Chapter 6

10.3K 417 3
                                    

Ara mendengus kencang, tepat di wajah Sarah, yang sedang menatapnya dengan tajam. Hal itu membuat Sarah menjauh sedikit, dan memojokkan Ara lagi. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Mari kita reka ulang sejenak.

***

Bel istirahat berbunyi, namun dia harus terjebak bersama Leon, guna membicarakan soal tugas kelompok yang diberikan oleh Miss Hana. Mereka harus membuat sebuah cerita sebanyak 12.000 karakter, dengan tema pergaulan masa kini.

“Jadi, lo mau kerja kelompok kapan?” tanya Leon. Ara terdiam sejenak.

“Tamara?” panggil Leon, ketika Ara tidak memberi jawaban. Hal itu sontak mengundang decakan kesal dan gemas dari bibir Ara, karena konsentrasinya buyar.

“Heh! Sorry ya, mas. Gue tuh lagi mikir. Minggu ini, gue ada jadwal apa aja, gue mikir!” sentak Ara sanking gemasnya, sembari menunjuk pelipisnya. “Hari Jumat gue ada les. Hari ini ada acara. Besok aja.”

Leon melongo sejenak. Belum sempat Leon selesai dengan ketersimaannya, Ara melanjutkan, “Lain kali panggil gue Ara. Gak usah segala pake nama panjang.”

Leon yang masih melongo karena cerocosan Ara, akhirnya harus kembali bereaksi, karena Ara menjentikkan jari di depan mukanya. “Lo besok bisa apa gak?” tanya Ara, yang entah kenapa sedikit ketus.

Leon mengangguk kecil, sembari berkata, “Gue bisa, kok. Besok di mana?” tanya Leon kembali.

Ara tampak berpikir. “Cafe Broker aja, cafe sebrang sekolah,” jawab Ara, agak malas memikirkan opsi lain.

“Gimana kalau di taman belakang aja?” jawab Leon, memberikan saran. Leon bisa menangkap raut cerah Ara, walau tak bergitu kentara.

“Ya udah,” cetus Ara. Lalu gadis itu tampak memainkan sejenak ponselnya, sembari berpikir. Apakah dia harus pamit Leon dulu? Ara ingin ke kantin dan membeli sebungkus sandwich selai stroberi, dan sekotak susu kemasan.

Hening menguasai mereka berdua. Nampaknya Leon juga membiarkan kecanggungan mengambil alih. Akhirnya, Ara memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan Leon sendirian di kelas.

***

Menunggu bukan menjadi suatu masalah bagi Ara, sehingga dia rela mengantri kira-kira selama 5 menit, guna mendapatkan sebungkus sandwich selai stroberi, dan sekotak susu kemasan saja.

Namun, sekalipun Ara cukup sabar untuk menunggu selama itu, Ara tetap berjalan terburu-buru ke taman belakang sekolah. Dia tidak ingin waktu tenang dan membacanya terpotong begitu saja, sekalipun hanya untuk berjalan menuju ke sana.

Baru saja Ara mempercepat larinya, dia merasakan lehernya tercekik dengan kerah bajunya. Kerahnya baru saja ditarik dari belakang, membuatnya harus terbentur dengan tembok sebuah lorong kecil.

Ara mengerang kecil demi mengurangi rasa panas yang menyebar di punggungnya. Ara yang tidak tahu apa-apa, dipaksa mendongak. Akhirnya, wajahnya bertemu dengan wajah full make up yang Ara kenal sebagai Sarah.

Wajah yang sebenarnya cantik itu mencibir Ara. “Apa sih spesialnya lo, sampe Leon ngejar lo terus beberapa hari ini?” tanyanya sembari mendengus.

Ara menatap Sarah dengan tidak gentar. “Apa ya? Mungkin karena gue lebih cantik dari lo,” balas Ara cuek. Jawaban itu malah membuat Sarah dan gengnya tertawa terbahak-bahak.

“Lo? Cantik? Wuahahaha..” Sarah menatap Ara dari atas ke bawah, dengan pandangan menilai.

“Kemeja longgar bener. Busung lapar ya?” celetuk Sarah, membuat tawa gengnya meledak kembali.

“Rok selutut. Lo pendek, sih,” lanjut Sarah, sembari terkikik.

“Kemeja dimasukkin. Sok suci, sok sopan,” ketus Sarah, kembali membuat tawa mengejek gengnya meledak.

Lalu Ara berseru, “Kemeja ketat. Gemuk ya?” Semuanya terdiam, menatap Ara dengan kaget karenya pernyataannya.

“Rok sepaha. Paha lo gede, noh. Kecilin dulu,” lanjut Ara, mengundang tatapan geram Sarah dan gengnya.

“Rambut dicat. Caper banget. Gak cocok, malah mirip ayam kampung,” cibir Ara, membuat Sarah hendak menjambak rambutnya.

Namun sayang sekali, Ara sudah menghindar. Ara yang sudah diajari karate oleh ayahnya sejak duduk di kelas 3 SD, pasti bisa melihat pergerakan Sarah, sekalipun tiba-tiba.

Sarah tambah geram melihatnya, tapi senyum licik dan sinis terpampang di wajah Sarah. “Guys, sikat!”

3 orang yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Sarah, mulai maju. Fay, Dhalia, dan Geana. 3 nama itu terpampang di badge nama, di kemeja masing-masing. Fay maju, dan mulai meraih tangan Ara, guna mendekatkan posisi mereka, lalu menjambak rambutnya.

Namun Ara tetap bisa menghindar. Perkelahian yang tampak seperti berat sebelah ini, terus berlanjut, sampai seorang pemuda berteriak, “Stop!”

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang