Bagian 34

262 17 2
                                    

Ranjang terindahku. Ranjang empukku. Ranjang yang tau seluruh lelah ku. Yang menerima dengan senang hati sebuah rebahan yang tiada tenaga nya lagi ini.

Setelah bersalaman lalu memeluk nenek dan ayah untuk melepas rindu, aku lebih memilih untuk langsung menuju kamar dari pada menceritakan seluruh pencarian ku yang sia-sia pada nenek dan ayah. Mereka juga sudah mengerti bahwa tidak ada kabar baik yang menemani kepulanganku. Melihat dari wajahku saja mereka sudah mengerti bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

"Neng, ini cokelat hangatnya."

"Masuk aja, bi." Kalian pasti sudah tau itu suara bi Ina. Dia tidak pernah lupa membuatkan ku cokelat hangat. Pasti nenek yang memberitahu bi Ina bahwa dulu ibu ku sering sekali membuatkan ku hal yang sama. Ah, sudah berapa kali aku mengatakan ini. Apa kalian sudah tau? Atau aku yang terlalu sering memberi tau?

"Bibi letak kan di meja komputer ya, neng." Katanya.

Aku hanya berdehem dan mengucapkan terima kasih pada bi Ina. Lalu bi Ina langsung kembali ke dapur membawa nampan untuk cokelat ku tadi.

Aku masih memejamkan mata, berharap semua beban dalam tubuhku hilang. Pikiran dalam otak ku juga menghilang. Aku ingin semuanya menghilang. Karena aku sudah terbiasa dengan kehilangan.

Entah kenapa, jiwa kegatalan dalam diriku tidak pernah hilang. Maksudnya kegatalan? Pasti kalian bertanya. Maksudnya aku suka sekali bermain dengan pria. Bukan maksudnya bermain dalam hal negatif. Aku hanya tidak pandai bergaul dengan wanita. Karena yang ku tau, tidak sedikit wanita jika sudah berkumpul pasti menceritakan aib orang-orang bahkan para artis pun di gosipkan. Yang lebih parahnya lagi aib teman sendiri juga bahkan bisa lebih cepat tersebar di bandingkan virus demam berdarah. Temanku hanya satu yang perempuan. Della, namanya. Kalian pasti sudah tau. Dulu, waktu SMP, aku juga mempunyai teman, namanya Indah. Hanya satu juga semasa SMP hingga aku lulus dari sana. Bahkan saat SD, hanya satu juga sampai aku lulus. Namanya Tiara. Sempat saat TK pun, hanya satu juga hingga aku tamat, Dinda namanya.

Tiap aku memasuki pendidikan baru, hanya satu teman perempuan yang ku akrab-in. Selebihnya? PRIA SEMUAAAAAAAAA!!!!!!

Tapi, aku tidak salah pilih teman. Bimo satu-satu nya teman ku dari kecil. Saat belum sekolah sekalipun aku sudah bermain dengannya. Hingga sekarang. Zeki dan Lutfi. Hanya seseorang yang hadir tanpa disengaja. Menurutku, selama aku kuliah tidak banyak yang kujadikan teman. Bahkan tidak sampai lima manusia. Yang lainnya hanya datang karena kebetulan.

Telfon ku berdering, menandakan ada panggilan masuk. Aku langsung saja mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo Mentari.. Udah sampai rumah?"  Sambut seseorang di seberang telfon.

Aku mengernyitkan dahi ku. 'Nomor siapa lagi ini?'

"Aku. Zeki."  Jawabnya seakan mendengarkan kata hatiku.

"Tari?"

"Eh, iya Zi?"

"Zi?"

"Eh aku barusan bilang apa?"

"Kau sudah sampai rumah?"

Aku hanya terdiam.

"Mentari, kok gak dijawab?"

"Sudah. Aku sudah mengangguk."

"Tapi kan aku tidak lihat, Tari."  Sahut Zeki kesal.

"HAHAHA.. Iya iya maaf. Udah kok. Aku mau istirahat dulu."

"Oh begitu. Baiklah. Malam."

"Malam, Ki."

Heran, hingga aku tidak sadar bahwa aku mempunyai tiga orang yang namanya hampir sama semua jika di panggil. Zi, Ki, Fi. Ah kenapa aku harus memikirkan itu. Apa yang salah dari mereka bertiga? Bukan kah yang spesial hanya... Ah, tidak. Aku tidak mungkin menyebutkan nama itu walaupun hanya ujungnya. Eh tapi tadi barusan aku baru sama mengurutkan namanya paling awal sebelum Ki dan Fi. AAAAAAA SUDAH DONG PIKIRAN KU!!!! JANGAN BUAT TAMBAH MUMET!!!!!!

Sang Mentari Melepaskan Senja (KOMPLIT✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang