Chapter 3

5.5K 212 0
                                    

Salahkan saja Leon, yang asal lari demi menghampiri Ara, sampai-sampai pemuda berusia 15 tahun itu tiba-tiba menabrak seorang gadis yang tampak sebaya dengannya.

“Eh, maaf,” ucap Leon spontan, sembari mengumpulkan buku dan lembaran-lembaran yang tercecer karenanya.

“Oh, iya. Maaf juga,” balas si gadis. Tidak ada yang salah dengan nada bicaranya, atau suaranya. Namun Leon membeku mendengar suara itu. Itu, suara yang sangat dia kenali. Atau tidak. Karena si pemilik suara sudah ada jauh darinya, sangat jauh sehingga tidak terjangkau olehnya.

Leon sontak menggeleng kecil, dan lanjut mengumpulkan sisa lembaran yang tercecer di lantai. “Ini,” ucap Leon singkat, sembari memberikan lembaran yang dikumpulkannya. Dirinya semakin membeku, melihat rambut pirang dan mata biru muda milik si gadis.

“Ah, makasih ya...” Gadis tadi melihat sejenak badge nama Leon. “...Leonardo Bagaskara.” Leon yang masih terpesona dengan tatapan teduh, wajah yang cantik, dan suaranya yang lembut itu, mau tidak mau terseret kembali ke dunia nyata.

“Ya, sama-sama,” balas Leon menyunggingkan senyum tipis. Gadis tadi, melewatinya begitu saja. Nanda Azahra. Nama yang Leon tangkap di bagian kiri dada gadis tadi. Membuat Leon mau tidak mau menoleh ke arah perginya Nanda.

“Nanda,” panggil Leon, membuat gadis berambut pirang tadi menoleh. “Nama lo, Nanda, kan?” Nanda sontak mengangguk.

Leon tersenyum cerah. “Salam kenal. Lain kali panggil gue Leon aja,” ucap Leon, membuat senyum di wajah Nanda terbit.

“Salam kenal,” balas Nanda sembari tersenyum. Suara itu lagi. Senyum itu lagi. Suara dan senyum yang sama, yang pernah membuat Leon nyaman berteman dengan seseorang sepertinya.

Leon terlalu terseret masa lalu, sehingga tidak menyadari bahwa Ara sudah ada di depan matanya. “Earth to Leonardo Bagaskara!” pekik Ara di depan wajah Leon, membuat Leon kaget setengah mati.

Leonpun berdecak. Ara mengernyit kecil. “Lo kenapa, sih?” tanya Ara. Leon menggeleng pelan, dan segera merangkul Ara menuju ke kantin, dengan senyum yang tidak pernah memudar.

***

“Nanda!” panggil seseorang, membuat bukan hanya kepala Nanda yang menoleh, tapi juga kepala Leon. Nanda ada di kelasnya?

“Sini!” ajak orang tadi, sembari menepuk meja di sebelahnya. Nandapun menghampirinya dengan penuh senyuman.

Dan kursi itu, ada tepat di belakang kursi Leon. Anak baru kah? Kerutan di dahi Ara—yang sedari tadi sudah tercipta karena melihat Leon menengok bukan karena namanya sendiri—semakin dalam melihat siswi yang tidak pernah Ara lihat sebelumnya.

“Halo,” ucap Ara penuh senyuman pada Nanda, yang dibalas dengan senyuman juga. “Nama gue Ara. Gue gak pernah lihat lo sebelumnya. Lo gak ikutan MPLS?”

“Gue izin gak ikut gitu, soalnya ada acara juga pas itu,” jawab Nanda. “Tapi kayaknya gue bakal ditatar sama senior, nih.” Nanda dan Ara terkekeh kecil.

“Gak mungkin, lah,” jawab Ara. “Kalau senior berani natar lo, tanpa ada alasan yang jelas, panggil gue aja. Gue hajar pake karate gue.”

Mata dan mulut Nanda membulat. “Lo bisa karate?” ucap Nanda sembari menatap Ara dengan kagum.

“Jago, malah,” celetuk Leon, menarik perhatian Nanda. Nanda terdiam sejenak.

“Lo Leon yang tadi, kan?” tanya Nanda memastikan. Leon mengangguk. Lalu Nanda beralih pada Ara lagi. “Lo beneran jago karate? Sabuk apa?”

“Sabuk hitam, Dan 2,” jawab Ara. Nanda semakin kagum. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab guru pelajaran Fisika mereka sudah datang.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang