Ia terkejut dan tahu ini tidak benar, tapi hatinya tidak mampu menolak ciuman itu. Lidah Kentaro menggeliat pelan di dalam mulutnya. Bibir hangat itu memagut tekun dan lembut. Terus, dan terus. Sementara tangan yang lain semakin merapatkan pinggangnya mendekat, membuat Centana mampu merasakan denyut di dada bidang lelaki itu ketika telapak tangannya menyentuh di bagian sana.Dunia mereka terhenti sejenak. Kesiur angin. Ombak. Laut. Hamparan pasir. Langit yang gulita. Bintang-bintang. Bulan yang tidak sempurna. Tebing batu dan pohon-pohon.
Kentaro melepaskan ciumannya. Lelaki itu menatap mata Centana yang mulai sayu, dalam jarak yang sangat dekat. Napas panas saling menerpa dan memburu. Dada-dada yang naik-tutun dan jantung yang terus saja berkerenyut semakin cepat.
"A-Aku ...,” desis Centana.
"Sssstt ..."
Kentaro menempelkan hidungnya pada hidung Centana. Perlahan, ia mulai merabai dan membelai pipi Centana. Jari-jarinya yang panjang dan putih itu melesak ke sela-sela rambut. Centana memejam, merasakan belaian lembut lelaki itu. Isi kepalanya telah kosong. Benar-benar kosong, dan ia hanya mengikuti naluri yang telah menghanyutkan perasaannya selama ini. Dan tanpa banyak berbicara lagi, Kentaro kembali memagut bibirnya. Kali ini, lebih panas dan bergairah. Segala sesuatu yang telah dipendamnya selama ini telah meledak.
Kentaro tidak ingin mempedulikan apa-apa lagi.
***
Violin mengetuk-ketukkan kukunya di atas meja kafe dengan gelisah dan marah, sambil terus menggigiti bibir bawah. Sudah pukul 19:47. Berkali-kali matanya menyasari pintu kafe, berharap lelaki itu datang. Tapi sejak empat puluh lima menit yang lalu, ia tidak juga menjumpai batang hidungnya.
Diteguknya coffee latte dingin yang telah tinggal separuh itu dengan beringas. Ia merasa sudah tidak sabar lagi. Seandainya saja ia bisa mendatangi rumah lelaki itu dan menyeret telinganya, ia pasti sudah akan melakukannya sejak dulu. Tapi Juna selalu mengatakan, "Jangan ke rumahku, Violin! Belum saatnya!" Dan itu membuat nyalinya ciut. Sebagai wanita yang sangat mencintai seorang lelaki, tentu saja Violin ingin keluarga Juna juga mengenalnya sebagai kekasih putra mereka.
Bunyi dering ponselnya seketika menggema. Dengan cepat Violin meraih.
Arjuna!
"Ya ampun, Juna. Sudah jam berapa ini?" serang Violin seketika dengan nada tinggi.
"Aku sudah sampai."
"Oh, baguslah. Aku jadi nggak harus lumutan di tempat ini."
Violin mengakhiri perbincangan itu secara sepihak dan meletakkan kasar ponselnya di atas meja. Kepalanya mendongak dan mencari-cari sosok Juna. Lelaki itu baru saja membuka pintu kafe dan menyasari seluruh sudut ruangan dengan matanya yang tajam.
"Di sini," ucap Violin sambil melambaikan tangan. Juna melangkah mendekat. Wajah lelaki itu nampak sekali kalau sedang tidak mood.
"Kenapa kau sangat ngotot ingin ketemu? Kan sudah kubilang aku nggak mau ketemu lagi."
"Nih!" Violin menghentakkan sebuah koran di atas meja, tepat di hadapan Juna. "Apa maksudmu, hah? Pernikahan?" Mata Violin melotot.
"Terus maumu apa?" jawab Juna dengan santai.
"Juna, kau tahu kalau aku sangat mencintaimu. Bagaimana hubungan kita setelah ini? Ka-Kau ... Cih! Sangat memalukan. Kau menikah tanpa bilang apa pun sama aku? Bukankah sudah berkali-kali aku ingin kau kenalkan pada keluargamu. Oh, jadi ini alasannya. Wanita ini, hah?”
“Hubungan?" Juna mencondongkan tubuhnya ke arah Violin. Matanya tajam menatap wanita yang sedang sangat kecewa dan marah itu. "Sejak kapan kita punya HU-BUNG-AN, Vio?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...