Chapter 7

5.1K 224 0
                                    

“Tadi apa aja yang diomongin sama kakel lo?” tanya Leon, sembari mengayuh sepedanya. Ara yang berdiri di boncengan Leon, menyahut, “Kakel kita, Leon.”

Tanpa Ara melihat, dia tahu Leon sedang memutar bola matanya. “Iya, Ara. Apa yang tadi dibicarakan oleh kakel kita?”

Ara mendengus geli sejenak. “Tadi dia ngasi gue coklat. Terus nembak gue gitu. Katanya udah suka sama gue dari hari pertama MPLS—“

“Gila,” cetus Leon sembari memasuki wilayah perumahan Ara. “Lanjut.”

“Nah, dia bilang juga, kalau gue tuh cerdas, pinter, cantik, anggun—“

“Pfft.” Leon menahan tawanya. “Anggun dari Hongkong.”

“Dengerin dulu, nyet!” Ara menoyor pelan kepala Leon, agak geram ketika Leon terus memotong perkataannya.

“Gue udah tolak dari awal. Terus dia kayak agak maksa gitu. Mau gak mau gue tolak agak kerasan, biar dianya gak maksa terus. Risih, anjay,” lanjut Ara bercerita.

“Terus?” Leon memarkirkan sepedanya di garasi rumah Ara.

“Yee, terus mulu lo. Kek tukang parkir aja,” kelakar Ara, mengundang kekehan kering Leon.

“Jayus ya, mbak,” sahut Leon. Sekarang gantian Ara yang terkekeh kering.

Belum apa-apa, Leon sudah merangkulnya sampai ke dalam rumah. “Bagus. Pokoknya, apapun yang terjadi, jangan pernah lo jadian sama siapapun, tanpa seijin gue. Gue harus liat, dia sekompeten apa, sampe berani-beraninya nembak sahabat gue.”

Ara mendengus kecil. “Emang harus sekompeten apa dia, Bapak Leonardo Bagaskara?” tanya Ara, yang kemudian dia sesali karena merasa jijik memanggil Leon dengan panggilan itu.

“Dia harus seganteng gue, sepinter gue, sepengertian gue, dan seterkenal gue,” jawab Leon bangga. Lagi, Ara mendengus agak lebih keras.

“Kalau gitu juga, Kak Galih lebih dari lo, kali,” ledek Ara.

“Nah, itu dia. Dia melebihi gue. Gak boleh. Pokoknya harus setara sama gue,” jawab Leon, membuat Ara memukul pelan punggung Leon sembari tertawa.

“Ogeb gak ketulungan, ya lu ini,” balas Ara. Gantian Leon yang terkekeh, diikuti dengan kecupan cepat di puncak kepala Ara.

“Bodo amat, deh. Pokoknya lo—“

“Gak boleh jadian tanpa seijin lo,” tandas Ara cepat. Leon tersenyum puas. Tangannya yang merangkul Ara sejak tadi, digunakannya untuk mengusap kepala Ara, sebelum keduanya masuk ke kamar Ara.

Rangkulan tadi. Kecupan tadi. Usapan tadi. Ara tahu, seharusnya ini salah. Bukan kelakuan Leon, tapi reaksi jantungnya yang berdegup 2 kali lebih keras dari biasanya inilah yang salah.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang