Rea duduk dengan tidak bahagia dikelasnya. Hari ini Celcius masih belum juga masuk kelas. Terhitung lama.
Karena, sirajin itu tidak pernah betah jauh-jauh dari Kelvin. Sementara perasaan Rea juga semakin tidak menentu.
Dia sudah sangat ingin menceritakan banyak hal ke Celcius tentang perasaannya. Semalam, Rea berpikir keras.
Mencari tahu di internet tentang banyak hal—yang berkaitan dengan cinta dan perasaan.
Rea menemukan sebuah hal, dirinya memang sedang mencintai seseorang.
Dan orang itu berdiri tepat dihadapannya. Dengan senyuman tak kasat mata.
"Hai Re. Lo nggak ke kantin?" Rea menundukkan pandangannya.
"Kenyang," Rea tidak kenyang. Dia lapar. Tapi uangnya lebih penting ditabung. Akhir-akhir ini batuk mamanya sudah semakin parah.
Tapi tidak pernah mau dibawa kedokter. Dengan segala alasan untuk menolak ajakan Rea.
"Lo yakin nggak laper? Emang udah sarapan tadi pagi?"
Belum Ren. Gue laper banget malah. Rea mengangguk. "Uda dong! Mama gue udah masakin nasi goreng tadi,"
Faren kembali mengangguk. "I see. Lo kangen Celcius kan?" Rea mengangguk. "Iya, jarang- jarang soalnya anak itu nggak masuk selama ini,"
Faren tersenyum, mengacak pelan rambut Rea, "Gue juga kangen dia kok. Duluan ya kalo gitu..."
Rea menegang. Usapan pelan tangan Faren dipuncuk kepalanya membawa sensasi baru dikehidupannya dan lagi—ucapan Farenheit mengagetkannya.
Untung saja Rea masih bisa menutupi kekagetannya. Dengan melemparkan senyuman manisnya.
Setelah Faren benar-benar menghilang dari hadapannya. Rea barulah menarik nafas dalam.
Apa maksudnya tadi?
Hati Rea berdenyut. Serangan tiba-tiba yang membuatnya gemetar hebat.
"Lo nggak ke kantin?" Rea terlonjak kaget. Hampir saja dia menendang meja dihadapannya kencang.
"Ya ampun!" Dia mengelus dadanya. "Mau gue mati muda ya lo!?" Kelvin mengangguk polos.
Sementara Rea meneliti apa yang ada ditangan lelaki ini. "Nih, makan." Rea menahan senyumannya.
"Nggak. Kenyang gue," Kelvin tersenyum simpul.
"Lo bisa boongin semua orang yang nanya. Tapi nggak bisa kalo gue," Kening Rea mengerut.
Dia mendorong pelan makanan yang Kelvin sodorkan padanya, "Gini deh, kemarin kan gue ganggu pagi lo. Nah, gue ganti pake ini,"
Rea masih enggan meraih plastik berisi makanan itu.
"Ambil." Kelvin menatap tangan Rea yang belum bergerak.
Alhasil, Kelvin duduk disamping Rea dan memalingkan wajahnya dari Rea. "Makan gih, gue nggak liat kok."
Rasa hangat menjalar ditubuh Rea. Entah kenapa, cowok sekaku Kelvin berbuat demikian.
*Harusnya kaya gini yaa. Tapi tolong yang tidur itu KELVIN. Wkwkwk.
Rea masih takut-takut untuk membuka bungkusan plastik yang melindungi gorengan itu.
Rea lapar, sungguh. Tidakkah kalian mendengar suaranya? Dia kelaparan setengah mati.
Mendengar nafas Kelvin yang teratur, Rea memberanikan diri untuk meraih gorengan itu. Dilahapnya satu persatu hingga tandas. Bahkan Rea sampai kaget karena telah menghabisakan gorengan itu.
Dia khawatir Kelvin akan menertawainya karena dia yang menghabisakan gorengan itu.
Pergerakan kecil dari Kelvin membuat Rea was-was. Namun ketika dia ingin menyembunyikan wajahnya dengan cara berpaling dari Kelvin, Rea mendapati sebuah hal langka yang menghangatkan perasaannya secara tidak langsung.
Kelvin bangkit dari tidurnya, berjalan kedepan tanpa menoleh kearah Rea. Bahkan untuk sekedar tersenyum mengejek. Entah kenapa, perasaan Rea menghangat.
Dia mengucapkan sebuah kata yang begitu lirih, bahkan dia takut untuk sekedar membuat nyamuk mendengarnya.
Sangat lirih, hingga hanya menyerupai gerakan bibir. Terimakasih. Ujarnya.
Seorang Kelvin Athalio, melakukan tindakan luar biasa sederhana yang membuat Rea jatuh hingga kedasar lubang. Semua teori nakal yang dicetuskan untuk Kelvin seolah menguap keangkasa.
Kelvin baik, dan dia adalah teman Rea.
Setelahnya Rea kembali melanjutkan harinya dengan baik, mencoba melupakan sejenak semua masalahnya.
Hujan deras membuat Rea mengurungkan niatnya untuk menerobos air langit ini.
Dia menoleh sekilas kearah sepatu dan kaos kaki baru yang dia gunakan. Tidak rela juga hoodie-nya basah.
Rea harus ke toko roti saat ini, dia sudah sering melakukan pelanggaran di toko roti. Memang tak jarang teman-teman lainnya membelanya, tetap saja Rea tidak enak.
"Kalo nunggu reda, bakalan sampe sore-an," Rea terlonjak. Faren sudah berdiri disampingnya sambil menatap hujan yang semakin deras.
"Ah masa?" Faren mengangguk. "Gue anter?" Tawaran Faren membuat Rea mundur selangkah dari posisi berdiri-nya.
"Eh-nggak usah," ucapnya tanpa pikir panjang. Tapi dia meruntuki kembali jawabannya yang terlontar didetik berikutnya.
"Yakin? Soalnya gue udah mau cabut duluan," Rea berpikir sejenak.
"Ngg—boleh deh," Rea akan mencari alasan agar dia bisa berhenti didepan toko roti dengan alasan lapar atau hal lainnya.
Didalam mobil Farenheit, lelaki itu mengoleksi banyak pernah pernik cowok yang ia gantung dan tempel di dalam mobilnya.
Mobil Farenheit berantakan. Rea menoleh kebelakang, disana, ada sebuah bucket bunga mawar merah yang segar. Nampaknya bunga itu mencuri perhatian Rea.
Rea ingin bertanya, tapi sungguh hatinya tidak enak. Bertanya tentang privasi orang lain adalah pelanggaran.
Masa bodo, pikirnya. "Bunga yang dibelakang, mau kasih ke pacarnya ya? Haha,"
Farenheit tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Rea. Lalu, saat dilihat mobil Faren mendekati tempat tujuannya, Rea mendehem pelan.
"Gue laper, berenti didepan ya Ren," Faren menoleh pelan, mengangkat satu alisnya seolah berkata Serius?
"Didepan toko kue itu?" Rea mengangguk. Syukurnya Farenheit berhenti didepan toko kue. Rea melirik sekilas waktu yang tertera dilayar mobil Faren.
Terlambat beberapa menit lagi.
Rea turun dengan terburu-buru, "Makasih ya Ren!"
"Sama-sama," katanya. Sesuai ekspetasinya, Faren tidak turun dan malah melajukan mobilnya menjauh.
Sejak awal Faren memang terlihat buru-buru. Mengingat bunga mawar dijok belakang mobilnya.
Ah bunga itu, mengingatnya membuat Rea mendapat tamparan keras dari semesta. Lo terlambat!
Astaga! Rea belari kecil memasuki toko kue lewat pintu belakang. Semua menatapnya kaget bercampur iba. Semacam tatapan yang sulit diartikan.
"Lagi rame Re! Ayo cepet ganti baju!" Dia mengangguk pelan. Saat keluar dari bagian stuff ada Yves yang duduk bersama teman-teman yang lain.
Rea menahan napas, matanya melebar, lalu dia menurunkan sedikit kebawah topi yang dipakainya, dengan harap yang belum tentu manjadi nyata, Rea mengulang kalimat semoga mereka gak kenal gue.
Rea tidak butuh apapun dalam pendidikan menegah atasnya. Tapi kalau tuhan bisa mengabulkan satu lagi harapnya. Dia minta untuk tidak ditindas.
Dengan berhati-hati, dia mengantarkan makanan yang sudah dipesan Yves dan teman-temannya. Rea yakin dia bisa melalui ini semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
°SUHU [HIAT]
Teen Fiction[Hai masa lalu, mari berdamai!] Lalu pada suatu hari Rea harus memilih. Perasaannya atau nyawa temannya? H A P P Y • R E A D I N G :)