TUJUH: Seorang Ayah yang Tidak Berdaya

6.1K 355 0
                                    

Ini sungguh tidak adil. Bagaimana ia bisa tidur di dalam kamar Juna. Mereka saling membenci, bahkan sejak pertama bertemu di butik itu. Sejak keributan di pagi tadi--saat mereka saling terkejut berada di atas satu ranjang--hingga ia kembali di sore harinya, tidak sekali pun ia melihat hidung lelaki manja itu.

"Apa yang kau tunggu?" tanya Linggar, wanita lima puluh tahun yang tiba-tiba saja telah menjadi ibu mertuanya. Wanita itu tidak nampak setua usianya. Kulit wajahnya masih kencang dan cantik. Hanya beberapa garis usia di bawah mata. "Ayo masuk."

Centana nyengir, mengangguk sedikit, "Ta-Tapi, Nyonya--" Ucapan Centana seketika dihentikan oleh sebuah jari telunjuk dengan cat kuku hijau susu. "Ssstt. Tidak baik memanggil ibumu dengan sebutan Nyonya."

Wanita yang tengah canggung itu mengulas senyum getir sekali lagi. Ia menggaruk ujung kepalanya. Mengangguk kembali.

"Arjuna memanggilku Mom. Terkadang juga Mama. Terserah kau mau yang mana." Linggar mengedipkan mata.

"Ba-Baik ..."

"Sudahlah, ayo masuk ..." Dengan cepat, Linggar mendorong punggung menantu dadakannya itu. Kaki-kaki Centana berusaha menahan, tetapi siapa yang menyangka jika tenaga Linggar lebih besar daripada itu. Akhirnya, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Juna.

Centana mengelilingi kamar tidur yang empat kali lebih besar dari kos-kosannya itu. Ada sebuah cermin besar memenuhi dinding bagian utara. Cermin itu terbagi menjadi enam persegi. Di dinding sebelah barat, ada dua jendela kaca, menjulang tinggi hingga hampir menyentuh batas langit-langit. Sebuah tirai satin hitam menjuntai di setiap sisi jendela. Sementara, untuk membatasi sinar matahari masuk ke dalam kamar, sebuah tirai putih tipis dan transparan, menutup penuh seluruh jendela.

Kedua jendela itu terpisah oleh dinding berukuran satu meter. Di dinding itulah foto Juna dan dirinya terpampang begitu besar dan mencolok. Di bawah jendela, terdapat sebuah kasur berukuran kingsize. Sebuah seprai putih dan bedcover hitam menutupinya. Centana menelan ludah. Di sanalah ia tidur bersama lelaki manja itu. Ia memalingkan muka. Kejengkelannya kembali meledak.

"Kemasi baju-bajumu dan masukkan ke dalam sana," ujar Linggar. Telunjuknya mengarah pada cermin besar yang terbagi menjadi enam persegi itu. Itu? batin Centana. Alisnya mengerut. Melihat rasa penasaran yang terukir jelas di wajah Centana, Linggar tersenyum dan berujar, "Itu lemari baju."

Centana melongo. Lemari baju dari cermin? Orang kaya memang menakjubkan ... Centana takjub. Tapi dengan cepat ia menghapus rasa itu di pikirannya. Tunggu, aku tidak boleh terkagum-kagum seperti ini! batinnya. Ia mengalihkan pandangannya dari cermin yang mampu memantulkan seluruh isi kamar yang bernuansa warna gading, hitam, dan putih itu.

"Tapi, Nyo ... Ah, maksudku ... Ma ... Sa-Saya ... tidak bisa ti-dur di si-ni." Centana mengucapkan kalimatnya ragu-ragu. Ia tidak ingin menyinggung wanita itu. "Saya akan tidur di kamar anak-anak saja."

"Kau ini bicara apa? Kau dan Arjuna itu sudah sah sebagai suami-istri." Linggar meraih koper butut Centana. Koper itu berwarna hijau kusam. Dan sangat tua. "Well, nampaknya kau butuh baju baru." Tanpa peduli dengan ucapan Centana, wanita berambut bob sebahu dengan poni yang berjajar rapi di dahi itu, membuka koper dan mengeluarkan isinya. Satu per satu ia mengamati baju-baju itu." Besok pagi kita akan berbelanja. Ah, untuk cucu-cucuku juga."

Centana mengembuskan napas. Ia menyerah. Ia tahu, apa pun yang dikatakannya saat ini, semua tidak akan ada gunanya lagi. Wanita yang sedang disibukkan dengan acara penyambutan menantu baru di rumah itu terlihat begitu bahagia dan antusias.

"Apa yang kalian lakukan di sini?!"

Sebuah suara mengejutkan keduanya. Mereka menoleh ke arah pintu kamar. Juna telah berdiri di sana. Mendelik. "Mom?" Lelaki itu menekan pengucapannya, menanti jawaban.

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang