Bagian 15

448 20 0
                                    

Mentari terbangun dari tidur nyenyak nya. "Jam dua?" Ia memegang kepalanya. Terasa pusing. Ia turun dari ranjang dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Dirinya masih terbayang-bayang kejadian dipantai tadi saat Fauzi menyatakan perasaannya pada dirinya. Demi apapun ini kenyataan yang terindah yang pernah ada di sejarah hidupnya. Mentari balik ke kamar nya, dan mulai ingin tertidur lagi. Tetapi, matanya sama sekali tidak sejalan dengan niatnya. Matanya berasa sangat segar-segar saja untuk betahan malam ini, bahkan mungkin sampai pagi. Dia tidak tau kenapa dirinya malam ini tidak dapat tidur normal seperti biasa. Akhirnya ia berniat membuka aplikasi sosmed di ponselnya. Di carinya akun Fauzi dan di stalking nya sosmed Fauzi. "APA???" ia menjerit terkejut. Apa yang diliatnya seperti mimpi buruk yang menghampirinya malam ini. Dia mencoba menyadarkan dirinya dari mimpi buruk ini. Tapi nihil, ia sama sekali tidak sedang bermimpi. Ini nyata!

Paginya, terdengar suara klakson motor di depan rumah Mentari. "Ah," ia memegang kepalanya. Matanya, tidak bisa dibilang gimana hitam dan bengkak mata Mentari karna menangis tadi malam sebelum ia akhirnya tertidur tanpa ia sadari. "Iya, sebentar."

Ia bangkit dari ranjang tanpa melihat jam terlebih dahulu yang sudah menunjukkan bahwa ia sudah sangat terlambat untuk ke kampus. Dibukanya pintu, "Del, gua ga ngampus."

"Selamat pagi,"

Mentari membuka matanya lebar-lebar, "Fauzi, kok kamu?"

"Saya sengaja jemput kamu. Dari tadi saya disini." Jawabnya dengan lembut, "matamu? Kenapa?"

"Ahh.. Tidak apa-apa. Sepertinya aku sedang tidak enak badan deh."

"Ayo, ke dokter," ajak Fauzi.

"Tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat saja."

"Kamu beneran tidak kenapa-kenapa kan, Tar?"

"Iya."

Dia kenapa? Begitu beda! Batin Fauzi.

Fauzi pun tidak bicara apa-apa lagi, ia hanya tersenyum dan pergi dari sana.

"Huftt.. Aku harus seperti ini ya?" Mentari masuk kembali ke dalam rumahnya menuju dapur. Diseduhnya cappucino hangat dan di ambil nya empat lembar roti lalu dibawa nya ke dalam kamar. Di letaknya cappucino dan roti itu di nakas tempat biasa dirinya menulis sesuatu diatas sana. Benar saja,  setelah ia selesai mencuci wajahnya, Mentari langsung membuka laci dan mengambil buku hariannya. Jelas, seperti nya ia ingin mencurahkan sesuatu hari ini. Tapi kenapa sampai mengorbankan mata kuliah nya? Akhirnya, ia mulai menulis.

Untuk sesuatu yang akan terjadi...

Hai, aku menanti mu. Menanti sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang akan nyata. Sesuatu yang akan membuat kehidupan ku kembali seperti dulu. Bukan. Bukan kembali bahagia. Melainkan kecewa, terpuruk, hampa. Aku ikhlas. Aku siap. Entah kapan itu akan terjadi. Tapi hatiku udah memastikan bahwa itu akan terjadi. Dorongan pikiran juga sudah terfokus pada hari yang akan datang nanti. Kamu ditakdirkan hanya untuk sesaat, ditakdirkan untuk membuat kisah yang nanti nya akan aku kenang. Sendirian. Tapi aku yakin, takdir Tuhan akan adil. Aku yakin kamu sembuh, kamu sehat, kamu baik-baik saja.

Dari wanita yang akan ditinggalkan...

Ia mendengar suara klakson motor lagi di luar rumahnya. Ia menutup buku hariannya itu, lalu keluar untuk melihat sosok siapa yang ada di depan rumahnya. "Paling juga Della."

Dibuka nya pintu rumahnya, "Nah," sosok itu menyodorkan sebungkus plastik kepada Mentari. Mentari kaget bukan kepalang melihat sosok yang sah menjadi pacarnya sejak tadi malam itu kembali kerumahnya.

"Zi,"

"Hm?"

"Kamu gak ngampus?"

"Tidak," ia langsung masuk ke dalam rumah Mentari. Mentari hanya melihatnya heran dan menggeleng kepala saat Fauzi sudah duduk di sofa.

Aku harus ngomong.

"Zi, kamu--"

Gubrakkkkkk!!!

Mentari dan Fauzi kaget bukan main mendengar suara benda yang jatuh. Mentari langsung mengecek, "ahh.. Kucing!" Mentari mengelus dadanya, "aku kira apaan."

Akhirnya mereka duduk lagi disofa. "Kamu tadi mau bicara apa?"

"Tidak ada, Zi," bohong Mentari. Mungkin belum saatnya.

Mereka berbincang-bincang. Entah membicarakan apa saja. Banyak moment hari ini yang di bicarakan mereka. Tertawa, bersenang-senang bersama hingga menuju senja. Meminum kopi bersama.

"Hmmm.. Kita tidak ke pantai?"

"Tidak usah deh, Zi. Rasanya diluar sangat dingin. Aku lagi tidak ingin kemana-mana."

"Oh, oke."

Kadang aku merasa akan kehilangan seseorang lagi dan aku mulai takut lagi, aku pernah kehilangan beberapa orang yang penting bagi hidup ku. Semoga ini hanya perasaan takut semata. Batin Mentari.

"Wajahmu kenapa?"

"Eh, tidak. Tidak kenapa-kenapa."

Fauzi melirik jam ditangannya, "udah mau maghrib. Saya balik ya."

"Silahkan."

"Besok saya jemput kamu ya kalau kamu sudah enakan." Mentari hanya mengangguk dan tersenyum.

Fauzi bangkit, memakai jaket nya. Dan keluar rumah diikuti oleh Mentari. Sampai dipintu, Fauzi ngomong panjang lebar kepada Mentari agar ia tidak lupa untuk makan malam ini, tidak tidur larut malam, tidak memikirkan apapun yang berat-berat. Fauzi begitu sayang dengan Mentari. Sayang jika kasih sayang dan cinta dari Fauzi bertahan hanya sesaat. Mentari menyalami dan mencium tangan Fauzi. Fauzi pun tak lupa memberikan kecupan singkat di dahi Mentari sambil mengelus lembut rambutnya. Mereka sangat cocok.

Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang