28
Celcius menggerakan kedua bola matanya, berusaha mencerna keadaan disekeliling.
"Anak saya gimana dok?"
"Anak ibu, bertahan selama tiga tahun terakhir ini saja sudah luar biasa buk. Sel kanker diotaknya semakin menyebar dengan luas. Sel kanker itu semakin aktif,"
"Hiks-Anak saya, berapa persen dia bisa bertahan?"
Dokter menatap mata mama Celcius,"Untuk ketetapan seperti itu, saya belum bisa mendiagnosis lanjut, tapi mari serahkan semuanya kepada yang kuasa,"
"NGGAK MUNGKIN!" Teriak mama Celcius.
"Mama, yang sabar. Celcius akan sehat, Akan mah!" Bujuk sang papa.
"Percaya sama yang kuasa, dia punya alasan kenapa skenario anak sebaik Celcius terserang penyakit mematikan ini."
Mama dan Papa Celcius mengangguk," Iya dok,"
"Tiga tahun belakangan ini, Celcius bertahan dengan baik. Sebelumnya saya sempat khawatir dengan kehidupan anak itu yang mungkin tidak akan lama,"
Mama Celcius berteriak histeris, tidak terima anaknya terserang penyakit ini.
"Ibu harus bangga, Karena semangat hidupnya, bahkan mampu memperlambat proses berkembangnya Sel kanker diotaknya buk. Namun, mungkin akhir-akhir ini, semangat hidupnya menurun."
"Kalau semangat hidupnya tinggi, apa bisa dia bertahan dok?"
Dokter tersenyum setelah pertanyaan yang dilontarkan papa Celcius. "Semua orang mampu bertahan dalam kejamnya hidup karena mereka punya semangat pak. Bahkan seorang lelaki miskin yang sudah menikah saja, bisa menjadi kaya karena dia punya alasan yang kuat untuk membahagiakan anak-anaknya.
Semangat yang harus dimiliki Celcius, patutlah lebih besar dari semangat seorang ibu menghidupi anaknya, semangat seorang ayah mencari nafkah, semangat seorang pekerja untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Celcius harus lebih semangat dari itu semua."
Hati mama Celcius bergetar, dia menelusupkan wajahnya keceruk leher sang suami,"Semangat dalam diri seseorang, membuat orang itu bangkit dari keterpurukkan,"
Papa Celcius mengangguk,"Tugas kita adalah membuat Celcius terus bersemangat bertahan hidup,"
Dokter mengangguk, begitu juga dengan mama Celcius yang masih sesegukkan.
"Celcius harus bertahan pah! CELCIUS HARUS!"
"Mama," Panggil Celcius pelan, tangannya sakit, seolah baru saja ditusuk beberapa jarum suntik.
"Iya sayang?,"
Seingatnya, dia berada di balik tembok sekolah mengintip percakapan Rea dan Kelvin,"Celcius kenapa?"
"Kamu pingsan disekolah nak, temen kamu yang bawa kesini."
"TEMEN? TEMEN YANG MANA?!" Mata Celcius melebar, belum ada seorangpun disekolahnya yang tau tentang penyakitnya. Bahkan Rea sekalipun tidak tau.
"Halo Cel," Faren muncul dari balik punggung mama Celcius.
"K-kamu?" Faren mengangguk,"Lo jangan banyak gerak dulu, kan masih sakit."
"A-aku cuma maag kok," ujar Celcius. "Santai aja, gue udah tau semuanya kok. Jangan canggung gitu,"
Tubuh Celcius menegang, usahanya untuk menyimpan rahasia ini dengan baik hancur percuma karena salah satu most wanted sekolah mengetahuinya.
Tak pernah terbayang dalam pikirannya bahwa suatu hari nanti, seorang most wanted mengetahui penyakit menjijikannya.
"Pasti kamu jijik ya sama aku sekarang?"
Faren tertawa,"Apa sejahat itu gue dalam pikiran lo?"
Celcius mengangguk," Aku boleh minta sesuatu nggak?"
"Mau apa? Air? Buah? Ata-"
"Jangan sampe Rea ataupun yang lainnya disekolah tau soal kanker aku," Faren diam, dia tidak bergerak lagi. Seolah ucapan Celcius barusan adalah sugesti sehingga dirinya membeku ditempat.
"Kenapa?"
Bodoh! Seharusnya gue enggak usah nanya!
"Karena aku takut semua orang bakalan jijik sama aku. Ngejauhin aku kaya virus,"
Faren menggeleng,"Lo egois kalau lo nilai kita semua pake persepsi lo sendiri," Kini Celcius yang diam.
Karena lo nggak tau kalau disekeliling lo ada yang sayang.
"Gue duluan ya-dan soal penyakit lo, nggak bakalan ada kok yang tau. Lo juga nggak perlu repot-repot minta izin ke guru. Bakalan gue yang ngijinin lo kok,"
"Maka . . ."
Belum sempat Celcius menyelesaikan kalimat terimakasihnya, Faren sudah menutup pintu keluar dengan keras. Cukup menghentakkan Celcius tapi dia diam.
Mencerna semua ucapan Faren. Benar, aku egois.
". . . Sih,"
Celcius tersenyum,"Tapi seegois-egoisnya aku. Takdir lebih egois dengan berusaha cepat mau ngambil nyawa aku Ren. Kalian nggak ada yang tau tentang aku."
Celcius kembali berbaring diatas banker rumah sakitnya. Tugasnya saat ini adalah hanya terus menunggu Kelvin datang menjenguknya dengan seikat bunga ditangan beserta dengan kartu ucapan semoga lekas sembuh.
Celcius tersenyum miris, mungkin, bahkan untuk menginjakkan kaki disini saja dia akan langsung jijik. Lalu bagaimana dengan seikat bunga dan kartu ucapan?
Mungkin, bila memang dia datang, hanya ada sebuah kartu ucapan Sampai jumpa di neraka atau semacamnya.
Mengingat kedekatan Kelvin dengan Rea itu membuat Celcius merasa bahwa selama ini, musuh sebenarnya adalah orang yang berperan bersamanya.
Apa mungkin kamu ngehianatin aku? Bukannya kamu benci sama Kelvin? Kamu nggak suka sama Kelvin 'kan?
Ada seribu satu pertanyaan yang ingin Celcius lontarkan kehadapan Rea. Ada sejuta kebimbangan yang harus mendapatkan kepastian.
Tapi, ada sebuah tanda tanya besar yang sejak tiga tahun lalu bersarang diotaknya
Apa mungkin Kelvin akan menyukaiku?
Celcius menutup lembaran baru itu, mencoba menghapus ucapan Kelvin dari telinganya.
Tapi kemudian, didetik berikutnya, Celcius sadar bahwa semakin giat usahanya untuk melupakan kalimat itu, semakin keras juga takdir mempermainkan hatinya.
Mengiris, membelah bahkan mencabik sebisa dia. Karena pada dasarnya, skenario tuhan tidak ada yang bisa mengubahnya, bahkan walau dibayar dengan Air mata darah.
"Diem atau gue cium?"
Kalimat itu kembali terngiang lagi, yang membuat air mata berhasil lolos dari pelupuk mata yang terpejam itu.
Kini Celcius takut apabila dia harus membuka matanya, dia takut menerima kenyataan.
Thanks
{Get well soon Celcius, we love you!}
KAMU SEDANG MEMBACA
°SUHU [HIAT]
Teen Fiction[Hai masa lalu, mari berdamai!] Lalu pada suatu hari Rea harus memilih. Perasaannya atau nyawa temannya? H A P P Y • R E A D I N G :)