LOKASI : BOGOR, JAWA BARAT
WAKTU KEJADIAN : OKTOBER 1994Mak Acih belum lagi rabun, matanya masih tajam. Karenanya ia yakin betul ketika melihat ada pesta pora di sisi Jembatan Putih ...
Bogor, Oktober 1994
Orang-orang memanggilnya Mak Acih. Walaupun usianya sudah 62 tahun, namun dia masih nampak sehat dan kuat. Penglihatannya juga masih tajam. Orang-orang di sekitar pasar Bogor mengenalinya sebagai penjual jajanan, makanan kecil, yang biasa menggelar dagangan dari pagi hingga petang.
Mak Acih tinggal di kawasan Bogor barat. Setiap petang, nenek empat cucu ini sering berdiri di sekitar terminal, menunggu bus angkutan yang membawanya pulang. Dalam perjalanan pulang, kalau Mak Acih berhasil mendapatkan tempat duduk atau ada yang baik hati menawarkan kursinya, Mak Acih lebih senang duduk di dekat jendela.
Perubahan hebat itu nampaknya terjadi di pertengahan Oktober 1994. Anehnya, hal ini hanya dilihat dan dirasakan oleh Mak Acih saja.
Sudah tiga hari, khususnya petang hari, Mak Acih selalu melihat ada pesta besar di dekat Jembatan Putih. Orang-orang menyebutnya demikian karena warna cat di kedua sisi pagar jembatan. Di sisi jembatan itu bahkan, kini, terdapat dua bangunan baru, bagus dan mentereng. Di depan bangunan yang berbentuk memanjang, mirip tabung atau badan bus, itu Mak Acih melihat puluhan orang berjubel.
Mereka sedang pesta pora makan dan minum, sebagaimana layaknya hajatan besar.
"Orang macam apa yang punya hajatan demikian besar selama tiga hari ? Tentunya orang kaya yang banyak uangnya," demikian pikir Mak Acih.
"Tentu puluhan dan bahkan mungkin ratusan uang sepuluh ribu harus melayang ! Apa sih, kerjanya dia ? Berapa penghasilannya.
Menjelang tengah malam, Mak Acih baru bisa terlelap. Itu pun hanya sebentar. Tiga jam berikutnya, ia sudah sibuk di dapur, menyiapkan jajanan yang akan dijualnya.
Di pasar, pikirannya masih melayang pada pesta besar di samping jembatan. Hatinya terus-menerus terusik.
"Ah, sebaiknya aku turun saja nanti dan melihat seperti apa pestanya. Siapa tahu sang tuan rumah menyilakan aku masuk dan ikut pesta ? Tentu saja enak sekali bisa menikmati hidangan yang serba lengkap dan lezat." Tekad Mak Acih.
Petangnya, ia sudah tidak sabar menanti bus yang biasa membawanya pulang. Mak Acih bahkan sudah pesan sama kondektur begitu bus melaju.
"Ngapain turun di sana, Mak ?" Tanya Dudung, si kondektur, heran.
Sebagai kondektur yang baik, ia hapal betul tiap penumpang langganannya.
"Pesta !" Jawab Mak Acih sambil lalu.
Dudung cuma angkat bahu. Tak peduli. Banyak urusan harus ia selesaikan.
Tigapuluh meter menjelang jembatan, Mak Acih turun. Ia harus berjalan kaki sedikit, menapaki jalanan yang curam menurun. Di bawah sana terletak Jembatan Putih. Sepintas lalu, orang langsung paham, jembatan ini letaknya memang berbahaya. Jalanan melingkar turun membentuk huruf "U" raksasa, dengan Jembatan Putih, terletak tepat di dasar "huruf" tersebut. Mak Acih sering mendengar kisah kecelakaan di sekitar jembatan karena rem kendaraan yang mendadak blong !
Pelan-pelan Mak Acih menyisir jalanan di sebelah kiri. Pandangan matanya sesekali menatap ke seberang jalan di bagian bawah, dekat jembatan. Pestanya sudah dimulai, bisik hati Mak Acih. Dari jauh, ia sudah mendengar suara musik dan tawa para tamu yang renyah. Ramai benar agaknya.
"Gila ini hari keempat !" Sekali lagi pikiran Mak Acih yang polos melayang ke masalah biaya.
Menjalani jarak 15 meter, Mak Acih masih belum berminat menyeberang. Sejujurnya, ia hanya ingin menikmati pesta dari jauh saja.
"Hei, Nek, ngapain berdiri saja di situ ? Sini menyeberang, ayo ikut pesta !" Sebuah suara mengagetkan rasa terpesona Mak Acih.
Mak Acih bingung dan mencari sumber suara. Ah, itu dia. Di seberang jalan, ia melihat seorang pria masih muda. Mak Acih menaksir usianya belum lagi 40 tahun. Ia nampak gagah dan necis dengan pakaian pesta.
"Ayo, Nek, cepat ... ! Teriak pria itu.
Mak Acih ragu-ragu. Belum lagi berfikir lebih lama, tanpa sadar kaki kirinya mulai melangkah, menginjak jalan aspal yang licin. Beberapa detik kemudian, nenek ini mulai menyeberang jalan.
Baru empat langkah rasanya ketika tiba-tiba sepasang lampu dengan kuat menyorot Mak Acih dari sebelah kanan. Terdengar suara rem berderit kencang. Mak Acih bingung dan kaget. Tapi, ia terus berlari menyeberang. Kendaraan yang mengerem dengan mendadak nampak oleng hebat. Pengemudinya, begitu melihaf ada yang tiba-tiba menyeberang dari sisi kiri jalan, dengan cekatan membuang kemudi ke kiri. Tujuannya jelas, menghindari orang yang mendadak menyeberang. Kalau ia membuang ke kanan, jelas sangat berbahaya. Ada sungai menganga di sebelah kanan.
Terdengar suara berderak kencang. Agaknya kendaraan, sebuah bus besar, menabrak pohon-pohon perdu di sisi kiri jalan.
Mak Acih makin takut. Ia terus melangkah maju. Tepat bersamaan waktunya dengan bunyi rem pertama, terlihat sorot kuat sepasang lampu besar mengguyur tubuh Mak Acih, kali ini datangnya dari arah kiri. Bukan hanya lampu, suara klakson juga terdengar memekakan telinga. Aneh, tak terdengar bunyi rem ! Kendaraan kedua ini, juga bus besar, bahkan tak memperlambat lajunya.
Bus melesat turun dengan kencang. Mak Acih sudah pasrah. Tiga atau empat langkah lagi sebenarnya ia bisa sampai di pinggir. Namun nampaknya ia kalah cepat dengan laju bus. Tertabrak bus keduakah ia ?
Masih ada harapan. Mak Acih mengumpulkan tenaga. Seperseratus detik kemudian, dengan sekuat daya, ia meloncat. Hup ! Dan, Ia berhasil menginjak sisi jalan.
Bus kedua terus melaju, menanjak, kecepatan lalu berkurang. Dan akhirnya berhenti di puncak bukit, tempat dari arah datangnya bus pertama tadi.
Di pinggir, lutut Mak Acih bergetar hebat. Tak lama kemudian, orang-orang dari bus pertama, yang menabrak perdu, berdatangan. Nampaknya tak ada yang cedera. Para penumpang dari bus kedua, yang berhenti di atas bukit, juga berdatangan.
Sopir bus pertama langgsung marah.
"Nek ! Malam-malam gini menyeberang sembarangan ! Apa engga lihat sorot lampu ?" Teriak si sopir.
Mak Acih tertegun. Dia masih kaget dan ketakutan. Terbata-bata ia menjawab, "Saya ... saya ... menyeberang ... ka ... karena mau lihat pesta di sana !" Sambil lalu telunjuk kanan Mak Acih menunjuk ke arah jembatan.
Orang-orang mengikuti arah yang ditunjuk Mak Acih. Mereka langsung heran.
"Pesta ? Pesta di mana ? Nenek udah rabun, ya ? Itu cuma jembatan, Nek ! Tak ada pesta di sana sepi !" Ujar si sopir dengan suara tinggi.
Orang-orang yang merubung membenarkan.
"Tak ada apa-apa di sana. Seorang manusia pun tak ada," kata salah seorang dari mereka.
Sopir ke dua datang. Ia langsung sadar apa yang terjadi.
"Wah, Nek, terima kasih sekali !" Katanya dengan wajah gembira.
Sopir dan para penumpang bus pertama heran. Ia lalu menjelaskan.
"Waktu bus saya melaju turun remnya blong ! Kalau bus pertama berlari kencan, turun, membelok dan masuk jembatan, mungkin bus saya, yang tanpa rem akan menabrak telak bus tersebut di tikungan di jembatan,"
"Jadi ? Karena nenek ini tiba-tiba menyeberang, lalu bus saya buang ke kiri, tabrakan bisa dihindari ?" Kata sopir bus pertama heran.
Sopir bus kedua mengangguk mantap.
"Saya... saya ... cuman mau melihat pesta sebenarnya ...!" Kata Mak Acih lirih ...
CATATAN FILE : Sebenarnya apa yang di lihat mak Acih di sisi jembatan ... ? Kenapa hanya dia yang melihat ... ? Apakah pandangan seseorang bisa keliru pada suatu waktu ...
KASUS DI TUTUP
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH - KISAH MISTERI
Mystery / ThrillerDi sekitar kita banyak sekali misteri yang tidak terjawab ... kalo takut jangan baca ...^^