Namanya Andalusia. Hanya Andalusia, tidak ada nama lain yang mengikuti. Aku tidak tahu kenapa kedua orang tuanya memberikan nama seperti itu, tapi ketika pertama kali mengeja tulisan itu di kartu tanda pengenal yang menggantung di lehernya, di dalam kepala, aku melihat hamparan pantai yang megah. Pantai di musim semi.Dia adalah salah satu penjaga perpustakaan sekolah kami. Yang termuda. Dia memandangku tanpa pancaran ekspresi apa pun. Dingin dan mencekam. Dia mengetik beberapa judul buku yang kupinjam hari ini dan membubuhkan tanda tangan di kartu peminjam milikku.
Aku merasa gembira saat melihat sosoknya di balik meja penjaga perpustakaan. Kupikir, meja itu hanya diduduki oleh Mam Liliana, wanita tua--mungkin masih perawan--yang ketus dan suka melotot pada semua siswa laki-laki. Dua kali mengunjungi perpustakaan, aku tidak pernah melihat dirinya, baru hari ini. Dan itu membuatku memutuskan untuk lebih sering datang.
Setelah menyelesaikan prosedur peminjaman buku, dia menggeser tumpukan buku yang tadi kusodorkan padanya. Bunyi gesekan terdengar dan matanya masih tidak menatapku. "Ambil payungmu saat pulang nanti," ujarnya pelan. Dia kemudian kembali pada aktivitasnya, menekuni layar komputer dengan pandangan beku.
"Terima kasih, Mam," ujarku sambil mengangkat tiga buku yang kupinjam hari ini, lalu berlalu. Udara pukul sebelas siang menyambut tubuhku ketika keluar dari pintu kaca gedung perpustakaan. Sebelum menjauh, aku kembali berpaling ke arahnya. Dia masih sedingin musim salju.
**"
Seseorang pengetuk pintu kamar tidur dan aku menunggu suara dari luar sana. "Ken ....' Mama Linggar memanggil.
"Masuk, Mam," jawabku sambil menutup Carrie, yang baru kubaca empat puluh tujuh halaman malam ini.
Daun pintu terbuka setengah dan kepala Mama Linggar menjulur. "Kau sibuk, nggak?' tanyanya sambil nyengir.
"Cuma baca buku, kok."
Wanita itu berjalan masuk, "Temenin Mama belanja, yuk."
Aku terdiam. Berpikir. Sebenarnya, aku tidak sedang ingin keluar rumah malam ini. Tapi ....
"Boleh, jawabku." Wajah Mama Linggar tersenyum lebar.
***
Mobil yang dikemudikan Pak Heru melaju menebas udara malam, menuju ke sebuah supermarket di Jalan Raya Darmo. Lampu-lampu melesat, aku diam menekuri kegelapan yang remang-remang, sementara Mama Linggar sibuk memainkan ponsel keluaran terbaru yang tadi pagi diberikan Tuan Adam. Wajah Mama Linggar begitu semringah ketika ponsel rose gold itu sudah berpindah ke tangannya.
Kami akhirnya sampai setelah menempuh hampir empat puluh lima menit perjalanan. Macet. Riuh pikuk bunyi klakson motor dan mobil sedikit memekak telinga saat melintas jalanan tadi. Membuatku bosan. Begitu papan nama supermarket itu nampak, aku mendengar dengus lega dari Mama Linggar.
Setelah mobil terparkir, aku dan Mama Linggar keluar bersamaan. Dengan rasa enggan aku melangkah mengikuti ibu angkatku itu, melesakkan satu tangan ke saku celana tujuh perempat dan menyusuri area parkir yang nampak lengang. Lampu neon berbentuk bulat besar berjajar sepanjang area, sekumpulan serangga kecil terbang memutar di sekitarnya. Sesekali menabrak dan terpental, sesekali berputar-putar. Serangga yang tergila-gila pada cahaya. Kegilaan sungguh mampu membuat siapa pun tersesat.
Seorang pegawai pria melintasiku dari arah belakang dengan mendorong beberapa kereta belanja. Aku menoleh. Mata kami bersitatap sejenak. Lalu, dalam jangkauan pandang, aku melihat sosok wanita itu. Andalusia. Dia menaiki motor hitam, berjalan masuk dan berusaha mencari tempat parkir, enam meter dari tempatku berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
Storie d'amoreCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...