FILE 12. MISTERI LUKISAN PERAMAL

12.6K 654 12
                                    

LOKASI : JAKARTA, LOS ANGELES AMERIKA
WAKTU KEJADIAN : TIDAK DIKETAHUI

Melihat lukisan yang indah, pikiran kita merasa tenang dan damai. Apalagi yang dilukis oleh seniman besar dunia. Bagaimana kalau lukisan yang kita lihat tentang diri kita dan di lukis oleh seseorang yang mempunyai kelebihan ...

Dita memang gemar sekali pada lukisan, meskipun tak bisa melukis. Saking tergila-gilanya melihat lukisan yang bagus-bagus, hampir tiap bulan ia mengunjungi pameran lukisan di Jakarta. Kebetulan, ayahnya diplomat yang sering mendapat tugas keliling dunia. Hobi melihat lukisan karya pelukis-pelukis dunia yang bermutu tinggi bisa terpenuhi.

Kali ini, ayahnya mendapat tugas di Amerika, tepatnya di Los Angeles. Pindah ke negara baru, otomatis sekolah Dita pun ikut pindah. Mereka menetap di kota Camarillo, kota kecil yang tenang, berjarak kira-kira seratus kilometer dari Los Angeles.

Camarillo kota yang sepi. Penduduknya masih jarang. Kota ini dikitari perbukitan yang lebat dengan pohon pinus dan oak. Jarak dari satu rumah dengan rumah lain cukup jauh. Sementara jalan raya lebar dan lenggang. Sepanjang jalan penuh dengan pohon bunga dan semak belukar. Saking sepi dan tenangnya kota ini, deru suara kendaraan yang akan lewat sudah terdengar dari kejauhan.

Untungnya, Dita bersekolah di Ventura, kota pelajar yang berjarak 30 kilometer dari Carmarillo. Jika jenuh dengan situasi yang monoton di sekolahnya, Dita akan menyeberangi jembatan gantung, yang menghubungkan kota Ventura dengan San Francisco. Atau, dia jalan-jalan ke Baverly Hills, Hollywood, Universal Studios, maupun Disneyland. Selebihnya, Dita akan diajak ibunya mengunjungi Navy Base yang terletak di kota Oxnard. Di sana, mereka bisa belanja sepuasnya dengan harga murah tanpa kena pajak.

Suasana kota yang amat berbeda dengan Jakarta, sempat membuat frustrasi. Dia rindu Jakarta. "Rindu" semrawutnya kemacetan dan jajanan pasar yang mudah di temui di tiap sudut kota. Jangan heran, baru seminggu tinggal di Camarillo. Dita sudah tak betah. Dia ingin cepat pulang, ingin makan bakso pak Kipli langganannya.

"Pokoknya, aku ingin pulang, pulang ... !" Kata Dita sambil menghentak-hentakan kaki.

"Lho, kamu pikir mudah pulang seenaknya. Ongkosnya kan mahal. Kita semua ditanggung pemerintah. Kalo biaya sendiri, mana sanggup ... ?" Bentak ibunya tak kalah kesal.

Mau tidak mau, Dita memendam rasa rindu tanah air di dadanya. Berbulan-bulan setelah itu, ia tidak pernah lagi merengek minta pulang. Apalagi setelah masuk sekolah, rindu kampung halaman mulai terlupakan.

Satu-satunya yang membuat pemandangan kota Camarillo agak rusak, di sebabkan dengan hadirnya orang-orang Gipsy yang tinggal di mobil-mobil caravan. Bagi penduduk Camarillo orang-orang ini kerap menbuat kerusuhan. Tapi, selama ini, Dita menganggap mereka baik-baik saja. Sebab, dia bersahabat dengan seorang anak Gipsy yang bernama Carmen.

Ayah Carmen seorang yang pandai meramal dan melukis. Yang terakhir inilah membuat Dita kerap bermain ke mobil caravan milik keluarga Carmen. Dita ingin belajar melukis pada ayah Carmen.

"Pokoknya, sepulangnya ke Indonesia nanti, aku harus pandai melukis," kata Dita optimis.

"Tapi, ayahku punya kebiasaan unik, dia akan melukismu dulu sebelum kamu belajar padanya," sambut Carmen.

"Tidak masalah, itu malah lebih bagus. Aku pasti memiliki lukisan diri yang indah, menarik dan cantik," Dita mengerjapkan matanya.

Yang diucapkan Carmen benar adanya. Saat Dita dikenalkan pada ayahnya. Ada rasa aneh yang menjalar di tubuh Dita. Rasanya ia pernah mengenal orang ini. Raut wajahnya mengingatkan Dita pada Eyang Gandring yang tinggal depan rumahnya.

Eyang Gandring berambut panjang sebahu, hampir seluruh rambutnya berwarna putih. Di dahinya selalu bertengger ikat kepala berwarna putih. Tangannya penuh gelang akar bahar. Jari jemarinya dipenuhi cincin batu akik. Yang menyeramkan. Sorot mata Eyang Gandring sangat tajam, seolah mengandung banyak misteri.

"Ssst ... ayahmu galak tidak ?" Tanya Dita pada Carmen dengan suara berbisik.

"Sebenarnya tidak. Hanya saja, kamu harus hati-hati dengannya. Dengan melihat wajahmu sekilas saja, ia akan tahu yang terjadi padamu." Balas Carmen.

Carmen benar. Begitu ayahnya melihat wajah Dita, dahinya langsung berkerut.

"Mari, nak, aku hendak melukis wajahmu," katanya datar.

Ia kemudian mempersilahkan Dita duduk di sudut ruangan yang berwarna kusam dan lembab. Sejenak, dia mematuhi perintahnya. Sedikitpun tidak bergeming. Harapannya akan memperoleh lukisan diri yang indah menakjubkan memenuhi otaknya.

"Selesai, kamu bisa melihat lukisan wajahmu," suara ayah Carmen membuyarkan lamunannya.

Dita hampir berteriak kaget. Pada kanvas itu bukan wajahnya yang nampak, tapi mirip tengkorak hidup yang tergolek tanpa daya.

"Inikah wajah saya ... ? Mengapa hadi seperti ini ... ? Ah, bapak hanya main-main. Percuma saya duduk sejam lebih kalau hasilnya hanya seperti ini," kata Dita marah sekali.

Hilang sudah rasa akut dihatinya. Tanpa permisi, ia lansung pulang meninggalkan Carmen dan ayahnya yang menatap kepergiannya dengan pandangan tidak mengerti.

"Sebenarnya, ayahku tidak mempermainkanmu. Di saat ia melihat wajahmu, wajah yang mirip tengkorak itulah yang muncul. Sungguh, ayahku sendiri tidak mengerti mengapa bisa demikian kalau kamu marah, ia minta maaf." Kata Carmen di sekolah keesokan harinya.

Dita tidak menjawab. Sejak itu, persahabatannya dengan Carmen agak renggang. Sampai masa tugas ayahnya selesai, mereka tidak bisa berbaikan seperti dulu lagi. Saat Dita dan keluarganya hendak kembali ke tanah air, ayah Carmen menitipkan hasil lukisannya itu. Untuk kenang-kenangan, akhirnya ia membawa juga lukisan itu pulang.

Tiba di Jakarta, penyesuaian diri kembali melanda Dita. Tapi, itu bukan masalah. Yang membuatnya uring-uringan, tiap kali mengikuti pelajaran, kepalanya selalu pusing. Rasa pusing kadangkala ringan, kadangkala berat. Kalau sudah begitu, tak jarang Dita jatuh pingsan.
Keadaan ini membuat pelajarannya anjlok.

Karena tak tahan lagi, Dita akhirnya dibawa ke rumah sakit. Hasilnya, sungguh mengejutkan. Dita terserang kanker otak ! Kanker ini tidak tanggung-tanggung stadium empat !.

"Kenapa baru dibawa sekarang ... ? Kami tak bisa berbuat banyak. Kini, sebaiknya ibu menuruti saja yang diinginkan anak ibu," ujar dokter yang memeriksa Dita.

Dita akhirnya tahu penyakit yang dideritanya. Ia pasrah. Tubuhnya kian hari kian kurus. Matanya cekung. Rambutnya rontok, hingga kepalanya botak. Semakin lama, tubuh Dita tinggal kulit dan tulang saja. Ia sudah tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Saat Dita menghembuskan nafasnya yang terakhir, wajahnya sudah tak bisa dikenali lagi. Yang mirip dengannya hanya lukisan ayah Carmen yang menempel di dingding kamarnya.

"Mengapa lukisan itu mirip sekali dengan wajah Dita sekarang ... ?" Tanya ayah Dita tak mengerti.

Sebelum peti mati ditutup, lukisan penuh misteri itu dimasukan ke dalamnya. Mereka berharap, dengan berbuat begitu, Dita dapat memaafkan ayah Carmen, pria Gipsy yang ditemuinya di Camarillo.

CATATAN FILE : ...

KASUS DI TUTUP

KISAH - KISAH MISTERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang