16|Harapan Kosong (past)

4.7K 335 21
                                    

Sudah memasuki bulan Oktober saja, dan aku masih diam di rumah, intinya aku adalah seorang pengangguran. Keseharianku di rumah hanya tidur dan makan. Tak ada lagi kegiatan lain, selain berlatih jasmani kembali. Untungnya setelah aku sembuh dari sakit, Mama memperbolehkan aku bina fisik kembali, asal tidak sering-sering dan tidak harus di forsir. Ya, jadi bina fisikku kali ini semauku saja, tidak seperti dulu-dulu.

Hampir satu bulan, aku sudah tidak berkomunikasi kembali bersama Mas Faris. Benar, semenjak kejadian kami cekcok, ia sudah tidak mengirim kabar lagi ketika waktu senganggnya. Entah kenapa, aku pun bingung, apa dia canggung padaku karna aku adik dari mantan kekasihnya terdahulu? Jika benar, kenapa dia harus canggung? Toh bukannya kita sepasang kekasih. Aku rindu pada dirinya. Pernah aku mengirimi pesan padanya, boom chat istilahnya, tetapi dia tak kunjung membalas, sekedar membacanya juga tidak. Biasanya ketika pesiar tiba, dia selalu menghubungiku, semenjak aku tahu dia mantan Kak Aysa, tak pernah lagi begitu.

Di setiap sujudku, aku selalu berdoa untuknya. Jauh dimata, dekat di doa, aku tak tahu dia dimana sekarang, entah masih di Bandung atau di Magelang, kabarnya bagaimana aku tak tahu. Lama kami tak berkomunikasi. Ternyata tak ada waktu sekali ya?

Pukul tujuh pagi, seorang tentara datang ke rumahku. Tentara muda berpangkat sersan yang tak ketahui siapa dia. Tiba-tiba datang kerumahku, dan memberi pesan pada Bi Ai agar aku bersiap dan memakai pakaian sopan, karna hari ini adalah hari penting. Aku kebingungan, apakah ada janji sebelumnya atau informasi sebelumnya padaku? Tak ada.

Keluar rumah dengan mengenakan pakaian paling sopan. Batik tentunya. Aku melihat Mas sersan sudah siap di mobil dinas TNI AD. Loh? Tuhkan ada apa lagi? Mas yang mengenakan pakaian dinas upacara itu membukan pintu mobil. Lantas aku masuk tak pakai omong. Duduk memasang seatbelt, masnya duduk di kursi kemudi.

"Mbaknya mau langsung ke rumah Mayjen Seto atau langsung ke tempat lokasi di Halim?" Tanyanya dengan mata fokus kedepan.

Aku masih kebingungan, "Maksudnya, gimana ya Mas? Ke rumah Pakde Seto saja."

"Siap Mbak. Saya hanya menuruti perintah atasan, Mayjen Seto memberikan tugas pada saya untuk menjemput Mbak sebelum upacara di mulai." Jelasnya dengan lugas.

Ah iya, hari ini kan hari ulang tahun TNI ke- 68, tepat 5 Oktober. Tetapi aku bingung, kenapa Pakde Seto menyuruh mas tentara ini untuk menjemputku? Mendadak pula, aku hanya mengikuti saja.

Sesampai di rumah Pakde, beliau bersama jajarannya sudah bersiap mengenakan pakaian dinas upacaranya. Turun dari mobil aku disambut hangat oleh Pakde Seto dan Bukde Sinta yang sudah memakai pakaian seragam upacara Persitnya. Senyumku agak mengembang walau masih bingung, Bukde Sinta merangkul bahuku.

"Ayna, hari ini ikut dengan Pakde dan Bukde ke Halim." Ujar Pakde padaku,

Mengangguk dan masih dilanda kebingungan, "Siap Pakde."

Mengikuti Pakde dan Bukde memasuki mobil dinasnya. Aku duduk di belakang bersama Bukde, Pakde bersama mas tentara tadi. Ternyata Mas itu ajudan Pakde, baru tahu. Memerlukan waktu hanya lima belas menit saja, ya kalian tahulah jika ada mobil petinggi TNI di jalanan, pasti mengeluarkan sirine ciri khas.

Kawasan Landasan Udara Halim Perdana Kusuma, ramai sekali orang-orang. Tampak di lapangan terlihat barisan-barisan upacara yakni para Prajurit bangsa yang senantiasa mejaga keutuhan NKRI dengan ikhlas dan merelakan seluruh jiwa raganya yang sedang menggelar gladi resik. Menunggu sang Inspektur Upacara, yaitu orang paling dihormati dan paling berpengaruh di Indonesia, yaitu Presiden RI.

Duduk di sebelah kiri Bukde, serta Pakde di sebelah kanan Bukde. Baru pertama kali aku menghadiri upacara besar selain upacara kemerdekaan RI, dan suatu kebanggaan serta kehormatan ketika menjadi bagian dari pasukan pengibar bendera Sang Saka Merah Putih.

Menatap barisan di depan yang sangat rapi. Kulihat barisan para srikandi penjaga bangsa, dengan gagahnya berdiri mengenakan seragam kebanggaan serta membawa sebuah senapan. Andai aku bisa menjadi bagian dari mereka, mungkin hidupku akan berubah.

Mataku terfokus pada barisan memakai seragam biru putih khas Akademi TNI. Taruna! Seketika aku ingin masuk kedalam barisan itu dan mencari Mas Faris. Aku berharap Mas Faris ada disana, melihatku dan melambaikan tangannya serta tersenyum padaku. Tapi itu tak mungin. Berharap boleh saja.

"Lihat yang bawa bendera kompi Taruna, Mas Fadli." Bukde menunjuk ke arah barisan para Taruna, iya Mas Fadli membawa bendera kompinya.

"Iya Bukde, itu Mas Fadli." Kataku sedikit berbisik,

"Ayna pasti bingung tadi pagi-pagi ada tentara ke rumahmu dan menjemputmu ya?" Tanya Bukde berbisik mewakili kepenasaran dan kebingunganku.

Aku mengangguk, "Betul Bukde, Ayna bingung. Tiba-tiba disuruh pakai pakaian sopan, dan sekarang berada disini."

Mengusap kepalaku, "Jadi begini, Bukde mau ada yang menemani Bukde, biasanya kan Bela sering ikut dengan Bukde, tapi kan dia sedang pendidikan, jadi kepikiran kamu, yasudah Bukde ajak Ayna saja. Hitung-hitung melepas penat di rumah kan? Dan bisa tahu juga kalau TNI itu bagaimana."

Benar juga apa yang dikatakan Bukde, melepas penat kegagalan maksudnya. Iya juga sih, jika aku di rumah terus penat sekali yang ada.

Upacara sudah di mulai, sangat khidmat. Dan aku menikmati serangkaian upacara. Selesai upacara dilanjut kegiatan-kegiatan lainnya seperti demo alutsista dan banyak sekali yang dilakukan oleh para prajurit TNI. Antusias sekali aku melihatnya, para prajurit dari tiga angkatan itu tunjuk kebolehannya. Betapa kuat. Sangat memukau sekali tak dapat berkata apa-apa.

Di ajak Bukde bersama anggota Persit lainnya untuk berfoto bersama tiga srikandi melati pagar bangsa dari korps baret merah yang melakukan free fall, awalnya aku tak mau dan malu-malu, tapi Bukde memaksa, yasudah. Seorang anak linglung berfoto di apit oleh tiga Kowad dan Anggota Persit. Ya itulah aku.

Berfoto belum selesai, tapi aku keluar dari gerombolan para ibu-ibu. Menoleh ke belakangku. Segerombolan para Taruna Akademi TNI. Suara mereka menggelegar ke singga-sana, alhasil mereka menjadi perhatian. Menyerukan yel-yel. Kulihat gerombolan berpakaian gagah itu ternyata masih tingkat tiga. Harapanku pupus, berarti tak ada Mas Faris, secara dia kan tingkat empat. Sedikit kecewa, rindu berat, aku ingin sekali bertemu dengannya. Kenapa juga dia tak menghubungiku? Berulang kali aku menghubunginya selalu tak ada.

Sudah berulang kali Abang katakan... Hu..huha
Jangan bermain cinta dengan Taruna.. Hu..huha
Nanti ditinggal latihan
Sedih sedih sekali

Seruan mereka dengan tepukan tangan ke dada, mengingatkan ku pada Mas Faris. Kenapa yel-yel ini menyakitkan hati sekali? Benar tenyata. Mas Faris hanyalah sebuah harapan kosong.

Kalau Abang pulang latihan
Lalu Abang tidak karuan
Apalagi ada pelanggaran
Malamnya tindakan

Mengeluarkan ponsel lalu merekamnya, terlarut dalam suasana yel-yel. Hanya yel-yel tapi sangat bermakna. Tak sampai aku menyelesaikan merekam dan melihat mereka, Bukde Sinta sudah menganjakku pulang. Lah kok pulang, belum kenyang aku melihat. Apa Bukde Sinta tidak mau bertemu Mas Fadli? Entahlah aku turuti saja, tak bisa menawar. Toh Bukde yang mengajakku.

****

Dikira Faris bakal ada, tapi cuma khayalan Ayna doang.

Gimana nih part yg ini? Seru gak sih? Atau makin gaje? Itu sih jelas.

Don't forget vomment yaa!! Hahaha

Happy reading!

Struggle Of Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang