45|Sakti : "Jangan Hukum Aku."

4.9K 339 12
                                    

Rintik hujan membasahi bumi, seperti mewakilkan hatiku saat ini. Awan hitam pekat menghiasi langit dengan di iringi kilatan petir. Air yang langsung turun dari langit sukses membuat seluruh tubuhku basah kuyup karenanya.

Air mataku bercampur dengan air hujan. Tubuhku lemas tak berdaya. Jalanan sepi menggambarkan aku sekarang. Aku malu pada diriku sendiri. Aku malu pada seragam yang kukenakan, dan aku malu pada negara ini.

Seragam dinas harianku menjadi saksi buta pertengkaran hebat antara aku dan Sakti untuk yang pertama kalinya. Ketika dua hari lagi acara pernikahanku berlangsung, masalah besar datang menghampiri kami.

Sakti telah mengetahui kursusku. Dia menolak mentah-mentah untuk aku tidak mengikuti kursus. Dan aku harus menunda kursusku. Tapi aku tak bisa.

Jika kalian tahu, hari ini ialah hari dimana acara pengajian diadakan. Namun, aku tak hadir. Negara sudah memanggilku, dan aku tak bisa menolak. Aku sudah berbohong pada Sakti, aku tidak mengatakan jika hari ini aku ada tugas. Sakti hanya tahu aku di rumah sedang melaksanakan acara pengajian.

Bodohnya, aku masih merahasiakan perihal kursusku padanya. Padahal kami sudah mewanti-wanti untuk tidak ada yang di sembunyikan. Mau itu tugas biasa, sampai tugas operasi jika kata Sakti. Ataupun masalah pribadi. Aku tak mau mengecewakan Sakti, tetapi sekarang aku mengecewakannya.

Masalah terjadi ketika aku sedang berada di Mabesad, selepas dari Ditkumad untuk melengkapi bahan-bahan kursus, aku bersama rekan-rekanku yang akan berangkat kursus, rapat terlebih dahulu di Mabesad.

Entah kenapa, disana aku seperti melihat lelaki yang sebentar lagi menjadi kekasih halalku. Aku melihatnya sedang berada di dalam mobil, duduk di kursi kemudi. Memakai pakaian sipil, lengkap dengan kacamata hitam yang sering di pakainya.

Untuk meyakinkan kepenasaranku pada lelaki itu, sejatinya kami sedang ada dimasa pingitan, aku sendiri tak boleh keluar rumah, karna seorang calon pengantin ketika masa pingitan tak boleh kemana-mana, ditakutkan ada hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk komunikasi pun aku jarang, apalagi bertemu, toh Sakti sedang berada di Padang, dia mendapat cuti.

Aku melewati mobil dinas berwarna hijau berplat militer dan benar dia Sakti. Seketika aku terkejut, dia melepas kacamatanya dan melihatku. Dengan rasa bersalah, aku berjalan cepat meninggalkan Sakti. Dan aku sudah berbohong padanya. Sakti beserta keluarganya sudah berada di Jakarta. Dia berada di Mabesad sedang mengantar sang Ayah dengan didampingi ajudan Ayah Sakti.

Padahal, Sakti pun sudah berbohong padaku dan menyembunyikan tentang sakitnya kala itu. Apa aku semarah dan sekecewa itu pada Sakti? Tidak, aku berpikir, aku sudah dewasa. Dan tak mungkin aku harus marah dan kecewa. Tapi Sakti? Entahlah.

Hujan kembali deras. Suara gemuruh menggema disingga-sana langit. Aku bangkit, lalu masuk ke dalam mobil. Hati dan pikiranku masih di rasuki rasa bersalah.

Sebelum mengendarai mobil, aku mengganti seragam dengan pakaian biasa. Hanya inisiatif saja, aku selalu membawa pakaian ganti. Seragam dinas ku simpan di hanger lalu digantungkan dekat dengan bagasi. Dirasa sudah nyaman, aku menyalakan mobil. Dan aku memacu kecepatan diatas rata-rata. Sesekali memukul stir mobil. Sudah menjadi sifat baruku jika aku sedang galau ketika mengendarai mobil atau motor aku pasti seperti ini.

Mataku masih bercucuran air mata. Aku harus bagaimana? Dan acara pernikahanku nasibnya seperti apa? Aku masih mengingat ucapan-ucapan Sakti tadi. Aku takut, sangat takut.

"Aku kecewa sama kamu, Ayna! Kamu sudah bohongi aku. Aku tidak bisa membayangkan kalau nanti kita sudah berumah tangga. Mungkin kamu akan membohongiku terus menerus."

Struggle Of Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang