Bagian 17

714 25 11
                                    

Pria itu melirik jam ditangannya, "aduh, sampai sekarang belum makan siang," kesalnya. "Mana angkut lama banget lagi."

Pria itu melihat diseberang halte ada sebuah spanduk bertuliskan Lamongan, "wih, makan dulu aja dah." Ia pun berjalan dan menyebrang jalan sampai dirinya tak melihat ada mobil melintas ke arahnya. Semakin dekat. Semakin dekat.

"AWASSSSSS!!!"

BRUKKKKK!!!

***

RUANG 230.
Ya, disitu wanita itu berada. Ditemani oleh seorang lelaki yang dia tidak tau siapa. Masih saja ia terlelap diranjang yang menjadi satu-satunya ranjang yang tak ingin siapapun meniduri nya. Dengan tempelan jarum infus ditangan kirinya. Dengan sebuah oksigen yang membantu pernapasannya. Dia masih setia dengan tidurnya entah sampai jangka waktu berapa lama lagi dia berada di dalam sana.

Pria itu hanya menatap wajah wanita itu dengan lekat, penuh pertanyaan, kenapa dia bisa menolong ku? Kepala pria itu semakin lama semakin pusing. Entah apa yang membuat ia tak bisa lepas memandang wajah manis wanita yang terbaring lemah dihadapannya. Yang tadi pagi menyelamatkannya dari maut yang ingin menimpanya. Alhasil, kejadian tragis itu malah menjadi beban untuk wanita itu.

Perlahan, jari wanita itu bergerak. Matanya perlahan terbuka. Sudah. Sekarang matanya sepenuhnya telah terbuka. Pria itu langsung bangkit dan berdiri menatap mata itu dengan kebingungan. Ia bingung apa yang harus dilakukannya. Sedangkan wanita itu masih aneh dengan keberadaannya sekarang.

"Kamu tenang ya. Kamu baik-baik aja."
"Saya dimana dok? "
"Dok? " tanya pria itu bingung. "Oh, iya sebentar ya saya panggilkan." Lantas pria itu keluar dari ruangan itu dan memanggil dokter untuk keruangan itu segera.

Pria itu kembali bersama seorang dokter. Dokter itu memeriksa keadaan wanita itu, "Syukurlah, sudah membaik. Tapi..."
"Tapi apa dok? "
"Ia mengalami amnesia."
"Apa? Ja.. Jadi, gi..gimana dok? "
"Dia pasti sembuh. Tapi butuh beberapa waktu untuk memulihkan semuanya. "
"Ya Tuhan, apalagi ini. "
"Kalau begitu saya keluar dulu. "
"Baik dok."

Pria itu mendekati wanita itu lagi, wanita itu masih saja bingung dengan apa yang ia lihat.

"Kamu.. Siapa? "
"Lutfi. Nama saya Lutfi."
"Lutfi? "
"Iya, kamu ingat nama kamu siapa? " Lantas wanita itu hanya menggeleng kepalanya.
"Oh iya, tas mu. Pasti ada petunjuk disana." Pria itu pun mengambil tas ransel polos yang diletakkannya dinakas ruangan itu, di geledah nya isi dalam tas itu. Sedangkan wanita itu hanya menatap heran.

"Nah, ini dia." pria itu menemukan sebuah dompet, dilihatnya ada kartu pelajarnya saat SMA disana, "Dewi Mentari," Bacanya, "Oh nama kamu Dewi?" sambil menghampiri wanita itu.

"Oke, Dewi. Kamu ingat? Nama kamu Dewi. " wanita itu menggeleng lagi.
"Oke, tidak apa-apa."

Pria itu melihat ada kertas lain, ternyata alamat rumahnya. "Komplek Asri Kota Bandung Nomor 123."

"Kamu ingin pulang? " tanya pria itu, "pulang?"
"Iya pulang. Aku takut keluarga mu khawatir. " Jawabnya sambil membereskan tas Wanita itu kembali.

Pria itu keluar lagi, memanggil suster ternyata untuk membuka infus dan semua yang menempel di tubuh wanita itu. Wanita itu hanya diam. Diam. Dan diam. Dia begitu heran dengan keadaannya sekarang. Seolah tertera dari mimik wajahnya bahwa ia sedang bertanya-tanya pada diri nya sendiri. Apa? Ini ada apa?

Lutfi membayar administrasi nya dan memanggil taksi untuk menghantarkan wanita itu pulang, "Pak, ke alamat ini ya," sambil memberikan Lutfi selembar kertas yang di temukannya didalam tas wanita itu.

Mereka sudah masuk kawasan perkomplekan. Tepat didepan rumah yang tertuliskan angka 123. Ya, itu dirumahnya. Mereka turun, Lutfi membayar ongkos taksinya dan berjalan menuju ke dalam rumah sederhana tetapi terlihat mewah itu.

Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang