— POV Centana
Saya tidak tahu apakah dia sengaja melakukan ini pada saya ataukah memang hanya sebuah kebetulan belaka ketika kami bertemu di lorong ini. Dengan kasar dia mencengkeram lengan saya, menoleh ke kanan-kiri, lalu menyeret saya masuk ke kamar kecil perempuan.
Dia mengunci kami berdua di salah satu bilik dan merapatkan tubuh saya ke dinding. Kuku-kukunya menekan kuat di lengan, terasa sakit dan seakan-akan menembus kain blouse saya. Matanya yang tajam itu menatap saya, seperti seekor harimau yang kesenangan karena telah berhasil menangkap mangsa.
“Selamat, ya, sekarang kamu hidup mewah,” desisnya, tepat di depan wajah saya. Embusan panas dari mulutnya meluap-luap di ruang kosong antara kami.
“Lepaskan,” rintih saya sambil berusaha menarik-narik lengan yang semakin terasa sakit, tapi dia bahkan tidak berusaha mendengarkan itu. Dia makin menguatkan cengkeramannya dan mendesak saya ke belakang. Dada saya terasa sesak karena terhimpit tubuhnya yang semakin berisi itu.
“Di mana anak-anak?” tanyanya kembali dengan mata yang melotot.
“Kamu nggak layak bertanya tentang mereka.”
“Dia anak-anakku juga, Tanna.”
Saya mendecih dan mengulas senyum getir, “Tumben kamu ingat kalau kamu itu punya anak. Ke mana saja selama ini, Pak?”
“Kau egois. Kau kan yang melarikan mereka dariku.”
Lelaki yang sok merasa benar ini membuat saya semakin muak. “Pikir dulu sebelum ngomong. Siapa yang lebih dulu meninggalkan kami, hah? Di saat aku pergi dari rumah, kamu bilang aku yang egois. Kamu lupa, karena apa selama berbulan-bulan kamu nggak pernah pulang? Kamu lupa, karena siapa kamu tidak sekali pun mengunjungi anak-anak padahal kita masih berada dalam satu kota? Satu kota, Bisma ... kita masih satu kota. Tapi kamu membuang kami demi wanita itu, lalu sekarang ... sekarang kamu berkata dia juga anak-anakmu?”
Saya menghentikan kata-kata, terengah-engah karena emosi yang tersulut. “Jangan pura-pura lupa sama dosamu sendiri, Bisma. Kamu jadi terlihat semakin memalukan di mataku.”
Setelah saya menghujaninya kemarahan, dengan kasar dia menghempaskan tubuh saya. Bunyi benturan terdengar cukup keras dan saya merintih, merasakan nyeri di bagian punggung. Lelaki yang sudah saya nikahi selama sepuluh tahun itu memundurkan tubuhnya beberapa senti dari saya.
“Kau harus ingat, kita belum bercerai. Dan ini bukanlah terakhir kalinya kita akan bertemu, Tanna. Bukan yang terakhir.”
Setelah berkata, dia membanting pintu bilik kamar kecil dengan keras dan pergi meninggalkan saya. Tubuh saya limbung. Dengan gontai saya duduk di atas kloset yang tertutup. Menunduk. Rasa gemetar itu tidak juga reda, lalu perlahan, mata saya meleleh. Sekuat apa pun saya berusaha menahannya, mata itu terus saja mengkhianati saya. Meleleh dan meleleh. Hingga ... lelaki manja itu datang dan mengatakan igauan paling indah yang mampu melambungkan perasaan saya ....
***
“Ucapanmu tidak dapat ditarik lagi. Jangan menyesalinya, ya. Sesuai keinginanmu, Nyonya. Kita akan berbulan madu.”
Apa? Bulan madu?!
Saya tersedak ludah dan terbatuk ketika lelaki manja itu berkata demikian. Dalam keadaan seperti ini, bisa-bisanya dia bercanda tentang hal yang memalukan seperti itu.
“Ng-Nggak lu-cu,” ucap saya dengan masih terbata, tapi dia tidak menghiraukannya. Dia tetap saja santai mengendarai mobil, sambil sesekali meneguk kopi yang sepertinya sudah hampir habis.
“Jadi, kau mau ke mana? Raja Ampat? Pulau Lombok? Bali? Kau suka ke pantai atau ke pegunungan? Atau ke luar negeri sekalian. Jepang? Korea? Eropa? Kalau kau mau, kita bisa pesan tiket pesawat sekarang juga, kok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
Storie d'amoreCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...