Chapter 15

4.8K 221 1
                                    

Ara menatap laptopnya dengan pandangan kosong. Ini bukan hal yang mengherankan lagi. Ara memang terkadang kehilangan mood untuk menulis, dan berakhir dengan menatapi laptop silvernya dengan pandangan kosong. Sekalipun kacamata sudah bertengger di hidungnya, sekalipun layar laptopnya sudah menampilkan sebuah dokumen kosong di Word.

Arapun mendesah frustasi, sembari melepas kacamatanya, dan mematikan laptopnya. Daripada dia nganggur gak jelas di depan laptop, lebih baik dia membaca buku. Pantatnya beranjak dari kursi putar di depan meja belajarnya, dan kakinya melangkah di depan rak buku.

Dipandangi satu persatu buku di rak besar itu. Lagi-lagi, Ara mendesah frustasi. Semua buku yang tertata apik di sana, sudah dibaca Ara setidaknya dua kali. Arapun membanting dirinya ke kasur.

Ara menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Hingga akhirnya satu ide terlintas di pikiran Ara. Kenapa tidak menelepon Leon saja? Biasanya mereka bisa teleponan sampai 3 jam lebih, entah membicarakan apa.

Ara menunggu. Tidak ada barang sederingpun, suara mbak-mbak operator sudah berujar, “Nomor yang anda hubungi—“ Ara langsung menekan tombol warna merah di ponselnya.

Diulang kembali. Ara mencoba menelepon Leon. Hingga telepon ketiga, dijawab dengan suara yang sama, mengumumkan ponsel Leon sedang tidak aktif, mata Ara melihat bahwa hari ini adalah hari Sabtu.

Pantas saja tidak dijawab. Leon kan sedang menonton konser bersama Nanda. Mengingat itu, membuat hati Ara kebakaran jenggot seketika. Ara mendengus keras. Tiba-tiba saja, Ara terlonjak kaget, karena mendengar ponselnya berdering.

Mungkin itu Leon! Ara membalik ponsel yang tadi dia telungkupkan, dan harus menelan pil pahit, karena nama penelepon menunjukkan nama Kalvin.

Dengan sedikit ogah-ogahan, Ara menjawab sambungan tersebut. “Halo,” gumam Ara pelan.

“Halo, Ara,” jawab Kalvin semangat, 180 derajat dari tanggapan Ara tadi.

“Ada apa? Lo mau ijin?” tanya Ara. Entah mengapa, moodnya semakin membaik. Kalvin malah terkekeh di seberang sana.

“Kagak. Cuma mau tahu, lo lagi ngapain?” tanya Kalvin. Ara mendengus geli.

“Receh banget sih lo. Gue lagi hidup,” kelakar Ara, mengundang decakan kesal dari Kalvin. Ara malah terkekeh geli.

“Seriusan, Ara,” ucap Kalvin gregetan. Ara lanjut terbahak.

“Gue lagi nganggur aja,” jawab Ara akhirnya. “Kenapa? Mau ngajak gue jalan?”

Gantian Kalvin yang terkekeh. “Mau banget gue ajak jalan, ya?” Pipi Ara merona seketika.

“Ih, apaan, sih lo,” balas Ara sedikit salting. Kalvin sudah terbahak di seberang sana.

“Maunya sih, emang ngajak lo jalan. Tapi gue sendiri lagi gak bisa,” ucap Kalvin. “Sorry, ya.”

“Santai aja, bro,” jawab Ara santai. “Kan bisa kapan-kapan. Lagian gue juga agak gabut keluar rumah.”

“Leon mana? Biasanya lo berdua nempel mulu kek nasi keinjek kaki.” Ara terbahak.

“Dia lagi kencan sama Nanda.” Ngilu. “Biarin ajalah. Kasian jomblo gitu.” Gantian Kalvin yang terbahak.

“Ya udah. Sebagai ganti karena gak bisa ngajak lo jalan, gue temenin ngobrol sampe lo cape ya,” tawar Kalvin. Ara tersenyum dan berujar, “Boleh, tuh.”

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang