14|Pertama Kalinya (past)

5.6K 305 2
                                    

Pukul lima pagi, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu, ini bukan Mama atau Bi Ai. Tak sempat membuka mukena dan melipat sajadah, aku berjalan menuju pintu dan perlahan membuka knop pintu. Takutnya orang asing, dan yang iseng gitulah.

Seketika seorang pemuda berambut cepak yang tinggi itu sudah siap dengan pakaian olahraga, terpampang logo Akmil di dada sebelah kanannya, aku melongo tak percaya. Pagi buta seperti ini matahari pun belum muncul sudah berdiri di depanku saja.

"Ayo lari pagi. Jangan malas." Ucapnya agak tegas, dingin dan kaku.

Aku menggeleng dan menutup setengah wajahku dengan mukena putih ini.

"Jangan malas-malasan. Seorang tentara tidak ada yang malas." Ucapnya kembali, tetap aku menggeleng tak mau.

Aku malas pergi kemana-mana, aku ingin tidur sepuasnya. Selama karantina itu memang calon bangun pukul empat pagi, lalu melaksanakan sholat subuh bagi yang muslim dan di lanjut berolahraga sebelum seleksi. Tapi sekarang aku malas untuk lari pagi.

"Gak mau! Siapa juga yang mau jadi tentara?" Kataku menyeringai, sumpah aku malas sekali.

Lelaki itu berkacak pinggang dan menatapku tajam, "Aku yang jadi tentara." Berubah datar.

Menghiraukan dan menutup pintu, tapi tidak tertutup karna dari luar di tahan, "Pergi sana, aku masih kepingin tidur, kakiku masih sakit. Gak bosan apa kesini mulu? Tadi malam bukannya sudah kerumah ya?" Ujarku berusaha menutup pintu tapi tak bisa, kami berdua layaknya seperti di film horor yang satunya ingin membuka pintu, yang satunya ingin menutup pintu.

"Oh jadi kamu sudah bosan ya? Ya sudah aku pergi, dan tak akan pernah kesini lagi." Pintu sudah tak di tahannya, hentakan kakinya terdengar menuruni anak tangga.

Salah omongkan gue.

Dengan cepat aku keluar kamar yang masih menggunakan mukena, "Hey! Bukan itu."

Lelaki yang mengenakan pakaian olahraga berlengan pendek itu masih berjalan dan tak mendengarku. Sudah seperti drama saja kami berdua, marahnya ini masih kekanak-kanakan. Untungnya tak ada Mama ataupun Bi Ai.

"Iya, iya aku yang salah. Maafkan aku Mas. Ayna salah, Mas Faris benar. Karna perempuan selalu salah." Akhirnya aku yang meminta maaf terlebih dahulu, walaupun sedikit gengsi.

Tubuhnya terhenti dan berbalik badan, "Tumben perempuan mengakui kesalahannya. Biasanya lelaki yang selalu disalahkan perempuan." Dengan senyuman sinis.

Bodohnya aku berkata seperti itu, jika jawabannya seperti ini. Kesal dan sebal sekali.

Aku mendengus kesal, bisa-bisanya gue di kerjain. Atau ini balasan kemarin karna gue ngerjain lo?

"Aku tunggu di ruang tamu, cepat kamu ganti pakaian. Jangan pakai lama!" Suruhnya dan aku mengangguk begitu saja.

Kembali ke kamar, membuka mukena dan melipatnya. Percaya atau tidak, aku belum mandi. Ah tak perduli, nanti saja sepulang berolahraga aku mandi. Cukup ku semprotkan parfum sebanyak-banyaknya agar menutupi bahwa aku sudah mandi.

Seperti biasa, lelaki berambut potongan tentara itu duduk di sofa ruang tamu, memainkan ponselnya seperti malam tadi. Perlahan aku mengetahui kebiasaannya.

"Kamu gak dingin, tanpa jaket?" Ujarku, dia refleks berdiri.

Mas Faris menggeleng, "Tidak, ini sudah menjadi kebiasaan kami."

Ber-oh ria, dan melupakan sesuatu, "Eh sebentar, aku bilang Mama dulu." Aku berbalik dan mencari Mama.

"Gak usah." Ucapnya, langkahku terhenti dan berbalik, mengerutkan dahi.

Struggle Of Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang