---Malang, sehari sebelum Centana pergi ke kantor."Seminggu lagi aku akan dimutasi."
"Mutasi? Ke mana?"
"Surabaya."
"Kok mendadak, sih?"
Lelaki itu diam sejenak. Di saat-saat seperti ini, ia ingin merokok. Ingin sekali. Tetapi gadis berambut keriting sepanjang punggung yang tengah mengenakan terusan abu-abu gelap sepanjang lutut itu sudah tidak mengizinkannya merokok. Ia sudah berjanji, dan sebagai seorang lelaki, tentu saja ia tidak ingin melupakan sebuah janjiwalaupun ia sering melakukan itu, dulu.
"Kantor cabang di sana lagi butuh karyawan bagian pemasaran. Mereka menawariku, Alia."
"Dan Om nerima, gitu?"
Lelaki itu mengangguk. "Gajinya ikut UMR sana. Lumayan, kan? Bisa nabung buat kita nikah nanti."
"Lalu aku? Gimana aku, Om?"
Wajah gadis itu mulai merengut. Ia sedikit memalingkan muka. Ketakutan akan sebuah perpisahan mulai menggentayangi isi kepalanya.
"Kan Malang-Surabaya tidak terlalu jauh, Alia. Aku bisa pulang seminggu sekali," ujar lirih lelaki itu, Bisma.
"Tapi aku kan maunya sama Om. Kalau jauh ...." Gadis itu, Alia, menghentikan kata-katanya. Terdiam.
Sementara itu, Bisma merasa tidak enak. Ditatapnya wajah murung gadis yang tengah duduk di sampingnya itu. Tangan kanannya terangkat, mendarat lembut di ujung rambut Alia dan memilinnya perlahan. Hal yang selalu Bisma lakukan setiap kali berusaha merayu gadisnya yang tengah merajuk.
"Aku mau beli snack dulu di minimarket." Alia tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah pintu kosan. Ia meraih sweater oranye yang menggantung di balik pintu dan mengenakannya dengan cepat.
"Kuantar."
"Nggak usah, Om. Aku mau sendiri."
Alia berkata tanpa berpaling. Bisma tahu, gadis itu pasti sedang berkaca-kaca saat ini. Gadis itu cengeng, tetapi selalu ingin nampak kuat.
Suara motor matic menderu dari balik dinding kosan. Bisma memgembus napas, lalu mengedip sekali. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas kasur dan menyalakannya. Jari-jemari lelaki itu tekun menggeser layar dan berhenti pada sebuah foto di dalam sebuah folder. "Sorry, Alia. Aku rindu anak-anakku," ucapnya lirih.
***
Centana menelan ludah ketika melihat tumpukan map di atas meja kerja Nyonya Liem. Wanita Tionghoa yang tengah hamil itu hanya mengulas senyum, lebar dan merekah, hingga pipi chubby-nya semakin kemerah-merahan dan nampak lebih gendut.
"I-Itu semua, Nyonya?" ucap Centana setelah seluruh salivanya sukses meluncur ke dalam tenggorokan.
"Iya, Nyonya Muda. Semua itu adalah berkas yang harus diperiksa setiap harinya, sebelum diberikan pada suami Anda. Uppss ... Ehhmmm, maksud saya, pada Pak Juna."
"Aku harus membacanya satu-satu?"
"Membaca dan memeriksanya, satu per satu," Nyonya Liem berkata sambil membulatkan matanya dengan lucu. Centana ingin tersenyum, tapi justru yang dilakukannya adalah nyengir, memperlihatkan deretan giginya dengan tampang culun dan menggaruk-garuk kepala.
"Ba-Baiklah. Akan kucoba."
"Saya akan membawakan kopi untuk Pak Juna. Apa Anda juga mau?"
Centana menggeleng, "Tidak, terima kasih." Ia kemudian memutari meja dan duduk di kursi putar berwarna maroon, sambil memperhatikan langkah kaki-kaki gemuk Nyonya Liem yang mulai meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...