Chapter 19

4.8K 194 0
                                    

Ara menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sekilas. 6.30 AM. Setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Namun Ara tidak bisa berhenti gelisah. Biasanya, sepeda Leon nangkring dengan manisnya di depan pagar rumah Ara. Namun hingga saat ini, Ara tidak melihat satupun kendaraan di depan rumahnya.

Arapun memutuskan menunggu. Masih ada waktu 15 menit untuk memulai perjalanan, dan masuk ke kelas. Dan juga, Leon kan suka membawa sepeda gak pake otak, alias mengebut habis-habisan.

Ara membuka tasnya, dan mengeluarkan novel dari dalamnya. Ara mulai membiasakan diri kembali, untuk membawa novel. Karena Ara tahu, Leon pasti lebih memilih Nanda untuk menemaninya ke kantin, daripada Ara. Mengingat itu, Ara mendengus gusar.

Tanpa sadar, 10 menit berlalu. Namun Ara semakin tidak tenang. Arapun menelpon Leon. Tak sampai 2 dering terdengar, suara Leon sudah menyapa.

“Halo,” ucap Leon.

“Halo, halo,” gerutu Ara kesal. “Lo dimana, kunyuk? Gue nungguin lo sampe jamuran di sini, dan lo gak dateng-dateng?”

“Eh?” Leon menggumam linglung.

“Ah, eh, ah, eh,” gerutu Ara semakin kesal. “Lo pikir ini film bokep? Buru ke sini, jemput gue.”

“Tapi gue udah di sekolah, Ra,” ucap Leon, terselip rasa sesal di suaranya.

Ara terperangah. “Lo ke sekolah sendirian?”

“Gak,” jawab Leon. Hening menguasai selama 1,5 detik. “Gue sama Nanda.”

Tak pernah Ara pungkiri, jawaban itu membuat jantung Ara turun sampai ke perut. “Oh, ya udah,” gumam Ara lemas. “Gue berangkat sendiri aja.” Tanpa mendengar jawaban lagi, Ara memutuskan sambungan.

Dengan perasaan gusar, Ara memasukkan novelnya dengan kasar, tanpa mempedulikan beberapa ujung halamannya yang terlipat. Ara memutar otak. Bagaimana bisa, sampai dalam waktu 15 menit, tanpa kendaraan satupun?

Rumah Ara adalah sejenis cluster, yang mana, abang gojek tidak akan diperbolehkan masuk. Belum lagi, Ara tidak punya kuota. Kalau mesti jalan ke luar cluster, tidak masalah. Masalahnya hanya ada pada ojek pangkalan yang hobi memberi harga mahal, hanya untuk ke sekolahnya saja.

Ara punya sepeda. Tapi dia tidak punya kunci garasi. Belum lagi, Ara sudah tidak memakai sepeda itu selama 6 bulan lebih. Pasti bannya kempes. Tak bisa ditahan, air mata Ara menetes. Dengan kasar, diusapnya air mata itu.

Ada satu jawaban yang terlintas di pikiran Ara. Dengan cekatan, Ara meraih ponselnya, dan menelpon satu orang. Ara menunggu nada dering dengan cemas. Namun di dering ketiga, suara bass menyambut pendengarannya.

“Vin, bisa tolong jemput gue?” ucap Ara meminta. Kalvin harus bisa, atau Ara tidak tahu, harus bagaimana lagi. Tanpa dia sadari, suara paraunya, membuat Kalvin sontak saja menutup telepon, dan memacu mobilnya menuju rumah Ara.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang