8|Secepat Ini Kah? (past)

7.1K 406 19
                                    

Masuk kedalam rumah, aku sudah disambut. Mama tentunya, beliau sudah berdiri diambang pintu dan mengedarkan pandangannya. Ku raih tangan Mama dan mencium punggung tangannya.

"Nak Faris, kemana?" Tanya Mama dengan sorot mata mencari-cari seseorang, "Bukannya tadi sama kamu?"

Alisku berkerut, yang harus ditanya itu anaknya. Kenapa Mama jadi menanyakan orang lain?

"Pulanglah, Ma." Jawabku datar dan masuk kedalam rumah begitu saja.

Mama mengikuti ku dari belakang, "Cepat sekali pulangnya." Mendekatiku dan merangkul bahu.

"Jam dua siang Ayna harus latihan, Ma."

Benar, setelah pulang dari Kemang, aku meminta Kak Faris untuk mengantarkanku pulang, jadwal binsik tak boleh terlewatkan. Dan aku tak pernah absen, yang seharusnya binsik hanya tiga kali seminggu, sekarang setiap hari. Aku harus mendapatkan nilai maksimal nanti.

Dan Kak Faris juga ada kepentingan lain, katanya dirinya akan pergi ke Kodim. Entahlah untuk apa. Yang jelas sekarang aku sudah pulang, tak berlarut bersamanya diantara ke gugupan.

Membelai kepalaku, "Masih mau daftar kamu, Dik? Gak mau kuliah saja? Kedokteran swasta masih buka gelombang tiga loh."

Aku tak menjawab, hanya menyunggingkan senyum. Lagian, aku tak mau kuliah kalau ujung-ujungnya memakai uang orang tua. Aku ingin menjadi anak mandiri. Tak mau memberatkan orang tua lagi.

"Atau perlu susul Kak Aysa ke London, mau? Atau ke Amerika?" Tawaran Mama dengan semangat, aku menggelengkan kepala, tanda tak mau.

Mama memanggut-manggut, "Yasudahlah tak bisa dipaksa," Mama melesu, beliau sudah mengerti karakter anak-anaknya. Termasuk aku, keputusan dan kemauan tak bisa di ganggu gugat.

"Wajah Nak Faris tak asing ya?" Celetuk Mama saat kami sudah berada di depan pintu kamarku.

Aku mengangkat alis sebelah, "Maksud Mama?"

"Dia mirip wajah rekannya Papa. Om Santo, kamu tahu?"

Om Santo, sebentar. Sejenak aku mengingatnya. Ah iya, rekan kerja Papa yang sering datang ke rumah itu, yang selalu bersibuk ria dengan Papa.

Aku mengangguk, ingat. "Setiap manusia mempunyai tujuh kembaran, Ma. Mungkin Kak Faris salah satunya bersama dengan Om Santo."

Memang benar kan, jika setiap manusia mempunyai tujuh kembaran lainnya. Pepatah mengatakan sih seperti itu.

"Ayna masuk kamar dulu Ma, mau siap-siap sebelum Bela berisik sama klakson motornya." Aku memegang knop pintu dan membukanya.

Mama menggelengkan kepalanya, "Jangan terlalu di forsir lah, Dik. Jaga kesehatan kalau kamu menginginkan hasil yang maksimal." Nasehat Mama yang ke beberapa kali sudah sampai padaku.

"Siap juragan!" Jawabku lantang dan menghormati pada Mama.

Beliau hanya tertawa lalu pergi begitu saja. Aku menutup kamar dan mengunci, berlari ke arah tempat tidur. Menenggelamkan wajahku di bantal.

Sekarang aku seperti orang tak waras, senyum-senyum sendiri. Iya seorang Ayna sudah tak waras sepertinya. Berulang kali memeluk guling. Apa ini yang di namakan cinta?

Padahal aku ini bukan orang yang mudah jatuh cinta, apalagi sayang dan nyaman.

Cinta yang datang begitu saja. Jujur, sebelumnya aku tak pernah merasakan jatuh cinta. Perasaan pubertasku saat berada di bangku kelas dua belas semester pertama. Ternyata cinta membuat seseorang bertingkah laku aneh. Termasuk diriku.

Aku masih bertanya-tanya, apa benar aku sedang jatuh cinta? Tapi mengapa tiba-tiba dan harus pada orang itu?

Tring..

Struggle Of Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang