TIGA PULUH ENAM: PENGKHIANAT

6.4K 179 43
                                    

— Di hari sepulang Kentaro dari undangan makan malam di rumah Daniel Ong

Lesat lelaki itu mengendarai mobilnya, menebas udara malam yang semakin menggigilkan. Lampu-lampu jalanan nampak seperti segerombolan kunang-kunang yang terbang meluncur dari kaca mobil. Membentuk sinar berekor yang berlarian.

Pikiran Kentaro sama sekali tak bisa lepas dari ucapan-ucapan Daniel Ong ketika acara makan malam tadi. Ayah Sabrina itu membuat keteguhannya mulai melemah. Ragu-ragu. Dia tidak ingin percaya, tidak. Dan itu semua, akan dibuktikan oleh flashdisk yang kini sudah ada di saku celananya. Dia ingin cepat pulang dan melihat apa isi flashdisk itu.

“Ini yang kau inginkan,” ujar Daniel Ong ketika mereka makan malam. Lelaki Tionghoa itu memberikan sebuah flashdisk hitam kepada sang pemimpin pelayan yang sedari tadi berdiri tegap di sampingnya. Pemimpin pelayan itu berjalan ke kursi Kentaro dan menyerahkan benda hitam berukuran kecil itu kepadanya.

“Sabrina bilang ini yang asli, tapi aku ragu setelah kemarin kalian menipuku dengan yang palsu,” ujar Kentaro sambil menatap flashdisk yang sudah berada di telapak tangannya dengan mata dingin yang menusuk.

Daniel Ong belum menjawab perkataan Kentaro, lelaki itu justru meraih segelas air putih dan meneguknya sekali. “Kau akan lihat, betapa seriusnya aku saat ini.”

“Jangan membodohiku,” ujar Kentaro lagi. Kali ini dia berpaling, memandang Daniel Ong yang duduk di seberangnya. 

“Kita saling membutuhkan. Tidak mungkin aku membodohimu.” Daniel Ong meletakkan kembali gelasnya, lalu berujar kembali, “Kita akan hancurkan Adam dengan tangan kita. Kau dan aku.”

Mata Kentaro terus menambatkan rasa makin penasaran yang begitu besar ke arah lelaki itu ....

Mobil Kentaro akhirnya memasuki tempat parkir sebuah gedung apartemen mewah di tengah kota Surabaya. Dia cepat keluar, melangkah lebar ke arah pintu masuk basement, lalu menuju ke arah lift dan masuk ke dalamnya ketika pintu lift telah terbuka. Satu per satu lantai terlewati, ketika layar di atas pintu menunjukkan angka dua belas, pintu lift terbuka dan dia gegas menuju apartemennya.

Lampu apartemen menyala seketika dia membuka pintu dan melangkah masuk. Setelah melempar jas hitamnya ke bahu sofa dengan serampangan, Kentaro menuju ke meja kerja yang terletak di bagian tengah apartemen, tepat di samping sebuah rak buku besi berwarna putih gading, dan segera menyalakan laptop.

Dia menunggu. Diam dan berdebar-debar. Menarik napas dan mengembusnya perlahan. Pelan, dia menancapkan flashdisk itu. Layar laptop mulai menampakkan isi flashdisk. Dua folder. Hanya dua saja. Dengan tangan sedikit bergemetar, lelaki itu menggerakkan mouse dan mengklik salah satu folder yang terpampang di sana, bertuliskan: “19 Juli 1998”.

Sehari ... sebelum kedua orang tuanya bunuh diri.

“Sayang, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang. Aku takut. Aku benar-benar takut.”

“Tenanglah, Sayang, aku akan mencari cara agar kita semua selamat.”

“Cara apa? Tuan Adam sudah begitu marah. Dia mengirimi kita surat dan mengancam akan melaporkan kita pada polisi besok siang. Bagaimana ini ....”

“Tidak, tidak. Tuan Adam pasti mau mendengarkanku. Aku sudah lama mengabdi padanya. Dia pasti akan mendengarkanku.”

“Mendengarkan apa? Bukti-bukti itu mengarah pada kita. Semuanya. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja!”

“Tenanglah, Sayang. Tenang. Jangan menangis, kau membuatku tidak bisa berpikir. Kau membuatku semakin gila.”

“Iya! Kita memang sudah gila. Kita gila! Semua karena tuanmu yang sombong dan tidak punya hati itu. Dia mengancam kita. Bagaimana bisa dia mengancam kita, kawannya yang sudah begitu lama mengabdi kepadanya? Bagaimana bisa?!”

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang