Chapter 1

28.3K 854 6
                                    

Menatap cermin di hadapannya, sudah menjadi rutinitas bagi seorang Ara. Menatap wajahnya yang ditutupi riasan tipis, sudah menjadi kebiasaan bagi seorang Ara. Mengecek semua penampilannya, sudah menjadi hal yang lumrah bagi Ara.

“Ara, ayo sarapan!” seru sebuah suara maskulin, yang Ara hapal sebagai ayahnya. Ara hanya mengembuskan napas pelan, dan segera meraih tas ransel warna pastelnya, lalu turun ke ruang makan, untuk sarapan.

***

“Hari ini, sarapannya roti sama selai dulu, ya. Ibu tidak sempat membuat nasi goreng, Ibu pulangnya kemalaman,” ujar Sang Ibu, sedetik setelah pantat Ara menyentuh bangku.

“Ya, Bu,” jawab Ara singkat, sembari meraih selembar roti dan stoples selai. Tanpa mempedulikan kesibukan Ayah dan Ibunya, Ara memakan rotinya dengan lamat.

“Bu, jadi berangkat bareng, gak? Ayah udah telat, nih,” ujar Sang Ayah, menatap jam tangannya. Ara menatapnya dengan dahi berkerut.

“Ayah kenapa buru-buru banget?” tanya Ara heran. Padahal jam baru menyentuh pukul 6.30, dan setahu Ara, rutinitas perkantoran Ayahnya baru mulai pukul 8. Bahkan biasanya, Sang Ayah mengantar Ara ke sekolah terlebih dahulu.

“Ayah ada meeting penting, sayang. Nanti kamu berangkat sendiri lagi, ya. Hati-hati,” jawab sang Ayah. Ara tidak menjawab. Namun matanya mengikuti kemanapun Ayah dan Ibunya bergerak ke sana kemari.

“Kita pergi dulu, ya, Ara,” ujar Sang Ibu terburu-buru. Ara hanya mengangguk pelan, sebelum pintu utama rumahnya dibanting begitu saja oleh sang Ibu.

Sementara Ara mendengar suara mesin mobil dari ruang makan, dia tertinggal kembali. Sendirian. Seakan mengantar Ara tidak lebih penting dari pekerjaan mereka, Ara hanya terdiam, dan bagian terburuknya, dia tidak bisa memprotes.

***

“Selamat pagi!”

Sapaan itu. Sapaan yang Ara dengar sehari-hari, bukan untuknya.

“Selamat pagi, Leon!” balas suara lainnya.

Sungguh, Ara sudah terbiasa.

***

Kontras dengan siswa lain yang terlihat mengantuk, Ara tampak biasa saja saat mengemasi ponsel, earphone, dan buku novelnya. Dengan langkah santai, tidak mempedulikan langkah kaki cepat nan terburu-buru siswa lainnya, Ara menuju ke kantin.

Bila kalian berpikir Ara akan menetap di sana dan memakan makan siangnya, kalian salah. Langkah kaki Ara menuju taman belakang sekolahnya, sembari membawa satu bungkus sandwich, dan sekotak susu kemasan.

Baru saja pantatnya menyentuh kursi, Ara menatap kursi panjang di sebelahnya. Tidak ada yang aneh dengan kursi itu, selain terdapat tubuh seorang pemuda yang sedang rebahan sembari menutup matanya.

Earphone menyumpal di telinga si pemuda. Namun Ara tidak peduli. Dia hanya berdiri, dan menjauh dari kursi itu. Itulah Ara. Diam adalah hobinya. Menjauhi masalah adalah tujuan hidupnya. Dan sendirian adalah takdirnya.

A/N

Jangan pedulikan komennya. Itu komen dari cerita sebelum revisi. Sengaja pake template lama.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang