LOKASI : JAKARTA PUSAT
WAKTU KEJADIAN : 1996Boeh percaya atau tidak di salah satu gedung perkantoran di Jakarta ada Lift yang perasa dan ini kisahnya ...
Apa boleh buat, sore itu, Ratna harus kerja lembur. Perusahaan tempatnya bekerja, yang mengelola penjualan suku cadang mesin pabrik, tengah menanjak pesat. Pesanan datang seoalah tiada henti.
Ternyata, ia tidak bekerja sendirian. Ada tiga rekan lainnya, semua pria, yang masih bertahan di meja kerja masing-masing. Kantor lantai 18 yang apik itu nampak lenggang. Beda sekali dengan suasana siang hari yang lebih ramai !
Pukul 21.00, seperti ada kesepakatan, keempat orang yang masih tersisa itu menghentikan pekerjaannya. Mereka berniat pulang. Tak lama kemudian, mereka sama-sama menunggu di bagian tengah gedung, menanti di depan empat pintu lift yang memang tersedia di gedung berlantai 24 itu.
Hendra, karyawan bagian penjualan telah memencet tombol tanda turun. Biasanya, tak sampai dua atau tiga menit, akan terdengar bunyi dentingan nyaring. Itu berarti, salah satu dari keempat lift yang datang menjemput si pemesan. Bisa yang mana saja, nomor satu atau dua disisi kiri, nomor tiga atau empat di sebelah kanan.
Aneh, sampai lima menit mereka menanti, bunyi dentingan khas itu belum juga terdengar ! Padahal, gedung dalam keadaan lenggang. Mestinya pelayanan bisa lebih cepat dilakukan ... ! Keempat calon penumpang sudah senewen.
"Lama bener, sih ...! Gerundel Yatno, yang sehari-hari bekerja di balik komputer.
"Tak biasanya begini. Aneh !" Sambung Hari, rekan kerja Yatno.
Hanya Ratna yang masih bisa menjaga emosinya. Inilah nasib orang berkantor di gedung tinggi. Bila kendaraan untuk naik-turun sedikit ngadat, mau tidak mau harus menunggu. Rasanya tak seorang pun mau turun tangga dari lantai 18 dalam keadaan yang cape setelah bekerja seharian, karena lift lama datangnya.
Tujuh menit, keempat calon penumpang sudah dibuat berkeringat karena sudah tak sabar. Sikap iseng muncul. Heri memukul-mukul tembok. Yantno bersiul. Sikap Hendra lebih gawat ia mulai menggedor-gedor pintu lif nomor empat.
"Hoooi ... ! Lift cepetan, dong ... !" Teriaknya emosi.
Belum satu menit kemudian, kaki kanan Hendra ikut iseng menendang-nendang pintu. Ruang tengah gedung mendadak riuh ... !
Entah karena gedoran atau tendangan, memasuki menit ke sembilan, dentingan khas itu terdengar. Lampu tanda siaga di pintu nomor empat menyala. Artinya, lift sudah datang. Keanehan lain menyusul. Meski si nomor empat sudah siap namun pintu belum terbuka.
"Abis kesabaran gue. Lift ini benar-benar ngeledek .., ! Hai, buka ... ! Tangan kanan Hendra beraksi menggedor pintu.
Kali ini, ia tidak sendirian. Yatno dan Heri juga ikut-ikutan. Ratna yang sejak tadi diam saja menimpali dengan gerundelan ... !
Pintu lift akhirnya terbuka perlahan. Keempat penumpang segera menyerbu masuk. Terdengar nafas lega. Tak sampai satu menit lagi, mereka sudah sampai di lantai bawah.
Tombol angka satu dipencet. Biasanya, tak lama kemudian, pintu segera tertutup. Namun, entah mengapa, sampai detik ke empat puluh, daun pintu tak bergerak. Kelegaan yang tadi sempat datang. Langsung sirna lagi.
Heri memencet ulang tombol nomor satu. Kali ini dengan kasar.
"Cepetan, kenapa sih ... !" Gerutunya.
Kaki kanan Hendra beraksi lagi. Seakan tak mau kalah, tangat Yatno juga ikut menggedor dinding.
Lift berguncang pelan. Ratna menahan nafas.
"Udah, dong. Nanti juga tertutup," Ratna mengingatkan rekan-rekannya.
Entah kenapa nalurinya mengatakan ada suatu hal yang tidak beres sedang berlangsung saat ini.
"Kalian terlalu kasar juga," sambung wanita cantik itu.
Apa boleh buat. Peringatan itu seakan tertelan kegusaran. Hendra, Heri dan Yatno tetap meneruskan ulahnya. Pintu tertutup. Kali ini lebih pelan. Menyaksikan daun pintu yang merambat, Ratna mulai khawatir. Akhirnya, pintu benar-benar tertutup rapat. Lift mulai bergerak turun. Nafas lega kembali terdengar.
Rasanya, baru tiga lantai terlampaui, penerangan di dalam lift mendadak padam. Gelap total ... !
"Apa-apaan, sih ini ... ?!" Kata Hendra makin emosi.
"Hoooii ... ! Jangan iseng ... !" Pekik Heri.
Ia menuduh seseorang membuat ulah. Namun siapa ? Tak seorang pun di dalam gedung tersebut malam itu. Dua penjaga malam di lantai bawah sedang sibuk mengontrol 25 pintu disana.
Di lantai ketigabelas, lift mendadak berhenti. Pendingin udara yang tadi masih bekerja, kini mendadak ikut ngambek. Udara mendadak pengap. Ratna mulai berkeringat dingin. Rasa takut mulai merayap.
"Kalian, sih, kasar dan tidak sabaran," katanya.
"Ah, liftnya aja yang brengsek ... !" Timpal Hendra.
"Eh, coba pencet tanda darurat itu, barangkali ada yang mendenfar kita."
Tombol darurat dipencet. Pengeras suara mungil di sudut kanan atas biasanya langsung bereaksi bila ada keadaan darurat muncul. Apa boleh buat, dua penjaga di bawah tak menyadari lift nomor empat sedang ngambek berat. Pengeras suara itu tetap membisu.
Ratna semakin takut.
"Lift brengsek ... !" Habis kesabaran Heri.
Ia memukul dinding keras-keras. Lift berguncang. Kali ini lebih keras. Tepatnya, seperti berayun-ayun. Bagaimana kalau ...
Otak Ratna mulai menduga-duga. Maklum saja, saat ini lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai tiga belas.
Di bawahnya tak ada apapun yang menahan kotak berukuran dua kali satu setengah meter itu. Jadi, bagaimana kalau tali penahan putus mendadak ... ?
Terdengar bunyi berderak-derak. Mula-mula terdengar pelan sekali, namun semakin lama semakin keras. Suara itu datang bergelombang, sepertinya berasal dari atap gedung. Amarah keempat penumpang lenyap mendadak. Emosi yang selama ini menguasai mereka hilang perlahan-lahan, berganti menjadi ketakutan. Mereka diam mematung ... !
Keganjilan yang menakutkan muncul. Kotak lift bergoyang-goyang ....
"Siapa yang menggoyang lift ini ... ? Padahal, tak seorang pun dari kita ..." Ratna mulai menangis.
Goyangan semakin keras. Keempatnya kini mulai memikirkan tali baja yang menahan lift. Bagaimana tali itu tidak kuat lagi ...
Guncangan semakin kuat. Teriakan minta tolong dari empat mulut di dalam lift mulai terdengar. Detik demi detik berlalu sangat lama, seolah-olah mereka harus melewatinya bertahun-tahun.
Lima menit berlalu. Guncangan belum reda juga. Pintu lift mendadak terbuka. Guncangan berhenti. Lampu menyala dan pendingin bekerja.
"Aneh, kok, pintu terbuka sendiri, " celetuk Heri pelan.
Tubuhnya lemas bukan main ! Sama seperti tiga rekan lainnya. Ia masih bingung dan syok, hingga lupa menghambur keluar secepat mungkin ... !
Udara mendadak mengalir masuk. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai marmer. Suara sepatu wanita... ! Sesosok tubuh muncul tiba-tiba di tengah pintu lift yang terbuka...
Memang benar, langkah-langkah tadi milik seorang wanita yang kini berdiri dan memandang tajam pada keempat orang yang sangat ketakutan ... !
"Lain kali, jaga emosi dan kesopanan ... !" Kata wanita itu tajam.
Ia segera berlalu ke sisi kanan. Pintu lift tertutup pelan. Tak lama kemudian, lift mulai bergerak turun. Empat penumpangnya tetap membisu sepanjang perjalanan ke lantai bawah, seorang penjaga keamanan menyambut mereka.
"Wah, kerja lembur, ya ... ? Bonusnya pasti besar !" Katanya tersenyum polos.
Sungguh, tak seorangpun menanggapi sindiran itu ... !
CATATAN FILE : Dimana pun, kapan pun ... kita harus jaga sikap dan kesopanan ... termasuk di dalam lift ....!
KASUS DI TUTUP
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH - KISAH MISTERI
Mystery / ThrillerDi sekitar kita banyak sekali misteri yang tidak terjawab ... kalo takut jangan baca ...^^