Bagian 6

913 26 0
                                    

Sekarang, Fauzi sedang berada di dalam kamarnya. Dihempaskan nya tubuh nya di atas ranjang. Ditatapnya langit-langit kamar nya. Tidak ada yang tau bahwa banyak yang berputar didalam kepalanya. Bosen. Dia bosen. Dia berdiri, melangkah ke arah nakas. Dibukanya tas nya lalu diambil nya sebuah kamera disana. Dia berjalan mendekati jendela, ditatap nya senja dari balik jendela kamarnya. Lalu di lihatnya hasil potretan nya. Selebih lagi saat dirinya memotret seorang wanita. Ya kalian pasti tau.

"Benar, Tar. Kamu seperti senja. Indah. Sangat indah. Cahaya senja yang menerangi dunia sangat lah indah. Tidak jauh berbeda dengan parasmu." Ucapnya sambil memandangi foto Mentari dilayar kamera.

Ditaruhnya kembali kamera itu ke dalam tas sambil berfikir bahwa besok dia akan mendatangi pantai untuk menemui Bapak yang sudah dianggap nya sebagai Bapak kandung nya sendiri itu untuk mencari tau apakah si Bapak mengetahui tentang siapa yang datang ke pantai selain dirinya.

Keesokannya...

Mentari pagi di hari minggu mulai terbit menyinari dan menerangi bumi. Bumi yang sangat tau dengan keadaan seseorang yang membutuhkan mentari pagi. Seperti biasa, Fauzi berlari pagi menuju pantai ditemani oleh cahaya kesayangannya. Matahari.

Sambil berlari menuju pantai, diperjalanan Fauzi membatin, Cahaya mentari pagi yang ada dilangit menghangatkan tubuhku ku dan menguatkan fisik ku. Kalau Mentari yang ada di bumi menghangatkan hati ku dan menyembuhkan penyakit ku.

Argghhhh!!! Fauzi menggeram. Kenapa??? Fauzi heran dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya dia membatin. Terlebih lagi soal wanita. Dia sangat jarang. Sangat jarang terpesona dengan wanita. Baginya, Mentari mampu membuatnya bersemangat menjalani hari-hari nya.

Tak terasa, Fauzi sudah sampai di pantai. Tak pikir lama, Fauzi langsung mencari sosok yang di carinya. Disana!!! Sedang di pesisir pantai. Fauzi pun menghampirinya.

"Pak, sibuk?" Tanya nya.

"Tidak, nak. Kenapa?" Jawab si Bapak.

"Duduk sana yuk, Pak. Saya kepingin ngobrol sama Bapak. Yakan udah lama banget kita enggak cerita-cerita." Diajaknya Bapak itu ke sebuah pondok yang dulu dibuat sendiri oleh si Bapak.

Diperjalanan menuju pondok, si Bapak berkata, "Mau cerita apa loh, nak. Bapak udah kehabisan cerita. Lembaran yang pernah Bapak ceritakan ke kamu itu lembaran terakhir."

"Udah... Bapak duduk dulu sini," Fauzi menyuruh Bapak itu untuk duduk, "Saya kepingin cerita-cerita aja kok, pak."

"Kenapa tumben-tumbenan nak? Ada cerita baru kamu ya?"

"Enggak sih pak. Ada yang pingin aku tanyak sama Bapak."

"Nanyak apa, nak?"

"Hem... Aku tau pasti Bapak mengetahui sesuatu," Fauzi menggantung kalimatnya. Ekspresi Bapak itu sungguh-sungguh bisa ditebak. Ya, dia tidak mengerti apa yang dikatakan Fauzi.

"Gini pak, aku tau Bapak gak ngerti dengan apa yang aku omongi. Gini loh pak, gini. Hem... Apa ada orang yang datang ke pantai ini selain aku?"

Bapak itu mengernyitkan dahi nya lalu tertawa, "Oh... Bapak kira apaan. Ada, nak. Seorang perempuan. Kamu nanyak seperti itu tuh buat apa hm?"

"Oh anu pak. Itu. A..Aku cuma nebak aja sih benerapa waktu lalu saat pagi hari pas aku lari pagi nih, aku jumpa seorang perempuan disini." Terpaksa, Fauzi terpaksa berbohong. Dia tak pernah sekalipun melihat siapapun dipantai ini kecuali orang yang sedang diajak nya bicara.

"Tapi perempuan itu selalu datang petang nak. Bukan pagi."

Bodoh, kenapa aku bilang pagi sih. Jelas lah si Bapak lebih tau dari aku. Ahhhhhhh.... Bodoh bodoh bodohh!!! Batinnya.

"Oh, salah liat aku mungkin ya pak." Fauzi mencoba menghilangkan rasa gugupnya agar tidak ketauan jika dia sedang berbohong.

"Tapi seingat Bapak ya, memang dia ada kesini sih pagi hari karna mencari sebuah buku kalo Bapak tidak salah ya. Tapi dia terburu-buru bangetsih."

Fauzi diam. Dia cuma bisa diam. Diam. Diam. Hanya itu. Itu yang bisa dilakukannya. Ya. Diam

"Cantik parasnya."

"Apa pak? Bapak bilang apa?"

"Perempuan itu sangat cantik nak. Parasnya indah. Apalagi saat dia duduk ditepi pantai, terkena pancaran cahaya senja yang memudar, kakinya dibiarkannya terkena desiran ombak. Indah nak. Sangat indah."

Fauzi menelan salivanya. Lagi-lagi jantungnya berdetak tidak normal. Lagi-lagi semua yang ada dikepalanya terisi dengan seseorang disana. Rasanya ada yang masuk dan duduk didalam ruangan yang berada tepat didalam hatinya. Sungguh. Ini sungguh cerita yang luar biasa.

"Lalu pak?" Fauzi sangat-sangat ingin mendengar apapun jika itu mengenai perempuan yang sering mengunjungi pantai ini setiap senja ingin menghilang. Terlebih lagi Fauzi sudah yakin jika novel yang ditemukannya belakang hari itu adalah novel wanita itu. Dia sangat yakin. Ya. Amat sangat.

"Tapi Bapak tau. Ada kesedihan yang mendalam disana nak. Dihatinya."

"Maksud Bapak?"

"Ya, nak. Dia selalu tersenyum melihat senja hilang. Tapi Bapak tau itu bukan senyum keceriaan. Itu senyum sebuah penyakit yang tertanam dalam dirinya, nak. Dia jelas merasakan sesuatu yang menghilang didalam sana."

Fauzi tidak mengerti. Sungguh. Dia tidak mengerti. Melihat ekspresi Fauzi, seolah Bapak itu tau. Fauzi ingin mendengar jauh lebih dalam tentang wanita itu.

"Bapak mempunyai sahabat wanita. Dulu, setiap sore, sahabat Bapak selalu membawa putrinya bermain di pantai ini. Hingga putrinya beranjak dewasapun mereka sering mengunjungi pantai ini," Bapak itu menghela nafas sebelum melanjutkan cerita nya, "Tapi Tuhan punya kekuasaan sendiri yang tidak siapapun bisa menepisnya. Sahabat Bapak meninggal dan meninggalkan putrinya untuk selamanya."

"Meninggal?" Karena penyakit Leukimia, bukan? Batinnya.

"Iya, nak. Ia meninggal karna terserang penyakit Leukimia."

Demi apapun. Jantung Fauzi seperti berhenti berdetak. Dia tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun. Seolah Bapak itu mendengar apa yang barusan dikatakan oleh batinnya. Dia bingung. Bingung mau berkata apa. Tidak salah lagi. Mentari. Wanita itu Mentari.

"Maka dari itu putri sahabat Bapak hingga sekarang selalu datang kepantai. Setiap sore bahkan. Bapak tau, dia hanya ingin mengingat kenangan-kenangannya dengan seseorang yang melahirkannya. Ketika sinar senja tak terlihat. Dia selalu meneteskan air mata. Karna dia tau kenangannya telah usai." Bapak itu tertunduk. Ia teringat masa-masa melihat sahabatnya bercanda ria bersama putrinya di pinggir pantai. Yang selalu menyapa nya dengan lembut dan hangat.

"Mentari."

"Apa, pak? Bapak bilang apa barusan?"

Ini apa lagi? Apa yang didengar Fauzi barusan? Benarkah telinga nya lagi tidak ada gangguan? Dia mendengar nama Mentari disebutkan oleh orang didepannya? Ini mimpi kan? Atau emang nyata?

"Mentari. Nama perempuan itu Mentari." Jawab Bapak itu.

Benar. Tuhan seolah sudah baca isi hatiku. Sungguh. Aku gak pernah sebahagia ini hanya dengan mendengarkan nama seseorang. Sungguh. Apa yang kurasakan? Tenangkan jiwaku Tuhan, tenangkan. Batinnya.

"Oh yasudah. Bapak lanjut tadi kerjaannya. Aku mau kontrol pak."

"Gak capek kamu kontrol terus tiap minggu nak?"

"Ah Bapak emang mau saya seperti sahabah Bapak hm?"

"Tidak, nak. Sangat tidak ingin. Bapak tidak mau orang-orang yang pernah ke pantai ini pergi ninggalin Bapak. Kalian semua orang baik. Sana! Sana pergi sekarang nak. Semoga lekas sembuh." Ucap Bapak itu sambil menepuk pundak Fauzi.

"Terima kasih pak semangatnya." Fauzi pun melangkah meninggalkan si Bapak yang ingin melanjutkan kerjaannya.

Fauzi mengalihkan. Sebenernya. tidak ada jadwal kontrol hariini. Hanya saja. Dia tak ingin terlalu bahagia hanya dengan mendengar cerita mengenai wanita itu. Ia ingin menyimpan kebahagiaannya. Dirinya ingin mengeluarkan kebahagiaannya saat sudah waktunya tepat.

Ada suatu rencana yang ingin dijalankannya

Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang