Sebelas, Sakit
Rea melirik arloji dipergelangan tangannya, sudah ke lima kali dan Celcius belum juga menampakkan batang hidungnya.
Bahkan, jam istirahat sudah hampir berakhir, namun Celcius tidak kunjung kembali.
"Kemana sih itu anak?" Gerutu Rea dengan gusar.
"Hai!" Faren tersenyum ceria ketika berhasil duduk dihadapan Rea,"Sendirian ceritanya? Gue temenin ya!" Rea menggeleng,"Gue bareng teman, minggir sana lo!"
Faren tersenyum lagi,"Cie yang mau belajar boong," dan menyantap ketoprak dihadapannya dengan semangat.
"Ya ampun!" Sontak Rea berdiri dan memukul meja pelan,"Anjing!" Bentaknya."Dibilangin juga! Itu punya temen gue!" Bentak Rea lagi dan mengundang perhatian seluruh siswa dikantin.
Faren menatap nanar wajah-wajah yang sedang menatapnya, suara Rea yang membesar membawa kesan buruk anak-anak padanya,"Iya-iya, gue ganti, ah loh mah, bikin malu gue!" Dia beranjak dari duduknya dan memesan satu ketoprak lagi.
"Bungkus aja!" Teriak Rea pada Faren yang mengantri dibarisan paling belakang, kemudian tersenyum jahil menatap ekspresi Faren yang aneh.
"Rea!" Panggilan Yves membuat Rea menoleh dengan cepat padanya, Rea tak bersuara untuk menanggapi panggilan mendadak itu.
Wajah Yves terlihat panik,"Temen lo ada diuks!" Kening Rea bertaut, dia merapikan anak rambutnya yang jatuh disekitaran wajahnya, yang mengganggu penglihatannya.
Rea masih tak bersuara, berusaha menatap Yves dengan tatapan maksud lo?
"Cel-Celcius kalo nggak salah namanya? Iya! Dia di Uks tadi sambil nangis,nggak tau kenapa," barulah Rea membulatkan matanya tak percaya.
Kaget dan berlari ke Uks tempat dimana Yves menyebutkan bahwa temannya sedang kesakitan lagi, apa yang terjadi?
Rea naik pitam, mungkin jika ada yang mencoba mencari gara-gara akan berakhir sebagai karung tinju.
"CEL!" Teriak Rea dan membuat serius juga sontak terkaget, Celcius meringis,
Mati aku!
"Kenapa? Dia lagi? Dia ngapain lo sih?!" Rea meraih telapak tangan Celcius yang memerah bahkan mengeluarkan sedikit darah.
Tim uks yang ada langsung meninggalkan mereka berdua karena takut melihat ekpresi wajah Rea yang merah padam.
Celcius menarik tangannya dari genggeman Rea,"Nggak k--"
"Nggak lagi?!" Bentak Rea,"Mau sampe lo sekarat baru lo sadar kalau perbuatannya itu keterlaluan? HAH? IYA?!!" Celcius meringis, Rea sudah seperti macan ngamuk.
Hanya senyum yang bisa dijadikan jurus andalannya, meski Celcius kesakitan, dia akan coba tersenyum untuk meyakinkan Rea bahwa dia baik-baik saja.
Setelah amarah Rea cukup mereda, barulah Celcius menjelaskan semuanya yang tentu saja karangan yang dia rangkai.
"Gitu ceritanya, kamu barusan curigaan jelek lho sama Kelvin, dia bahkan nggak nyentuh aku sama sekali," Celcius menyengir.
Namun, cengiran Celcius tidak bisa menghilangkan raut amarah yang terpampang jelas diwajah Rea,"Kamu nggak coba boong 'kan?" Celcius menggeleng ragu.
"Ngg,, jangan cari masalah ya Re, Masalah ini ditutup sampe sini. Ini juga karena rasa penasaran aku sama ruangan tua yang bisa diubah jadi ruangan musik, dan yah, nasiblah kejepit pintu, bheheh," Rea tidak berkedip menatap mata Celcius.
Maaf Rea,
Dia kemudian tersenyum pedih, masih nggak mau jujur sama gue Cel?
"Yaudah, gue cabut, mau bayar makanan tadi," Seketika Celcius menepuk jidatnya,"Ya ampun, aku lupa!"
Tanpa menunggu reaksi selanjutnya dari Celcius, Rea pergi meninggalkannya menuju toilet, dia butuh air dingin untuk mendinginkan kepalanya yang terbakar amarah.
Lo bisa boongin gue, tapi mata lo nggak. Dan dimata lo, yang gue liat seratus persen keboongan.
Celcius meringis dalam diam, untung saja Rea dengan mudah mempercayainya, syukurlah.
Jika tidak masalah ini akan berbuntut panjang. Celcius berjalan menelusuri koridor menuju kelasnya, namun, saat melewati ruang kepala sekolah dia bertemu dengan Kelvin yang juga melewati koridor itu.
Celcius menundukkan kepalanya, takut berada dalam kontak mata dengan Kelvin. Dia menyembunyikan tangannya dibalik rok seragamnya.
Dengan jantung yang berdebar-debar Celcius dan Kelvin saling melewati satu sama lain, tanpa ada yang membuka suara.
Aku nggak butuh kata maaf dari kamu, tapi seenggaknya, berikan sebuah senyuman.
Celcius tersenyum, bahkan jantung ini masih berdebar ketika bertemu dengannya.
Ungkap Celcius dalam hatinya.
▪▪▪
"Bu' saya minta maaf baru mau bayar makanannya sekarang," Rea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Berekspresi seolah dia adalah anak polos yang terjebak ditoilet sekolah sendirian.
"Nggak papa geulis, tadi sudah dibayar sama pacar geulis," ibu kantin tersenyum malu-malu.
"WHAT?! PACAR?!" Rea menggeleng tidak percaya,"Iya, jangan malu, ibu tidak akan membeberkan rahasia," Rea semakin tidak mengerti alur percakapan ibu-ibu kantin ini.
Tapi demi menghentikan ocehan tak bermakna ibu kantin lebih baik dia mengangguk seraya memberikan senyum tulus.
Sementara diotak kecilnya, sudah timbul satu rencana licik untuk mengenalkan dunianya yang sebenarnya pada Faren.
Rea takut, Rea takut Faren melangkah terlalu jauh pada kehidupannya. Kehidupan yang sudah berbelas tahun dia isolasi dari lingkungan luar.
Tapi tetap saja, satu persatu batu ditembok yang dia bangun dengan kesepakatan mulai runtuh karena pengkhianatan rasa.
Itu reaksi alamiah, reaksi yang bahkan Rea sendiri tahu bahwa kendali tubuhnya bukan apa-apa jika dibandingkan Reaksi itu.
Bahkan seribu gelengan kepala tidak akan membuat reaksi alamiah itu berhenti dengan sendirinya, menolak masuk lebih jauh dari perkiraannya.
Dan kini Rea tahu bahwa ada rasa aneh yang takut menampakkan diri pada dunianya, ialah rasa yang terlarang.
Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
°SUHU [HIAT]
Fiksi Remaja[Hai masa lalu, mari berdamai!] Lalu pada suatu hari Rea harus memilih. Perasaannya atau nyawa temannya? H A P P Y • R E A D I N G :)