Chapter 12

4.7K 207 0
                                    

Ara yang sedang menghadap laptopnya dengan serius, mendadak kesal karena harus terlonjak kaget demi sebuah bunyi bel beruntun. Bahkan kacamatanya sampai melorot.

Dengan dongkol, Ara yang sedang duduk di meja makan, harus menuju ke pintu dan membukakan tamu tidak tahu diri. “Apaan, sih? Ganggu tahu gak! Sekali aja kan bisa!” sentak Ara, tanpa melihat sosok pemencet bel beruntun itu.

“Hehe,” kekeh orang itu, yang ternyata Leon. “Sorry, deh.”

“Tumben banget pencet bel. Biasanya asal ngedobrak aja,” nyinyir Ara.

“Pintunya dikunci. Gue jadi gak bisa masuk,” jawab Leon. “Nah lu, tumben pintu dikunci.”

“Serah gue lah!” ujar Ara, yang entah kenapa, agak emosi. Leon mengernyit heran melihat Ara yang emosi.

“Gue boleh masuk dulu, gak?” ucap Leon meminta ijin. Tidak seperti harapan Leon, Ara malah memutar bola matanya. Sekalipun pintu rumahnya dibuka lebar, tak urung membuat Ara berkata, “Pulang lo abis ini! Ganggu banget.”

Leon semakin mengernyit heran, melihat sikap Ara. Namun Leon merasa Ara baik-baik saja, jadi Leon langsung masuk dan menceritakan hal yang ingin diceritakannya.

“Gue ama Nanda mau ke konser band Inline, besok Sabtu,” awal Leon. Ara mungkin akan mengabaikannya, kalau sama pendengarannya tidak mendengar kata ‘band Inline’. Pikirannya berlabuh pada Rangga.

“Oh,” tanggap Ara singkat. “Terus?” Ara menaikkan satu alisnya. Kacamatanya sedikit merosot, tanda akan kebosanannya.

“Doain, ya,” pinta Leon memohon. “Doain berhasil.” Ara hanya menggumam singkat, dengan matanya yang sesekali melirik laptopnya yang menampilkan tulisan yang tidak selesai.

“Iya,” jawab Ara malas. “Udah? Jadi kapan lo balik?” Leon membeku sejenak, mendengar omongan Ara. Kenapa Ara jadi sangat sinis padanya?

“Tunggu dulu, dong. Lo belum cerita. Tadi siang, SMS siapa yang lo baca? Kok tumben dipelototin gitu banget?” tanya Leon penasaran.

“Provider,” jawab Ara singkat, mulai muak, sehingga kembali menatap laptopnya. Rasa penasaran Leon, belum hilang. Dia malah makin curiga.

“SMS provider mana yang lo liatin segitunya?” tanya Leon lagi, curiga.

“Serah gue, dong, mau ngeliatin kek gimana!” sentak Ara marah. Mood menulisnya makin hancur karena kedatangan Leon, dan rasa curiga tak beralasan dari pemuda itu.

“Lo tuh kenapa, sih?” tanya Leon, tidak tahan. “Dari tadi gue nanya baik-baik, lonya malah ngegas, kek gue di sini ganggu aja.”

“Emang ganggu,” cetus Ara kejam. “Lo bisa gak sih, kalau mencet bel sekali aja? Harus banget ya berkali-kali?”

“Soalnya pintu rumah lo dikunci,” jawab Leon frustasi. “Gue takutnya ada apa-apa. Soalnya biasanya rumah lo gak pernah dikunci.”

“Sekali aja bisa, Leon!” balas Ara. “Gue tuh lagi fokus nulis! Kenapa gak telepon aja?”

Leon mengacak rambutnya frustasi. Memang, Ara sangat benci bisa mood menulisnya diganggu. Namun bukan jawaban itu yang Leon inginkan. Dia mau tahu, kenapa Ara bisa terasa sangat jauh? Kenapa Ara bisa marah begitu saja, hanya karena dirinya yang khawatir dengan Ara yang kenapa-napa karena pintu rumahnya dikunci?

Dan kenapa Leon, yang sangat khawatir pada Ara, hanya karena pintu rumahnya terkunci?

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang