Sore ini, Mentari lagi-lagi menyesap kopi hitam pasih tanpa gula. Kopi hitam kesukaannya. Kopi hitam yang mengerti keadannya. Kopi hitam yang menemani setiap harinya.
Seperti biasa, Mentari akan berkunjung kepantai sore ini untuk melihat dirinya digantikan dengan senja yang tenggelam ditelan oleh pantai dengan derasnya ombak yang membawa kembali kenangan-kenangan masa kecilnya. Hanya di pantai ini dirinya bisa mengulang kembali ingatannya dengan seseorang yang dirindukannya, Ibu.
Sedangkan dibalik itu ada seorang pria yang sedang bergegas menuju suatu tempat dengan mengendarai mobil nya. Teringat ucapan Bapak yang dipantai kemarin bahwa Mentari sering datang sore hari ke pantai.
Tak lama, pria itu sampai di pantai, dari kejauhan pria itu melihat bidadari di pesisir pantai sedang duduk membelakangi nya dan sejauh mata memandang jelas bidadari itu sedang menatap cahaya senja. Iya, bidadari. Bidadari yang hanya miliknya. Bidadari yang membuat hati nya terjatuh entah dari kapan padahal mereka belum pernah sama sekali berkomunikasi selain penghukuman saat Ospek. Pria itu tidak mendekati nya, melainkan hanya memandangnya dari jauh. Dilihatnya Mentari dengan rambutnya yang berkibas kebelakang di hembus angin cinta yang mengalir ke arah pria itu dengan sejuta aroma keajaiban. Lalu, pria itu mengambil catatan hariannya beserta tinta di dalam tasnya dan menuliskan sesuatu disana.
Dear Mentari
Kutuliskan sesuatu disini untuk seseorang yang berada disana.
Di depanku.
Yang berada di hadapanku.
Duduk di pesisir pantai menatap senja yang akan tenggelam lalu menghilang.
Aku menyukai mentari pagi.
Kau menyukai mentari yang menjadi senja disore hari.
Tapi aku bahagia.
Kita bersama menyukai Matahari.
Mau itu di pagi hari atau pun di sore hari.
Ketahuilah...
Aku menyukaimu Mentariku...
Aku mencintaimu Bidadariku...Fauzi Yuanda
Seiring berjalannya waktu, menatap Mentari dari kejauhan setiap sore itu menjadi hal biasa baginya. Tidak ada kesibukan yang menghampiri Fauzi ketika dia sedang menemani Mentari dari kejauhan. Seolah waktu sudah mengerti dengan hatinya yang sedang terbang menuju Mentari yang terbenam setiap sorenya. Tanpa disadari nya, Mentari setiap pagi pula selalu mengunjungi pantai sebelum berangkat kuliah untuk melihat seseorang yang selalu lari bolak-balik dipesisir pantai sana. Entah dari mana Mentari tau bahwa Fauzi selalu datang setiap pagi kesana.
Jadi, saat itu...
"Nak, sendirian lagi?" Mentari dikejutkan oleh seseorang. Kalian pasti sudah tau. Ya, Bapak yang sering dipantai itu mengagetkannya.
"Eh iya, pak. Emang Bapak pernah liat saya berdua ya?"
"Tidak sih, nak. Heran aja. Kenapa selalu sendiri kamu nya. Apa tidak ada teman mu yang kamu ajak untuk menemani mu?" Bapak itu bicara lalu duduk disebelah Mentari.
Mentari melihatnya sekilas lalu ditatapnya kembali keindahan alam yang berada didepannya. Senja.
"Hm.. Iya pak. Emang tidak mau bawa siapapun kalau kesini."
Bapak itu tak ingin menambah kesedihan jika membahas tentang Ibunya. Ia tak mau Mengingatkan Mentari tentang kebahagiaan nya dahulu yang kini sudah tertanam dalam-dalam ditempat yang dia tidak tau. Teringat suatu hal. Bapak itu dengan polosnya bercerita untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu beku seperti es.
"Nak, Mentari." Panggilnya.
"Iya, pak?" Lagi-lagi Mentari masih asik menatap senja kala itu.
"Kemarin ada yang menanyakan mu, nak."
Spontan Mentari langsung melihat si Bapak. Heran. Siapa yang menanyakannya? Apa benar ada orang yang kepantai ini selain dirinya dan sudah menemukan atau mengambil novelnya? Duhhh apa-apaan ini!!!
"Iya, nak. Dia bertanya siapa orang yang kepantai ini. Bapak juga tidak tau mengapa dia menanyakan hal itu. Yang jelas Bapak hanya menjawab, cuma Bapak, dirinya, kamu, dan Ibumu yang berkunjung kapantai ini."
"Hah? Tidak. Tidak mungkin ada yang mengetahui pantai ini selain aku, Ibu, dan Bapak, pak."
"Setahun kamu tidak datang kesini, nak. Pria itu selalu datang kesini setiap pagi. Bahkan sebelum Mentari pagi muncul pun dia sudah berada disini."
"What? Buat apa pagi-pagi sekali dia disini?" Mentari semakin bingung. Sungguh-sungguh bingung. Duhh kenapasih ada mengacaukan suasana saat dirinya sedang menatap senja. Huhh!!!
"Ya buat..." Tidak, tidak mungkin saya mengatakan jika Fauzi mempunyai penyakit yang sama dengan Ibunya atau akan menambah kesedihan dan mengingatkannya kembali kepada Ibunya. Saya hanya tak ingin ada kesedihan lagi dihati anak ini. Batin Bapak itu sebelum melanjutkan bicaranya, "Ya buat lari pagi, nak. Dia pria yang selalu menjaga stamina dan daya tahan tubuhnya."
"Pria? Dia seorang pria?"
"Iya, nak. Dia sangat-sangat tampan. Percayalah, kamu akan terpesona ketika melihatnya."
Oh, jadi seseorang yang kesini itu seorang pria. Batin Mentari.
"Pak, sudah gelap. Saya harus pulang." Mentaripun pulang kerumah. Dia mengendarai sepeda mini nya tadi saat ke pantai agar pulangnya tidak terlalu malam. Jika jalan kaki pasti nya dia sudah kemalaman sampai dirumah.
Besoknya, Mentari berencana pagi sekali menuju pantai. Kalian tau? Pastinya! Dia penasaran dengan orang yang lancang bertanya dengan si Bapak yang berada dipantai mengenai dirinya.
Betapa kagetnya dia. Dia melihat sosok pria diujung sana. Dari kejauhan di fokuskannya mata nya pada satu titik. Saraf-saraf otaknya serasa sudah seluruhnya putus. Apa yang dilihatnya? Pria itu! Kakak senior nya sendiri. Apa maksudnya ini?
"KAK FAUZI!!!"
-
-
-
-
-
Oke, sampai dibagian 7 dulu yeee.. Btw mood aku lagi hancur banget makanya di bagian 7 ini aku publish singkat. Besok atau lusa, aku janji bakal ngepublish bagian 8 nya. 🙋🙋 Goodluck💙💙
Selamat membaca😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)
RomanceSetiap pertemuan pasti ada perpisahan. Pertemuan yang indah bukan berarti bisa bertahan selamanya. Akhirnya mau tak mau wanita itu harus tegar menjalani hari-hari nya tanpa orang yang dia sayang. Karena baginya mengikhlaskan orang yang dia sayang i...