku dan menyebut namaku.

Aku terkejut kembali, lelaki itu, lelaki yang pernah membuatku hancur.

"Mas Faris?" Aku melongo melihatnya

"Ibu-ibu, bapak-bapak mohon untuk kembali, saya kenal gadis ini." Perintahnya kepada orang-orang yang di sekitar kami

Pikiranku masih mencerna, Mas Faris? Kenapa bisa aku bertemu lagi dengannya?

"Kamu gak apa-apa kan? Gak ada yang luka? Atau perlu kita ke rumah sakit? Maaf tadi aku buru-buru banget, perintah dari komandan."

Ya Tuhan, aku rindu suaranya, wajahnya dan perhatiannya. Aku ingin menangis, tapi hanya batinku yang menangis.

Mas Faris memegang kedua pundakku, matanya menatapku, aku tak bisa menatapnya balik. Sangat tak bisa.

"Ayna, jawab aku. Apa perlu kita ke rumah sakit?" Khawatirnya, aku hanya menggeleng lesu

Sangat berat untuk melihat wajahnya.

Aku berdiri, aku tak apa-apa. Tak ada yang luka satu pun, mungkin luka di hati saja. Aku baik saja. Adzan Maghrib berkumandang, aku harus cepat pulang!

Tanpa permisi aku lanjut berjalan, tapi seseorang telah menarik tanganku.

"Kamu kenapa sih? Masih marah? Dendam? Buang semua itu!" Sentaknya namun lembut, tapi aku terdiam

Sudahlah Mas, aku tak kuat melihatmu lagi.

"Aku antarkan kamu pulang, jangan menolak. Cukup beri tahu arah ke rumahmu." Mas Faris menarik tanganku ke dalam mobilnya

Aku diam tak berkutik. Tak bisa menolak, aku ingin menangis, sudah tak kuat. Pertahanan ku sedikit lagi akan hancur, namun ku tahan dulu. Jangan lemah lagi di hadapannya!

*****

Wkwk gimana nih cerita barunya? Absurd bgt kan?

Struggle Of Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang