Empat belas, fourteen
Waktu pulang sekolah menjadi waktu yang paling menyenangkan dihidup Rea, karena dia akan dengan bebasnya menghirup nafas lega.
Setelah sekian lama dia dikurung seharian ini oleh Si kakek lampir,dan kini waktu yang tepat untuk menikmati harinya.
Rea sendiri bingung dengan sikap Kelvin, dia sendiri yang mengancam Rea untuk menyetujui kehendaknya.
Membuat Rea sekarang sedang bertekuk lutut dihadapannya sebagai babu, tapi dia malah mengaku-akui bahwa Rea adalah pacarnya.
Yang membuat hidup Rea seratus kali tidak tenang dari biasanya. Musik klasik mengalun lembut ditelinganya, menggetarkan seluruh jiwanya dan sedikit menangkannya.
"Reamur Amor," panggil seseorang yang dua hari ini Rea kenali suaranya, langkah Rea tidak berhenti, dia sedang menggunakan earphone jadi dia yakin ini akan jadi alasan dia terus berjalan tanpa disengaja.
Mengingat Kelvin akan meneriaki namanya berulang-ulang saja sudah berhasil membuat suhu badannya naik. Arghh! Mau sampe kapan gue gini?
"Rea," panggil Kelvin lagi, kali ini Rea melangkahkan kakinya lebih cepat dengan harapan lebih cepat menghilang dari sekeliling Kelvin.
"CELCIUS!" Bukannya menoleh pada Kelvin yang sedari tadi memanggilnya, Rea malah memanggil Celcius untuk memutar balikkan suasana.
Celcius menoleh, karena jarak mereka yang cukup jauh, indra penglihatan Celcius tidak terlalu terang perihal Kelvin
"Kedepan bareng ya," Rea langsung menarik tangan Celcius menjauhi koridor sekolah yang mereka lewati, berjalan dengan cepat menghindari kesan buru-buru.
Sedang diujung sana Kelvin tersenyum kecut,"Satu sama kah?" Dan menyalakan mesin motornya dengan wajah ditekuk tak bersemangat.
Hari ini dia melewatkan satu kesempatan membuat Rea bertekuk lutut, rugilah dia.
Celcius yang tidak mengerti keadaan malah terus berjalan berpegangan tangan bersama Rea, nafas Rea terengah-engah tapi Celcius pikir itu karena dia berlari tadi.
Nyatanya nafasnya terengah-engah karena Rea berlari menjauhi Kelvin, daripada dia maksa pulang bareng 'kan? Amit-amit boncengan sama dia.
"Kamu mau kemana?" Kali ini Celcius menyadari jika Rea terus berjalan mendahului nya, yang tertinggal dibelakang.
Rea menghirup oksigen dengan rakus seolah tidak akan ada kesempatan kedua baginya,"Kita ke halte depan ya?, gue pengen nafas dulu,"
Celcius mengangguk,"Sekalian nelpon suruh jemput didepan aja," Celcius mengeluarkan hape dari sakunya.
"Rea," ujar Celcius ketika mereka sudah duduk menunggu bus-Celcius menunggu jemputan.
"Kamu nggak pacaran sama Kelvin 'kan?" Naiklah sudah amarah diubun-ubun Rea.
"GILA AJA LO! MASA IYA? JIJIK GUE MAH!!" Celcius tersenyum, dia tahu apa jawaban dari pertanyaannya.
"Gue disiksa sama dia, Cel," wajah Rea memanas, "Pengen gue bunuh aja!" Rea menggertakkan giginya, menyebalkan, sangat.
Celcius menggeleng,"Aku nggak tau simbiosis apa yang kamu sama Kelvin jalani, tapi semoga dari kesempatan-"
"Kesempatan? Ralat, KUTUKAN." Celcius mengangguk lagi.
"Kutukan yang kamu dapatkan ini bisa membawa banyak informasi terkini dari Kelvin,"
Rea diam seribu bahasa, lebih memilih menghirup oksigen dan menetralkan degupan jantungnya.
Gue kangen saat Celcius gue masih polos dan belum mengenal Kelvin,
Rea tersenyum, kapan lagi lo kaya dulu Cel? Namun kemudian menggeleng pelan,"Gue duluan ya,"
Lalu meninggalkan Celcius dengan sekali langkah menuju bus.
Maaf Rea, karena sejatinya cinta sejati akan siap mengorbankan walau dia yang dikorbankan.
Celcius juga menunggu untuk beberapa saat hingga jemputannya tiba, lalu menaiki mobil jemputannya dalam diam menatap keluar jendela yang ramai.
Dalam menjelang tidurnya, Celcius selalu berharap, sekali saja dia ingin lihat Kelvin bahagia karenanya, karena dia penyebab Kelvin bahagia.
Tapi kemudian, sekali dia tertidur, sinar matahari datang memperkenalkannya pada kenyataan yang ada, selamat pagi.
Thanks
{Kritsar, Vote?. Part ter-pendek.}
KAMU SEDANG MEMBACA
°SUHU [HIAT]
Novela Juvenil[Hai masa lalu, mari berdamai!] Lalu pada suatu hari Rea harus memilih. Perasaannya atau nyawa temannya? H A P P Y • R E A D I N G :)