Chapter 10

8K 343 1
                                    

Menangis diam-diam sudah menjadi keahliannya sejak kecil. Bahkan ketika ibunya diejek habis-habisan, bahkan ketika anak-anak sebayanya menjauhi dia, yang Leon lakukan hanyalah pergi ke gudang dan menangis di sana.

Ketika kecil, Leon menganggapnya sebagai perasaan sedih. Namun hingga akhirnya, Leon sudah cukup besar untuk menganggapnya sebagai rasa marah dan tidak terima. Leon marah. Kenapa orang tuanya memiliki wajah yang menyeramkan? Apa penyebab dari bekas luka di sebagian wajah mereka?

Leon menggeram dalam hati. Leon kecilpun bangkit, dan mengusap air matanya. Dia menuju ke keran kecil di sebelah gudang, dan membasuh mukanya. Dilihatnya wajahnya di depan kaca buram yang bisa memantulkan bayang wajahnya, memastikan agar tidak ada bekas jejak air mata di sana.

Lalu Leon kecil kembali ke rumahnya sembari menyunggingkan senyum tipis. Setidaknya, ada seseorang yang mau diam dan tidak menertawakannya, sekalipun sudah melihat wajah orang tuanya.

***

“Leon,” panggil Sang Ibu. Sekalipun sudah melihat wajahnya yang tertutupi bekas luka itu sedari kecil, Leon tetap tidak terbiasa. Dia sedikit terkaget. “Ibu boleh masuk?” Sekalipun agak enggan, Leon tetap mengangguk.

“Di sekolah tadi, Leon selalu diejek sama teman-temannya ya?” tanya sang Ibu. Leon bergeming. Sang Ibu mengelus pelan kepala Leon. “Karena wajah Ibu, ya?” Leon tetap bergeming.

“Gimana kalau Ibu sama Ayah operasi plastik aja? Leon jadi gak malu kalau dijemput sama Ayah dan Ibu,” usul Sang Ibu, dengan napas sedikit tercekat. Darimana dia akan mendapatkan uang untuk operasi, kalau untuk makan saja, dia harus beririt-irit ria?

Leon menggeleng pelan. “Gak usah,” jawab Leon singkat, enggan menambah kata lagi di akhir jawabannya.

Ibu Leon menghela napas pelan. Diusapnya kepala Leon dengan lembut, melenyapkan nyaris semua kekesalan Leon akan luka bakar di wajah orang tuanya. “Lain kali, kalau ada yang ejek, gak usah dilawan. Diemin aja. Jangan diajak berteman,” pesan ibunya. Leon mengangguk.

“Ibu udah masak tempe sama sayur kangkung. Makan dulu, yuk,” ajak Ibu Leon. Leon tersenyum kecil sebagai reaksi, dan mengikuti ibunya keluar dari kamar. Namun, sekalipun Leon tersenyum kecil, diam-diam Leon merutuki menu makannya yang selalu sama seminggu terakhir ini.

***

“Anak-anak, hari ini ibu akan bagikan surat pengumuman untuk orang tua kalian. Jangan lupa, hari Sabtu ambil rapor,” ucap Bu Guru Leon, sembari membagikan surat edaran untuk orang tua siswa.

Awalnya, Leon hanya fokus pada kertas yang dilipat di hadapannya, yang baru saja ditaruh gurunya di atas mejanya. Namun telinga Leon mendengar suara kikikan. Leon tidak mempedulikannya sampai salah seorang pemilik kikikkan itu berbisik kecil.

“Rapor Leon diambil sama monster. Hii.. Jangan deket-deket sama Leon, nanti,” bisiknya agak keras. Kikikkan berlanjut lagi.

“Orang tua Leon kan, monster. Takut, ah. Jangan temenan sama Leon,” timpal yang lain.

Sahut-sahutanpun terjadi, menimbulkan keributan. “LEON ANAK MONSTER! LEON ANAK MONSTER!” seru seorang anak akhirnya, membuat seluruh kelas tertawa.

“Hei!” bentak Bu Guru, membuat kelas hening seketika. “Gading! Siapa yang ajarkan kamu untuk mengejek teman?!” Bocah yang tadi berteriak, menunduk seketika.

“Jawab, Gading!!” bentak Bu Gurunya semakin sangar. Dia bahkan bisa mendengar isak tangis salah satu anak muridnya.

Perlahan, Gading menggeleng. “Tapi, bu, mama papa Leon kan monster,” celetuknya, malah menimbulkan tawa kecil bocah lainnya.

Tidak mau mendengar kelanjutannya, Leon menerobos ke luar kelas. Leon tidak sanggup lagi mendengarnya.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang