Chapter 11

4.8K 203 5
                                    

Ara berhenti sejenak dari aktifitasnya memasukkan buku di laci mejanya, guna melihat pesan singkat yang masuk ke ponselnya.

“Ara, ini gue, Rangga. Gue mau ketemu sama lo di gudang belakang. Tenang aja, gak bakal gue apa-apain. Gue Cuma mau ngomong sama lo. Dateng ya.”

Ara mengernyit pelan. Melihat ekspresi Ara yang agak aneh, Leonpun bertanya, ”Kenapa, Ra?”

Ara hanya mengendikkan bahunya. Lalu lanjut memandangi pesan tersebut. Rangga? Rangga yang mana? Leonpun makin penasaran. Dia mengintip sedikit di balik bahu Ara. Sayang, belum sepatah katapun Leon membaca, Ara sudah mendorongnya, lalu pergi dari sana.

Dan kali ini, Ara membawa serta buku novelnya. Leon menatap kepergian dalam diam Ara, dengan heran. Tanpa sadar, jarak yang sudah dibuatnya selama 3 minggu itu, semakin melebar seiring kepergian Ara.

***

Ara menatap sekitaran gudang belakang ini. Kenapa gudang belakang yang gak ada pemandangan bagus-bagusnya ini—malah berpotensi dijadikan tempat bermesum ria—bisa menjadi sebuah tempat dimana biasanya orang saling bicara?

Dua lelaki.

Pembicaraan yang bisa Ara tebak sama.

Tempat yang sama juga.

Lamunan Ara pecah seketika, ketika seorang dengan badge nama Rangga, berlari menghampirinya. Berbeda dengan Galih yang super sopan—wajar, dia adalah ketua OSIS—leher Rangga malah tidak dihiasi dasi. Kemejanya juga tidak dimasukkan ke celana kotak-kotak abu-abunya.

Belum lagi rambutnya yang melewati kerah. Memang diperbolehkan tuh? “Sorry, nunggu lama ya lo?” tanya Rangga, dengan hebatnya tidak terengah karena lari yang sedemikian cepat.

Ara menggeleng singkat. “Ada apa, Ga? Gue abis ini acara.”

“Acara apa?” Dahi Rangga mengerut.

“Ke perpus,” jawab Ara singkat, malas menyebut taman rahasia.

“Ngapain?” tanya Rangga lagi.

“Gosok undian,” sarkas Ara. “Udah, cepetan aja.”

Rangga menyengir. “Gue ada tiket konser band Inline, buat hari Sabtu. Lo mau ya, ikut bareng gue,” ucap Rangga sembari merogoh sakunya, setelah menyebutkan sebuah band post-rock indie yang lumayan terkenal akhir-akhir ini.

“Nih, tiketnya,” lanjut Rangga, sembari menyodorkan tiket bernuansa biru gelap itu. Ara memandanginya sejenak.

“Kalau lo mau, gue bisa jemput lo, Sabtu besok.” Ara tetap memandangi tiket itu.

“Gue mau, sih,” ucap Ara singkat, membuat Rangga bersorak dalam hati. “Tapi gue ada acara, Sabtu besok. Jadi, lo ajak yang lain aja.”

Rangga tersenyum kecil, namun Ara bisa menebak ada kekecewaan di sorot matanya. “Udah, gue pergi dulu,” ucap Ara, sembari meninggalkan Rangga dan tidak membiarkan pemuda itu mengeluarkan sepatah katapun.

Satu hati lagi, Ara patahkan.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang