DELAPAN BELAS: Percayalah Padaku

4.8K 305 0
                                    

Sambil mengaduk-aduk kopi yang tinggal separuh cangkir di depannya, Centana terus memperhatikan Kentaro. Lelaki itu sibuk membalas satu per satu pesan di ponsel, sambil sesekali meliriknya dan mengulas senyum.

“Tuan Adam sudah mencariku, sebentar lagi aku harus ke kantor,” ujar Kentaro kemudian, membuat Centana melepaskan napas kecil sebagai tanda kecewa. Pertemuan sejenak mereka tidak membuahkan hasil apa-apa. Sejak lelaki yang tengah mengenakan stelan jas berwarna biru yang teramat gelap itu tidak lagi menghubunginya beberapa hari lalu dan meninggalkan banyak pertanyaan di dada, tiba-tiba saja sebuah pesan singkat muncul Subuh tadi, mengajaknya bertemu. Centana pikir, Kentaro akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan ‘kenapa ia tidak menghubunginya akhir-akhir ini’, tapi ternyata, sejak awal bertemu, tidak ada satu pun ucapan yang mengungkit tentang hal itu.

“Ada apa?” tanya Kentaro ketika menyadari sesuatu yang tersirat di mata Centana. Ia menghentikan gerakan jari-jemarinya, lalu meletakkan ponsel di atas meja.

“Hah? Ehmm ..., tidak ada apa-apa, kok.”

“Sungguh?”

“Hu-um,” Centana mengangguk.

“Matamu sedang berbicara lain.”

Centana melirik ke arah seorang pelayan kafe yang berjalan melalui mereka sejenak, lalu menghela napas dan menghentikan adukan sendoknya. “Ada banyak pertanyaan, Ken. Tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana.”

“Apa sesuatu yang serius?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Tentang apa?”

Centana diam sejenak, menekuni mata lelaki itu dalam-dalam. Mata meneduhkan itu yang berhasil membuatnya luluh setelah bertahun-tahun menutup diri dari lelaki lain selain ... “Tentang kita,” ucapnya kemudian.

Mendengar jawaban Centana, Kentaro mengubah posisi duduknya. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kedua kaki lalu meletakkan kedua tangannya yang saling terkait di atas lutut. “Aku masih ada sedikit waktu, katakan saja,” ujarnya. Kelembutan yang tersirat di wajahnya lamat-lamat menghilang, berganti keseriusan yang mampu menggigilkan siapa pun. Melihat itu, Centana merasa ingin mundur dan mengurungkan diri untuk menyatakan apa yang dirasakannya, tapi ia tahu dengan benar, ini bukanlah saat untuk ‘bermain-main’. Usia mereka bukan remaja lagi. Terlebih, setelah dering telepon dari seseorang yang membuat Juna begitu penasaran tadi.

“Mantan suamimu, ya?”

Hahh ... Centana menarik napas panjang dan menepis suara Juna di dalam kepalanya.

“Oke ..., baiklah, kamu bisa, Centana,” ia mennggerutu pelan sambil memukul-mukul lirih kedua pipinya, lalu berusaha kembali tenang dengan wajah yang serius. “Ada banyak pertanyaan, tapi semua itu jika digabungkan menjadi satu pertanyaan maka aku hanya cukup bertanya padamu dengan, sebenarnya, apa sih yang sedang kita lakukan, Ken? Kamu tahu, sejak kejadian malam itu, kita melakukan beberapa hal yang seolah menunjukkan kalau kita adalah sepasang kekasih. Chating, telepon, lalu bertemu diam-diam, yaa ... walaupun cuma hitungan hari, sih ... Itu menyenangkan sekaligus bukan hal yang baik bagi kita. Aku berpikir kamu menyukaiku dengan ciuman itu, walaupun tidak ada kata-kata yang memulai hubungan kita. Hubungan ... Aku bahkan tidak yakin kita memiliki sebuah hubungan, tapi aku menerimanya. Aneh, kan? Lalu akhir-akhir ini, tiba-tiba saja semua itu hilang dan aku yakin hanya aku sendirilah yang kalang-kabut memikirkannya, menunggumu menghubungiku seo—”

“Apa kau yakin?” Kentaro memotong perkataan wanita itu.

“Hah? Apa?”

“Kau yakin kalau hanya dirimu yang kalang-kabut?”

Centana berkesap-kesip dengan bibir yang sedikit terbuka.

“Tuan Adam sudah menungguku, kita bicarakan di mobil saja, ya. Kuantar kau pulang.” Kentaro berdiri dari kursi dan merapikan kemejanya. “Ayo,” ujarnya pada Centana yang masih duduk dan memandanginya dengan wajah yang tidak percaya kalau lelaki itu bisa begitu santai sementara dirinya membutuhkan keberanian yang begitu besar untuk mengatakan semuanya.

“Tap-Tapi ....”

Tanpa banyak bicara lagi, Kentaro meraih tangan Centana dan menggandengnya. Debaran dada wanita itu memantul-mantul tak keruan. Kehangatan mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia mendadak menjadi pendiam ulung, selayaknya seekor anak anjing yang digiring tuannya pulang.

Sesampainya di dalam mobil, Centana masih diam. Keinginan untuk bertanya lagi itu telah lesap entah ke mana. Ia terus menekuni jalanan dengan tatapan kosong. Pikirannya seolah terenggut oleh genggaman Kentaro yang menghangatkan. Sementara itu, Kentaro juga membisu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa. Wajah dinginnya bahkan lebih membekukan dari embusan AC.

Mobil hitam itu berhenti jauh dari pintu gerbang rumah keluarga Juna. Mereka tidak ingin seseorang yang tinggal di rumah itu mengetahui kebersamaan yang ganjil itu. Tidak boleh. Centana tidak ingin merusak kepercayaan Tuan Adam dan Nyonya Linggar—walaupun ia sudah melakukan itu.

“Hei,” Kentaro meraih lengan Centana ketika wanita itu telah membuka pintu mobil dan hendak melangkah keluar.

“Ya?”

“Percayalah padaku.”

Wanita itu membungkam. ‘Percayalah padaku’. Ia pernah mendengar kata-kata semacam itu dari bibir seorang lelaki. Dulu, jauh di masa lalu.

“Aku ...”

“Ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Tolong, tunggulah aku.”

Menunggu ... Kata itu berdengung-dengung di kepala Centana, seperti serangga kecil yang mengganggu di malam hari.

“Aku mohon ...,” ujar Kentaro lagi, lebih lirih dan lembut.

“Apa itu sesuatu yang berhubungan dengan masa lalumu?”

“Iya.”

Centana menghela napas. “Aku tidak tahu apa yang harus kamu selesaikan, tapi ... akan kucoba.”

“Terima kasih.” Lelaki itu mengulas senyum dan melepaskan lengan Centana.

“Aku akan keluar.”

“Ya.”

“Sampai ketemu lagi, Ken.”

“Sampai ketemu lagi. Jaga dirimu.”

Centana mengangguk sekali sebelum melangkah keluar.

***

‘Dear, Amalia. Seharusnya, memang ada yang harus kita selesaikan di antara kita. Kamu dan saya, duduk bersama di depan sebuah meja kafe dengan dua cangkir minuman favorit kita.’

Ia menutup buku itu dan melesakkannya ke dalam laci. Jam meja berwarna keunguan telah menunjukkan pukul setengah sebelas. Waktu telah berlalu dua puluh lima menit sejak ia berpisah dengan Kentaro. Kata-kata lelaki itu membuatnya tertampar.

Ia mendesah dengan napas berat, lalu berujar lirih, “Tidak hanya kamu yang punya masa lalu, Ken. Aku juga. Hanya saja, aku lari dan tidak menyelesaikannya ....” []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang