Centana mendongak, menekuni langit yang gulita dengan mata basah. Angin menggigilkan tubuhnya, tapi ia tidak peduli akan hal itu. Ia ingin terus saja berdiri di sana. Hanya di sana. Dan melelehkan mata.'Dear, Amalia. Satu hal yang ingin saya tanyakan padamu sejak dulu adalah, sekali saja ... sekali saja, sebelum kamu melakukan itu semua, pernahkah kamu memikirkan ketakutan semacam apa yang akan saya lalui setelah perbuatanmu? Pernahkah kamu memikirkan apa yang akan anak-anak lalui setelah perbuatanmu? Pernahkah kamu memikirkan itu, Amalia ...?'
Dada wanita itu semakin sesak. Ia menangis. Kegelapan di dalam matanya semakin buram dan kabur. Semakin pekat. Suara-suara kesakitan itu mulai terisak. Kepalanya tertunduk lemah. Benar-benar lemah. Bulir-bulir kepedihan semakin menggenang dan turun begitu deras. Berkali-kali ia mengusapnya dengan kasar, tetapi usahanya itu tidak mampu menghentikan apa pun. Dadanya semakin naik-turun. Semakin sesak dan sesenggukan.
Di depan lautan yang bergemuruh itu Centana menumpahkan segalanya. Ia merasa menyesal. Merasa kalah. Masa lalunya kembali menang malam ini. Dalam acara resepsi pernikahan itu, ia tidak mampu memenuhi janjinya pada Nyonya Linggar. Padahal ia ingin menjadi menantu yang baik, yang akan membuat Nyonya Linggar bangga di hadapan keluarga dan kawan-kawannya, tapi semua itu hanya menjadi omong kosong belaka.
Ketika itu, ia telah berdiri di antara para tamu. Sekumpulan mata mulai menelanjanginya tanpa ampun. Mata-mata yang tajam dan rakus. Mata-mata yang mencemooh dan menusuk. Centana berusaha tersenyum sebaik mungkin dan melakukan apa yang selama lima hari ini ia pelajari, tapi orang-orang itu seolah menjelma menjadi manusia paling suci, yang tidak akan mungkin bisa dibohongi tentang siapa wanita yang tengah berdiri dengan balutan gaun pengantin mahal itu.
Di antara laut dan pasir-pasir putih yang membentang itu ia menjadi beku. Ia hanya memperhatikan hingar-bingar yang begitu mewah di sekelilingnya itu. Orang-orang berbincang dan berbisik-bisik dengan tangan yang sedikit menutupi bibir mereka. Musik klasik mengalun anggun, yang dimainkan oleh tiga violinis yang berdiri di atas panggung yang penuh dengan bunga putih dan lampu-lampu kecil. Bolam-bolam yang menggantung di atas, seolah melayang-layang tanpa pengait. Kursi besi berukiran indah dan meja-meja panjang berderet rapi dengan dinner set, lentera kayu dengan lilin merah di dalam, dan rangkaian mawar di atasnya. Benar-benar sebuah dunia yang bukan miliknya. Bukan tempatnya untuk berpijak.
Keringat dingin Centana mulai menyembul. Kepalanya terasa berputar, dan merasakan hawa panas mulai merayap naik ke tengkuk. Ia hampir limbung. Ia ingat jika dirinya tengah menjadi pengantin saat ini. Tiba-tiba wanita itu merasa mual. Sesuatu mengaduk-aduk di dalam perutnya. Ia ingin pergi dari sana. Ingin menghilang.
Keadaan hari ini jauh berbeda dengan acara pemotretan di butik beberapa hari yang lalu. Ia juga mengenakan baju pengantin di waktu itu, tapi tidak tengah berdiri di antara para undangan yang menatapnya sebagai sosok pengantin dan satu per satu mengucapkan kata selamat. Terlebih, tatapan menusuk yang diberikan oleh orang-orang itu, yang membuat sesuatu di dalam dirinya semakin bergejolak.
Centana berjalan terseok perlahan-lahan dan berharap menemukan sebuah tempat duduk yang bisa membantunya. Beberapa menit setelah datang di tempat itu, setelah Tuan Adam dan Nyonya Linggar memperkenalkan dirinya dan orang-orang mengucapkan selamat dengan menaikkan gelas sampanye, ia bahkan telah ditinggalkan oleh Juna. Lelaki manja itu pasti menghindari dirinya. Centana yakin. Ia mengulas senyum getir. Ia seorang diri sekarang. Kedua anaknya tengah disibukkan oleh makanan dan Nyonya Linggar di bagian yang lain. Sementara Tuan Adam tengah berbincang dengan beberapa tamu pria. Tertawa-tawa, lalu berubah menjadi serius.
Jantung wanita itu semakin cepat berpacu. Jari-jari tangannya bergemetar. Ketakutannya akan pernikahan mulai menguasai tubuhnya. Semakin sesak, dan sesak. Alunan Ave Maria yang meliuk-liuk di udara mulai menusuk. Semakin menusuk dan menusuk. Telinganya sakit. Berdenging begitu keras dan memekak. Seketika, tanpa sadar, ia menutup kedua telinga dan duduk berjongkok.

KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomantikCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...