Sepuluh, Smile.
Rea melirik jam dipergelangan tangannya, sore ini, dia sedang berdiri didepan kafe yang dekat dari sekolahnya.
Tujuannya untuk melamar pekerjaan, karena dia sudah tidak bekerja lagi ditempat ibu Linda. Namun hatinya sedari tadi gundah,
Mau nggak ya mereka nerima anak sma?
Pasalnya dikertas yang tertera dikaca pintu kafe itu tidak menuliskan batasan umur.
Rea melangkah masuk memberanikan diri, "Mbak," panggilnya kepada seorang pelayan disana.
"Saya mau ketemu sama bagian penerimaan karyawan, kapan ya saya bisa ketemu?" Pelayan itu tersenyum kikuk, "Mari saya antar,"
▪▪▪
"Bareng gue yuk," Rea terus berjalan menuju halte bus, sepulang dari melamar kerja tadi dia langsung menuju halte bus.
Namun naasnya bertemu dengan sipeganggu yang berhasil membuatnya mencoba merobohkan tembok yang dia bangun sendiri bertahun-tahun.
Rea menggeleng,"Nggak usah," namun bukan Faren namanya yang langsung menyerah pada penolakan.
Bibir Faren berkedut,"Gue nggak bakal pergi tanpa lo," hampir saja Rea tertawa namun masih berhasil ditahannya,
Ya ampun itu muka pengen gue tabok, lucu banget.
"Amit-amit," gumam Rea ketika menyadari apa yang sedang dipikirkannya.
"Lo pulang aja kali sama motor lo, jangan disini," Rea menatap jalanan yang lalu-lalang, sesekali mencuri pandang pada Faren.
"Besok latihan basket 'kan?" Rea hanya mengangguk, memasang headset dikedua telinganya lalu mengalunkan sebuah lagu dari hape-nya.
"Hari ini bus nggak datang, pulang bareng gue aja," Rea menggeleng,"Angkot!" Teriaknya dan berlalu menaiki angkot itu meninggalkan Faren sendirian didepan halte bus.
"Katanya mau nungguin bus, eh angkot yang lewat diembat juga, lah gue yang dari tadi nunggu? Angin?"
Faren menggerutu sepanjang perjalanan pulangnya, sesekali tersenyum karena mengingat hari ini adalah step pertama dia melangkah untuk maju.
Fighting!
Sementara Rea, dia gundah pada perasaan apa yang sedang menjalar ditubuhnya. Menginfeksi darahnya hingga ke organ-organ penting dalam tubuhnya.
"Plis Re, lo jangan gini! Kembali ke awal aja!" Mencoba mensugesti dirinya yang kini semakim menjadi-jadi, Rea semakin penasaran tentang rasa apa yang sedang menguasai dirinya.
Dia tahu bahwa ini bukan cokelat, vanila, ataupun strawberry yang biasa dia rasakan dipermen ataupun ice cream-ice cream pada umumnya.
"Setop, stop," menyerahkan uang lima ribuan kepada sopir angkot dan turun memasuki gang sempit dan kurang pencahayaan itu.
Berjalan menuju rumah kecilnya yang hanya ada sang mama disana menantinya dengan senyuman.
Rea membuka tas ranselnya, mengeluarkan buku fisika dan mengerjakan tugas rumahnya, akhir-akhir ini, tugas sekolahnya menumpuk dan meronta ingin dikerjakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
°SUHU [HIAT]
Teen Fiction[Hai masa lalu, mari berdamai!] Lalu pada suatu hari Rea harus memilih. Perasaannya atau nyawa temannya? H A P P Y • R E A D I N G :)