Chapter 14

7.1K 285 0
                                    

Leon menatap pemandangan sekitarnya dengan pandangan kosong. Ayunan yang biasanya dia ayunkan kencang-kencang, sekarang malah dibiarkannya tertiup angin begitu saja.

Cibiran-cibiran yang biasanya dia perhatikan, dibiarkannya. Bahkan, ibunya harus memanggilnya sebanyak 3 kali, untuk menarik perhatiannya.

Leon kecil yang mengira dia akan memiliki teman. Leon kecil yang berpikir bahwa dia akan mempunyai seseorang yang bisa diajaknya bicara. Leon kecil yang rapuh. Leon kecil yang terpaksa kembali ke rumah.

***

Leon menangis, seperti biasa. Namun ejekan teman-temannya bukanlah hal yang utama. Leon menangis, karena penolakan Amanda pada dirinya. Leon menangis, karena memang penyebabnya selalu sendirian, adalah karena orang tuanya.

Ini semua salah orang tuanya. Ini semua salah mereka yang memiliki wajah bak monster. Leonpun beranjak dari gudang dengan perasaan dongkol setengah mati.

***

“Leon, ayo makan dulu,” ajak ibunya lembut, membuat perhatian Leon yang awalnya ada pada buku PR yang terbuka di hadapannya, beralih ke sosok ibunya.

“Cih! Ganggu aja,” ketus Leon sembari berdiri menuju meja makan, melewati reaksi ibunya yang kelewat kaget karena balasan Leon. Ibu Leon terpaku sejenak di tempatnya berdiri.

“Leon, kamu ngomong apa sama Ibu tadi? Kok Ibu sampai bengong begitu?” tanya Agung, masih dengan seragam SMA yang melekat di tubuhnya.

“Gak,” jawab Leon singkat, sembari mengambil makanan untuk dirinya. Situasi itu membuat ketiganya makan dengan canggung.

***

Berulang. Terdiam. Melihati Amanda dengan pandangan tersakiti. Melihati anak-anak sebayanya bermain tanpa menghiraukan dirinya. Leon menghela napas pelan. Tangan kecilnya mengambil permen loli di kantung seragamnya.

Namun dia bisa merasakan sebuah tangan yang lebih besar darinya, menampik tangan kecilnya yang mulai membuka bungkusan di ujung permen itu. Permen yang awalnya ingin Leon masukkan ke mulut itu, terjatuh di tanah.

“Kan sudah aku bilang,” ucap suara angkuh dan sombong, yang Leon kenali sebagai Galih. “Anak monster tidak boleh memakan permen.” Kaki gemuknya menginjak permen tersebut sampai remuk.

Galih mengeluarkan permen yang lebih besar dari milik Leon, dan membukanya di depan mata Leon. “Mau?” godanya, menyodorkannya di depan mulut Leon. Baru saja Leon ingin melahap permen itu, Galih mengambilnya kembali, dan memasukkannya ke mulut dengan cepat.

Senyum angkuh Galih terukir. Dengan kasar, Leon didorong sampai jatuh dari ayunan. Teman-teman Galih yang sedari tadi melihati sembari tersenyum licik, maju dan mengeroyok Leon.

Ada yang menginjakinya, ada yang menendang, ada yang meninju, bahkan ada yang meludahinya. Seragamnya yang awalnya putih bersih, karena ibunya yang selalu menjaganya seperti itu, menjadi awut-awutan. Beberapa bagiannya sobek, sebagian besar warna sudah berubah menjadi warna tanah. Tapi bahkan, Leon tetap bergeming, sembari melindungi kepalanya.

“Udah, teman-teman,” ucap Galih memberhentikan aksi teman-temannya. “Jajan pentol, yuk! Aku traktir!” Pekikkan senang teman-temannya menguar. Semuanya mengikuti Galih, meninggalkan Leon yang sedang menangis dalam diam dan menatap permennya yang hancur.

Satu hal yang tidak Leon ketahui, adalah Amanda yang melihatinya sejak Leon dikeroyok.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang