PROLOG

17.5K 679 10
                                    

Juna terhenyak dan mendelik penuh kemarahan dengan wajah yang basah kuyup. Titik-titik air menetes dari ujung rambut dan mengaliri lehernya. Urat-uratnya menegang. Kepalanya berdenyut dan ingin meledak seketika itu juga. Lelaki itu menatap tajam ke arah Centana, yang berdiri berkacak pinggang sambil mengulas senyum tipis yang bagi Juna itu adalah sebuah hinaan yang disengaja. "Apa yang sedang kamu lakukan, hah? Kamu sudah gila, ya!" ujar Juna dengan suara sedikit tinggi. Pagi baru saja menetas, lelaki itu yakin ini bukanlah waktu bagi dirinya untuk membuka mata, terlebih, jika dipaksa bangun dengan guyuran segelas air dingin.

"Membangunkanmu. Memangnya apa lagi?" sahut Centana. Tanpa peduli pada kemarahan Juna, wanita itu memutar tubuh dan menghampiri nakas di samping ranjang. "Sudah pagi. Kau tahu? Seharusnya, lelaki dewasa akan bangun dan bersiap ke kantor," ujarnya kemudian, sambil meletakkan gelas di atas nakas dengan hentakan kasar. Bunyi gelas yang beradu dengan kayu membuat Juna semakin jengkel. Lelaki yang merasa seisi musim dingin baru saja menimpa wajah kesayangannya itu semakin menegangkan rahang melihat ketidakacuhan Centana.

"Tapi lelaki dewasa itu bukan aku," ujar Juna ketus, aku tidak suka kerja, kau harus tahu itu! Ia mengacaukan rambutnya dengan tangan kanan. Titik air berterbangan ke mana-mana. "Dan jangan jadi sok mengurusi waktuku hanya karena kita telah menikah."

"Justru karena kita telah menikah itulah maka aku juga memiliki hak atas waktumu, Tuan Juna."

"Terserah apa katamu." Juna mengangkat bantalnya yang basah, lalu membuangnya ke lantai begitu saja. Ia menarik dan menepuk-nepuk bantal yang lain, kemudian kembali meletakkan kepalanya di sana dan memejam. "Kamu boleh saja menganggapku suamimu atau apa pun itu, tapi aku tidak akan pernah menganggapmu istriku. Kamu tidak pantas untuk itu."

Kata-kata Juna yang menggigit itu membuat kamar mendadak hening untuk beberapa saat. Centana bergeming dalam posisi yang masih sama dan menghela napas dalam-dalam. Diperhatikannya lelaki dua puluh enam tahun itu. Lelaki manja, senang berfoya-foya, dan kasar. Lelaki yang benar-benar belum menemui neraka dalam hidupnya. Memikirkan hal itu, dada Centana berkerenyut gemas. Ia gatal. Benar-benar merasa gatal. Dan tanpa babibu lagi, wanita itu melesat mendekati ranjang Juna. Ia menarik kasar bantal yang baru saja ditiduri lelaki itu, dan berujar lebih ketus lagi, "Bangun, atau aku akan memindahkan isi bak mandi ke wajahmu!"

Seketika Juna tersentak saat bantal itu ditarik Centana. Ia lesat bangkit dari ranjang dengan mata melotot. Ia menjadi sangat marah. "Berhentilah menggangguku, atau aku akan-" Juna menghentikan ucapannya. Tangannya telah terangkat. Rahangnya semakin mengeras. Jika saja bukan karena ayahnya, ia pasti sudah menyeret keluar wanita itu sejak seminggu yang lalu.

"Atau apa?" tantang Centana. Ia mendongakkan kepala dan membusung dada. Jarak antara mereka kini begitu dekat. Embusan napas Juna menerpa wajah Centana, tapi wanita itu tidak mengendurkan sedikit pun niat untuk membuat Juna bangun pagi dan bersiap bekerja.

"Kamu sudah dua puluh enam tahun, tidak pantas kamu biarkan ayahmu bekerja seorang diri mengurus perusahaan. Seharusnya kamu membantunya."

"Kenapa kamu jadi peduli tentang hal itu?" tanya Juna. Ia menurunkan tangannya perlahan, lalu mengepalkannya rapat-rapat, berusaha menahan luapan geram di sekujur tubuhnya.

"Karena ayahmu sekarang adalah ayahku juga. Keluargamu sekarang adalah keluargaku juga. Dan aku sangat peduli pada keluargaku."

Mata Centana beradu dengan mata Juna. Kesenyapan yang teramat dingin dan menusuk menguasai keduanya sejenak.

"Cih!!" desis Juna jengah pada akhirnya. Matanya menyipit tajam. Ia segera memutar badan dan berpaling dari Centana. Ia hendak melangkah keluar kamar. Baginya, ketidakwarasan ini harus diakhiri segera. Tapi baru beberapa jengkal Juna mengayun kaki, Centana berujar kembali.

"Aku sudah menyiapkan bajumu dan Papi sudah menunggu di ruang makan. Hari ini Papi ingin mengenalkan putra satu-satunya pada semua relasinya. Baik-baiklah kamu hari ini, Tuan Juna!"

Juna tidak menyahut walaupun telinga dan lidahnya terasa gatal. Ia terus melangkah ke arah pintu. Kaki-kakinya menjejak penuh kemarahan.

Setelah sosok Juna menghilang dari pintu kamar, Centana menarik napas. Ia merasakan aliran sesak itu menguap. Tubuhnya lemas seketika. Ia merabai tepi ranjang, meletakkan pantatnya yang gemetaran di atas sana. Dielusnya dada yang sedari tadi berdebar-debar itu. Ia menunduk, mengembus napas dari mulutnya berkali-kali. Di dalam kepalanya, berputar kembali kejadian beberapa hari yang lalu.

Kejadian yang membuat dirinya terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan. Hal yang selama ini mengharuskan dirinya untuk mati berkali-kali, agar dapat hidup kembali ... []

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang