GELOMBANG ITU TELAH MELUMPUHKAN SAYA

3.3K 97 5
                                    

Cuplikan Bab Selanjutnya

— POV Centana

Hampir setengah jam kami saling diam di lantai balkon, menekuni kegelapan teramat pekat yang membentang di luar sana. Lelaki itu memutar-mutar gelas wine-nya dengan perlahan, sementara saya membaui aroma malam yang terasa asing—bercampur bau daun pinus dan kabut lembab yang mulai luruh.

“Dulu saat kecil, aku dan Ken sering diajak Mami dan Papi ke tempat ini. Hampir setiap weekend. Kami bikin pesta barbeque di belakang villa. Dan itu menyenangkan.”

Juna tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang melankolis. Ini pertama kalinya dia begitu bahagia menyebut nama Ken, dan saya berhasil dibuatnya terenyuh. 

“Kamu merindukannya?” tanya saya sambil merapatkan selimut yang membalut tubuh. Udara sangat dingin, tetapi saya enggan untuk beranjak dari tempat ini.

Balkon di bagian belakang villa memiliki view paling sempurna. Setelah makan malam, Juna menarik tangan saya dan mengajak kemari. Lilin-lilin di dalam mangkok gelas berukuran kecil tertata di lantai balkon—terlihat serampangan, tapi itu sangat indah—yang terbuat dari susunan kayu mahoni. Sebuah alas cukup lebar yang bertekstur bulu-bulu lembut terbentang di tengah-tengah, ditemani tiga bantal bludru berwarna merah bata, dua meja bulat berkaki pendek yang di atasnya penuh dengan kudapan manis, sebotol wine, dua gelas berkaki ramping, dan sebuah selimut tebal berwarna mustard. Saya terpukau. Memandang takjub tanpa berkedip. “Sejak kapan kamu menyiapkan ini?” tanya saya ketika itu. Dan Juna hanya menjawab, “Saat kau mandi.”

Kami duduk berdekatan dan menyelimuti tubuh dengan satu-satunya selimut. Mulanya saya agak canggung, khawatir sekaligus berdebar-debar. Saya merasa lelaki itu menyiapkan ini dengan niat jahat yang tersembunyi. Mungkin lelaki itu tahu pikiran saya, lalu dia mengatakan malam ini tidak akan terjadi apa-apa. “Kita hanya ngobrol, itu saja,” ucapnya meyakinkan. Dan saya berusaha mempercayainya. Benar-benar berusaha.

Mendengar pertanyaan saya tentang apakah dia merindukan kakak angkatnya itu, Juna meletakkan gelas wine miliknya di atas lantai. Dia kemudian menatap saya. “Merindukan apa?”

“Masa kanak-kanak kalian. Makan sosis panggang, lomba berenang ... ehhm atau mungkin berburu serangga.”

Dia tersiam sejenak. Mungkin sedang berusaha menyelami kejujuran yang tertidur pulas di dalam sana.  

“Mungkin. Entahlah ....”

“Coba katakan itu padanya.”

“Pada Ken? Nggak mungkin.”

“Kenapa? Tidak sulit untuk mengatakan sesuatu, kan? Apalagi kalian tumbuh bersama.”

Juna menarik napas panjang sambil melemparkan pandangannya ke langit. Bintang-bintang seperti ribuan anak kunang-kunang yang tersesat. Kesepian dan berduka. Seperti Ken. Seperti Juna.

“Heehhhh ... Kenapa, ya ...?” Lelaki itu melepaskan napasnya dengan panjang dan berat sambil sedikit menggeliatkan kedua tangan ke belakang. Saya pikir, ketika dia menyelesaikan kata-katanya itu, akan muncul kata-kata baru yang menjelaskan perasaannya tentang Ken, tetapi ternyata saya salah. Lelaki itu justru memutar tubuh dan tanpa basa-basi merebahkan kepala di pangkuan saya. Selimut yang menutupi kami berdua jadi berpindah sebagian besar ke tubuhnya. Dengan canggung dan terkejut, saya menarik selimut agar kembali menutupi kaki saya yang terbuka.

“He-hei ... Apa yang—”

“Sssttt ... Aku mau tidur.”

“Tap-tapi kan ....”

Ucapan saya sama sekali tidak dihiraukannya. Juna langsung bersidekap dan memejam mata begitu cepat, seolah menutup telinga. Dia sedang menghindari pertanyaan saya. Saya tahu itu.

Kesunyian kembali mendekap seperti setengah jam yang lalu. Aroma tubuh Juna yang begitu dekat, menguar ke cuping hidung saya. Seksi, sekaligus misterius dan mendebarkan. Seperti bau lelaki yang berdiri di kegelapan. Dalam posisi seperti ini, tubuh saya menjadi panas dan salah tingkah.

“Kalau kau ...,” ucapnya tiba-tiba, masih dengan menutup kedua mata, “apa yang sebenarnya sudah terjadi antara kalian?”

“Hah? Apa?”

“Jangan pura-pura nggak tahu. Aku lihat, kok. Akhir-akhir ini kalian saling menghindar.”

Saya membungkam. Ingatan tentang hari di mana Kentaro dan Sabrina berbincang di kantor itu, kembali melintas. Dada saya sesak. Saya sebenarnya tidak ingin mengatakan itu pada siapa pun.

“Entahlah ....”

“Hmm?”

“Hanya saja ... aku merasa nggak kenal dirinya lagi.”

Lelaki itu menyungging senyum. Seperti sedang mengolok-olok. Atau menertawai sesuatu yang baru saya ketahui.

Untuk beberapa detik, kami bergeming dalam keadaan yang kosong. Dia kemudian memiringkan tubuh, wajahnya begitu dekat dengan pinggang saya. Embusan napasnya terasa hangat di sana. Dan tiba-tiba saja, kedua tangannya merengkuh pinggang saya dan memeluknya.

Dada saya semakin kencang berdebar. Saya bahkan tidak menolak dirinya melakukan itu. Seakan-akan ... Seakan-akan, sebentar lagi saya akan meledak.

“Apa kau merasa sakit?”

“Hah?”

“Karena dia ... itu ... apa kau merasa sakit?”

Suara Juna yang lirih dan hampir tidak terdengar karena membenamkan kepalanya di pangkuan saya itu terasa membunuh. Menusuk-nusuk di dalam sana.

Tersakiti ... Apakah benar saya tersakiti?

Apakah benar kediaman saya pada lelaki itu adalah sebuah rasa sakit?

“Kalau kau merasa sakit ... biar aku saja ....”

Juna melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu jawaban dari saya. Lelaki itu kemudian terbangun dan duduk kembali di samping saya.

Mata kami bertemu dan perlahan, saya kehilangan kendali diri.

Saya menunggu. Menunggu dirinya berkata-kata kembali. Menunggu suatu pergerakan dari tubuhnya yang bau laki-laki.

.....

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang