Bagian 18

282 9 0
                                    

Seperti tenggelamnya senja setiap hari. Bagaikan perginya senja tanpa alasan. Fauzi menghilang begitu saja. Tidak ada kabar. Tidak ada alasan. Tidak ada pemberitahuan apapun kemana perginya. Tidak ada tanda-tanda akan kembali. Sudah hampir seminggu, jejak nya tidak terlihat. Sudah hampir seminggu Della dan Al mencari nya. Hilang. Dia entah kemana. Dirumahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di kampus dan ruangan khusus untuk nya, tidak ada langkah-langkahnya yang tertinggal. Tidak ada satu pun dari teman nya yang tau. Tidak ada. Mentari pasti akan cemas jika mengetahui ini. Mungkin ia akan merasakan langit tanpa senja. Mungkin Mentari akan merasakan pantai tanpa ombak. Mungkin Mentari juga akan merasakan angin tanpa kesejukan jika tanpa Fauzi. Namun, semua itu tidak akan dirasakan Mentari dengan kondisi nya yang sekarang. Semua itu tidak akan di alami Mentari dengan keadaannya yang masih buruk hari ini dan tidak tau sampai kapan.

Hari semakin berlalu, Mentari mulai terbiasa dengan kehidupan nya bersama Lutfi. Lutfi menjadi pria bertanggung jawab. Ia menepati janji nya untuk merawat Mentari.

"Kamu sudah mulai pulih."

"Iya, Lutfi. Berkat mu." Jawab Mentari di pinggir pantai.

"Tempat nya bagus ya." Kagum Lutfi. Tapi Mentari hanya berdehem.

Tiba-tiba Mentari pusing. Kenangan-kenangan masa lalu berputar di kepala nya. Gelap. Semuanya gelap.

*

"Cucu ku, kamu sudah sadar..." sahut nenek  ku yang sekarang tepat di sebelah ku.

Sepertinya aku sedang terbaring di rumah sakit.

Ramai. Ramai sekali disini. Ada Della, Al, Nenek, Bi Ani, dan...

Mata ku berhenti pada seorang pria. Tidak tau siapa. Wajahnya begitu manis. Hampir tidak lepas pandangan dengannya. Ia tersenyum. Tapi tampaknya aku belum bisa tersenyum dengannya.

"Kamu kok liatin Lutfi begitu, Tari."

"Lutfi, nek? Fauzi kemana?" Tanya ku pada nenek.

"Alhamdullillah, gusti... Cucu ku sudah bisa mengingat semuanya lagi." Sahut nenek dengan mengangkat kedua tangannya. "Iya, nak Lutfi yang merawat mu selama ini." Lanjut nenek.

Ha? Siapa dia? Kepalaku jadi pusing lagi. Tiba-tiba saja semuanya terungkap di otak ku. Iya. Dia Lutfi. Aku ingat persis dia yang ingin ditabrak oleh mobil itu. Aku menolongnya dan malah aku yang tertabrak. Iya aku ingat sekarang

"Mentari..." Diambang pintu, seorang pria memanggilku dengan nada kekhawatiran yang ku tau itu tidak rekayasa. Lalu menutup pintu ruangan ku dan berjalan sedikit cepat menuju ku

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Panik Pria itu. Aku yang lagi tidak ingin bicara hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan ku.

"Hampir syok mendengar mu seperti ini." Cemas pria itu. Aku langsung tersenyum bahagia.

"Tidak apa-apa, ayah. Ayah tidak perlu pulang. Aku baik-baik saja."

"Bagaimana bisa ayah tidak menemui mu setelah mendengar kabar bahwa kau sedang terkena musibah."

"Tapi kan hanya beberapa waktu saja ayah. Aku sudah pulih."

"Iya, tapi ayah cemas mendengar anak ayah satu-satu nya masuk lagi ke dalam ruangan yang penuh selang ini." Jelas nya.

"Mentari udah bisa pulang besok kok, ayah." Jawab ku sembari menenang kan ayah. Sedangkan Ayah hanya tersernyum

"Kalau begitu, nenek dan bi Inah, pulang dulu. Ayah mu mungkin ingin istirahat." Kata nenek. "Ayuk, Jaya, kita balik ke rumah. Kau butuh istirahat sebentar." Lanjutnya.

"Iya, bu." Ayah pun mencium keningku sambil mengusap rambut ku. "Ayah istirahat dulu ya. Jika anak ayah ingin sesuatu, katakan saja pada ayah." Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu mereka keluar dan menghilang di balik pintu .

Hanya tersisa aku , Della, Al, dan Lutfi. Aku hanya diam . Tidak tau ingin berkata apa. Ku lihat Lutfi mundur dan duduk di sofa yang ada di dalam kamar ini. Sedangkan Della duduk di kursi yang berada di sebalah ranjang ku lalu memegang tangan ku.

"Lo kenapa sih, ah. Bisa ditabrak mobil gitu?!?!?!?" Terdengar suara kesel dari Della. Aku hanya tertawa.

"Yeeee, lo di tanyain malah ketawa!!!"

"Abisnya lo kayak kesel gitu nanya nya."

"Iya kesel lah!! Siapa cobak yang ga kesel sekaligus sedih ngeliat temen yang tiap hari sama gue malah udah seminggu lebih ini tidak ada sama gue!" Jelasnya, "Malah cowo sial ini yang sama gue." Lanjut Della dengan melempar sapaan dagu ke arah Al.

"Ah, lo bilang gue sial ntar suka lo sama gue!!" Seka Al.

"Ogah suka sama lo. Dasar cowo sial..." ejek Della untuk Al. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka berdua.

Della bercerita banyak hal mengenai hari-hari tersial nya dengan Al. Aku mendengarkan dengan setengah sadar. Sambil ku lihat seseorang yang duduk di sana, masih manatap ku. Heran, betah sekali dia menatap ku. Aku pun menatap nya dan tersenyum. Sambil sesekali tertawa melihat Della dan Al bertengkar kecil di ruangan ku.

"Hmmm, Tar."

"Hm? Serius banget, Del. Ada apa?" Aku sedikit penasaran. Yang sedari tadi Della bercerita riang pada ku, sekarang mendadak menjadi serius. Apa karena aku terus melihat Lutfi? "Gue dengerin lo kok, Del."

"Bukan. Bukan itu."
"Lalu?"

"Kak Fauzi..."

Hampir syok mendengar nama itu. Ingin sekali aku menanyakannya sedari tadi. Tapi entah kenapa suara ku seakan bertahan untuk mengucapkan namanya saja. Bahkan telinga ku seperti tidak menerima mendengar nama nya. Ada sedikit rasa penasaran. Tapi entah kenapa lagi-lagi aku seperti malas membahas ini.

"Kenapa, Del?" Aku memberanikan untuk mendengar kabar yang aku tau pasti sangat buruk. Entahlah, firasat ku seperti itu lah. Bahkan terlalu kuat sekali tekanan ini membukti kan bahwa hal buruk akan terjadi.

"Dia menghilang, Tar. Hampir dua minggu ini gue dan Al sudah mencari nya setiap hari. Tapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Dia tidak ngampus, kami sudah ke penetapan nya tapi dia juga tidak--"

"Sudah. Biarkan saja dia menghilang." Aku memotong penjelasan dari Della. Demi apapun, tidak ingin ku dengar lagi kabar dari nya. Toh, dia menghilang meninggalkan ku sekarang , akan jadi sama saja dengan dia yang akan meninggalkan ku nanti nya. Jadi, sudah ku pastikan bahwa aku akan baik-baik saja tanpa nya.

"Del, tinggalkan gue dulu, ya. Gue ingin istirahat." Pinta ku dengan lembut pada Della.

Al dan Della bertatapan. "Ya sudah, Al juga masih ada tugas besok dan harus diselesaikan malam ini. Gue dan Al balik ya. Lo cepat sembuh."

"Tar, lo cepat sembuh ya." Setelah mengatakan itu, Al dan Della pun hilang dibalik pintu ruangan ini. Hanya ada aku dan Lutfi.

"Aku kembali dulu,ya." Lutfi bangkit dan beranjak ke pintu ruangan.

"Sebentar!!" Aku langsung saja memberhentikan langkahnya. Entahlah, aku tidak tau mengapa aku bisa menghentikannya. Padahal, tidak akan menjadi masalah jika aku ditinggalkan nya.
Dia berbalik, "Ada apa?"

"Kamu disini saja ya. Temani aku." Tanpa basa-basi aku melontarkan permintaan itu. Ia tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya melihat ku lalu ia melepas semua kelelahan di sofa dengan terbaring. Dia tidak melihat ku. Hanya melihat langit-langit kamar rumah sakit ini.

Huh, apa yang indah dari langit-langit ruangan ini.

Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang