DUA PULUH TUJUH: Tidak untuk yang Kedua Kalinya

3.1K 230 16
                                    

Nyonya Linggar baru saja menyesap teh krisan-uap hangat memasuki lubang hidung dan harum bunga krisan yang sangat manis itu menjalari penciumannya-dan meletakkan cangkirnya di atas meja ketika mendengar langkah kaki memasuki ruang keluarga rumah itu. Wanita yang tengah mengenakan vintage blouse berbahan sutra dengan lengan panjang dan berwarna biru pastel itu memandang ke arah datangnya suara, dan menemukan sesuatu yang tak lazim dari wajah dua orang yang baru saja datang. Nyonya Linggar sedikit terheran, mengernyit, tapi berusaha nampak biasa ketika Juna mendekatinya dengan seulas senyum yang lebih hangat-Nyonya Linggar sangat merindukan senyum itu.

"Hai, Mom," sapa Juna sambil berjalan mendekat, membungkuk ke arah ibunya, merengkuh dan menciumi kedua pipi wanita yang sedang dikuasai ketakjuban itu. Nyonya Linggar mengedip-kedip. Dengan menepuk-nepuk lembut bahu Juna, ia melirik ke arah Centana, mencoba menemukan sesuatu di sana. Wanita itu tersenyum dan mengangguk takzim, tapi Nyonya Linggar masih merasa heran. Perlakuan Juna sore ini seolah sebuah mukjizat yang jatuh dari langit.

"Bagaimana kabar Mommy?" tanya Juna setelah melepaskan rengkuhannya. Lelaki itu melonggarkan dasi, lalu menempatkan pantatnya di samping sang ibu.

"Ba-baik. Mommy baik, kok," jawab Nyonya Linggar yang masih tidak bisa percaya dengan apa yang terlihat oleh kedua matanya. Ia melirik ke arah Centana kembali, menantunya itu tidak menunjukkan respons apa-apa lagi sekarang.

"Saya akan ke kamar anak-anak, mandi dan ganti baju," ucap Centana memohon diri sambil menganggukkan kepala. Ia melangkahkan kaki menuju ke arah tangga.

"Tunggu!" seru Juna. Lelaki itu bangkit dari sofa. "Aku juga mau ke kamarku dan mandi," lanjutnya. Ia mengejar langkah Centana, lalu berjalan pelan di belakang wanita itu.

Melihat mereka, Nyonya Linggar semakin mengerutkan dahi dan memicing mata. Tidak biasanya kedua makhluk itu bersama-sama seperti hari ini. Aneh. Tapi bagaimanapun, ia bahagia melihat hal itu.

Nyonya Linggar tersenyum. Ia mengangkat cangkir dengan anggun, sedikit menggoyangnya perlahan dan menghirup dalam-dalam aroma wangi bunga krisan yang hangat sambil memejam. Lalu, ia menyesap tehnya kembali.

***

Suatu hari, ibunya pernah berkata, "Ken, menjadi manusia baik itu bukan berarti kamu harus mengikuti apa yang orang lain inginkan agar mereka menganggapmu orang baik, tapi melakukan sesuatu yang benar walaupun mereka tidak menyukainya."

Ketika itu, Kentaro masih enam tahun. Enam tahun yang lugu dan tidak menyadari jika wanita yang berhati lembut dan tidak pernah berteriak kepadanya itu akan mati dalam keadaan mengenaskan, meninggalkan nama buruk yang terus melekat di dalam kepala lelaki itu. Kentaro begitu menyayangi ibunya. Ia suka tertidur di pangkuan, atau dipeluk setiap kali berhasil melakukan satu tantangan kecil yang diberikan sang ibu.

Ibunya memiliki mata yang teduh, selayaknya kubangan danau dengan pohon-pohon hijau dan matahari sore yang berwarna jingga. Rambut ibunya panjang menjuntai hingga di bawah pinggul, selalu beraroma taman bunga. Kentaro suka bermain-main dengan rambut legam itu, memilinnya dengan serampangan ketika ibunya tengah merajut sebuah sweater atau sekadar syal dan sarung tangan. "Untukmu, Ken, nanti ketika kita berlibur ke rumah Ojiisan saat musim dingin di Jepang. Kamu suka?" demikian ujar ibunya. Dan Kentaro akan mengangguk dengan bola mata terbinar-binar.

Kentaro suka warna biru. Seperti laut. Seperti langit. Seperti ... cintanya pada sang ibu. Dan biru itu akan berubah menjadi temaram yang pekat dan membara, ketika sebagian orang di perusahaan Hutama masih mengungkit-ungkit masa lalu kedua orang tuanya.

Perasaan itu, dipupuknya diam-diam. Begitu diam-dan bisu-hingga tak seorang pun menyadarinya, kecuali ... Daniel Ong.

Lelaki yang bertubuh lebih tegap dari Tuan Adam itu-usia mereka hampir sama-tengah duduk di ruang makan rumahnya. Makan malam telah tersaji di atas meja dan seorang kepala asisten rumah tangga berdiri tak jauh dari dirinya. Daniel Ong memutar-mutar sebuah benda kecil berwarna hitam di tangan kanan. Matanya jatuh terpaut pada benda itu, tak berkedip sedikit pun. Bibirnya berkali-kali dimainkan; menyungging sinis.

Dari arah pintu, Sabrina berjalan masuk. Tanpa banyak bicara, wanita itu segera menduduki tempatnya, setelah sang kepala asisten rumah tangga menyeret mundur kursinya dan mempersilakan sang nona muda untuk duduk. Mata Sabrina melirik ke arah benda hitam yang dimain-mainkan oleh ayahnya, tapi ia tidak bertanya apa-apa. Diraihnya gelas kristal yang berisi air mineral, lalu meneguknya dengan anggun. Tepat ketika wanita itu hendak meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, Daniel Ong meraih tangan kirinya lalu memberikan benda hitam itu ke telapak tangannya.

Sabrina memandangi benda itu dengan tekun, kemudian menggenggam erat. Ia berpaling ke arah Daniel. Lelaki itu tersenyum sinis dengan mengangkat sebelah alisnya yang berwarna kelabu.

Sabrina meneguk kembali air mineralnya. Kali ini, dahaganya terasa lebih haus.

***

Berita tentang betapa romantisnya Juna kepada sang istri di hari kemarin telah tersebar ke seluruh kantor, terlebih di antara staf pemasaran. Bisik-bisik dan senyum menggoda mereka membuat Centana malu. Terlebih, ia sendirian hari ini. Nyonya Liem tiba-tiba menelepon pagi tadi, ketika ia baru selesai mandi, dan mengatakan rasa mulas di perutnya sudah mulai menusuk-nusuk. Padahal jatah masuk kerja Nyonya Liem kurang hari ini saja.

Apa yang dirasakan Centana sangat jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Juna. Ketika mulai menyadari tingkah konyol para staf-berbisik-bisik, melirik nakal, berdehem, memain-mainkan alis-tiap kali dirinya mencari-cari Centana dan memanggil wanita itu masuk ke dalam ruangan, atau berkali-kali masuk ke ruangan Centana, entah mengapa Juna justru merasa kegirangan. Ia semakin menggoda wanita itu; memanggilnya dengan sebutan 'sayang', mengajaknya makan siang bersama dengan berteriak di depan pintu ruangan Centana-lalu para staf menyambutnya riuh dan staf wanita memekik malu-malu-atau merengkuh bahu wanita itu saat menggiringnya masuk ke ruangan-dan ia bahkan sempat mengedipkan sebelah mata ke arah staf wanita yang selalu mengintai mereka diam-diam seperti fans yang gila.

Juna benar-benar menikmatinya.

Suara gebrakan meja mengejutkan Juna ketika sedang sibuk tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila yang tengah dimabuk rasa bahagia di kantornya. Lelaki itu terhenyak, ketika melihat Kentaro sudah berada di hadapannya dengan wajah kesal. Belum sempat Juna melayangkan pertanyaan akan maksud kedatangannya, Kentaro sudah berjalan memutari meja dan menarik kerah baju lelaki itu dengan sangat kasar.

"Berhentilah bermain-main, Jun," ujar Kentaro dengan nada geram. Mata lelaki itu benar-benar marah. Diam-diam, ia melihat apa yang telah Juna lakukan hari ini dan itu membuat batas yang selama ini dipertahankannya meledak-ledak.

"Apa maksudmu?" jawab Juna sambil berdiri dari kursi dan berusaha melepaskan cengkeraman saudara tirinya itu. Tetapi kemarahan Kentaro lebih kuat dari biasanya kali ini.

"Centana. Berhentilah bermain-main dengannya. Sampai kapan kau akan seperti ini, hah!"

Juna tersenyum sinis. "Sampai aku bosan, mungkin. Atau ...," Juna menggantung sejenak kata-katanya, "sampai dia pergi darimu dan menjadi milikku, lalu kubuang begitu saja."

Tangan Kentaro mengepal. "Sialan!" Dengan keras, ia menghantam pipi kiri Juna. Lelaki itu terjerembap ke belakang, mengenai kursi kerjanya dan jatuh ke lantai. Juna mengusap ujung bibirnya yang sedikit sobek akibat hantaman kakak tirinya itu.

"Tidak untuk yang kedua kalinya, Jun," desis Kentaro. Matanya membuntang, sementara tangannya masih mengepal dengan begitu erat dan murka. "Hentikan rencanamu atau aku akan membunuhmu kali ini."

Senyap. Kedua kakak-beradik itu saling menekan satu sama lain. Kehampaan yang menggigit berputar-putar di antara mereka untuk sejenak. Tak lama kemudian, dengan langkah penuh amarah, Kentaro berjalan keluar. Namun, ketika membuka pintu kantor Juna, ia dikejutkan oleh sosok Centana yang telah berdiri dengan wajah khawatir dan sama terkejut seperti dirinya. Wanita itu bergeming, semakin mengeratkan tumpukan map yang disekap di dadanya dan tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi mata Kentaro yang menatapnya dengan rona kesedihan.

Centana melirik ke arah dalam. Dilihatnya Juna baru saja berdiri dan meringis kesakitan sambil memegangi dagu. Sementara itu, Kentaro melihat reaksi Centana. Tatapan dingin Kentaro kembali. Tanpa berkata apa-apa, lelaki itu berlalu, dan Centana menekuri punggungnya yang masih menyimpan rasa marah, sekaligus kesedihan.

Centana mendengar kata-kata yang diucapkan lelaki itu dengan jelas: Tidak untuk yang kedua kalinya, Jun! Dan itu menjadi sebuah tanda tanya besar di dalam dadanya yang mulai sesak. []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang