Chapter 16

4.6K 199 1
                                    

“Tadi, konsernya seru, ya,” ucap Leon, sembari tersenyum sumringah, yang dibalas senyum yang sama sumringahnya.

“Iya!” pekik Nanda senang. “Band Inline tuh, band kesukaan gue banget. Dulu gue kenal satu bocah, seneng banget dengerin lagunya. Awalnya gue gak suka. Tapi lama-lama terbiasa, akhirnya suka deh.”

Leon terkekeh, melihat Nanda yang semangat bercerita. Pipi pucatnya merona, mata birunya berbinar semangat. Degup jantung Leon bertalu-talu, mengingat betapa miripnya mereka.

Astaga, Leon sangat merindukan Amanda. “Terus, nama bocah itu siapa?” tanya Leon, agak penasaran. Nanda menggeleng sejenak.

“Gue gak tahu. Lupa, kali. Soalnya waktu itu gue diajak pindah gitu aja,” jawab Nanda. Leon hanya mengangguk-angguk mengerti.

“Mau makan? Laper gak?” tanya Leon, menatap gadis berambut pirang yang hanya setinggi bahunya itu.

Sontak saja, Nanda menatap Leon dengan mata berbinar. “Mau!” pekik Nanda semangat.

***

“Nanda,” panggil Leon pelan, agak skeptis. “Seriously?” Nanda hanya menyengir pelan. Setelah membungkuk sedikit, guna berakrab ria dengan seorang pria tua penjual kerak telor pinggi jalan, Nanda mengajak Leon untuk duduk di trotoar.

“Neng bule, itu pacarnya ya?” tanya Bapak Suparjo, penjual kerak telor di sekitar area konser band Inline, membuat pipi Nanda dan Leon bersemu seketika.

“Bu-bukan, pak. Ini teman saya,” jawab Nanda sedikit gugup. Bapak pun terkekeh.

“Gak usah malu-malu atuh, neng,” balas Bapak. “Bapak juga waktu muda, mirip kayak kalian. Makan berduaan di pinggir jalan ama pacar. Duh, sedapnya masa muda.”

Celetukan Bapak Suparjo mengundang tawa merdu dari mulut Nanda. Cantik. Jantung Leon meledak tidak kira-kira.

“Kangen ya, sama masa muda?” goda Nanda. Sekarang gantian si Bapak yang tersipu.

“Banget, lah,” jawab Bapak. Keduanya larut dalam tawa. Leon sedari tadi hanya diam. Atau, dia memperhatikan Nanda? Ah, Leon tidak tahu.Tapi yang pasti, pendengaran Leon akan kehilangan fokus pada sekitarnya, ketika tawa Nanda meledak.

Tawa Nanda bagaikan warna merah di antara hitam dan putih. Tawa Nanda bagaikan bunga daisy di antara tanah merah. Tawa Nanda bagaikan oase di tengah padang gurun.

Baru saja Leon ingin mencari perumpaan lain, Leon sudah menemukan seporsi kerak telor yang ditaruh di atas kertas coklat dan piring rotan, di hadapan wajahnya. Leonpun menerimanya, dan hendak memakannya.

Namun Nanda menahan tangan Leon. “Doa, dulu,” ingat Nanda. Leon menatap Nanda sejenak, dan ikut menautkan kedua tangannya, memanjatkan doa makan.

***

Sekalipun hari sudah semakin malam, hal itu tidak mengurungkan niat Leon dan Nanda yang masih ingin jalan-jalan di taman. Dengan jaket Leon yang melingkupi tubuh kecil Nanda, keduanya berjalan menyusuri alat-alat permainan yang mulai sepi anak-anak.

“Nda,” panggil Leon, membuat Nanda menoleh.

“Kenapa, Yon?”

“Mau cilok gak?” tanya Leon, mengundang binar di mata Nanda.

“Mau!” jawab Nanda semangat. Leonpun meninggalkan Nanda sejenak, guna membeli cilok.

Tak sampai 10 menit, Leon kembali. “Nih.” Tangan Leon menyerahkan seplastik cilok dengan bumbu di atasnya. Keduanya hening sejenak, sembari mencampur cilok mereka.

“Nda,” panggil Leon lagi. “Gue mau ngomong sesuatu.” Sontak, Nanda menatap Leon. Ditatap seperti itu, membuat Leon sangat gugup.

“Gue—“ Entah mengapa tenggorokan Leon terasa tercekat. “—Gue suka sama lo.” Nanda memberikan atensi sepenuhnya pada Leon.

“Jadi pacar gue. Mau, ya?” tanya Leon. Keseriusan di mata Leon, entah mengapa membuat Nanda jadi gugup. Hingga akhirnya, anggukan kepala adalah jawaban si gadis, membuat si pemuda spontan saja merengkuh tubuh kecilnya.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang