Gadis-gadis masih saja berisik. Mereka tidak pernah jera walaupun aku sudah berkali-kali mengusir dengan kasar. Terlebih Vanila, gadis norak itu seperti tidak punya urat malu. Dia selalu memberiku sekotak jus saat jam istirahat. Di depan matanya, kotak itu kubuang di tempat sampah, tetapi gadis yang tidak punya urat malu selalu pejuang yang gigih.
Telingaku berdenging mendengar celoteh berisik mereka. Dengan kasar kudorong kursi ke belakang, berdiri dan menerobos salah satu teman Vanila yang ikut mengerubungiku.
"Ken!" seru Vanila.
"Apa?" tanyaku dingin. Aku bahkan tidak memandang dirinya.
"Mau ke mana? Ikut, ya?"
Aku sudah muak.
Dengan lesat kuhampiri gadis itu dan mendorongnya hingga merapat pada bangku di samping. Embusan napasnya menerpa bibirku, aroma panik yang bercampur kesenangan terlihat dari bola matanya. Pekikan-pekikan gadis lain di belakang semakin membuat suasana hatiku memburuk.
"Ke-Ken ...," desahnya. Uap panas dari bibirnya merayapi wajahku. Perlahan, aku menempelkan bibir ke telinganya dan mencengkeram bahu gadis itu erat-erat, menekankan kuku-kukuku dengan geram. Dia merintih kesakitan. Seperti decit seekor tikus yang ekornya terjepit pintu.
"A-KU BEN-CI KA-MU," bisikku pelan, tapi menekan. Setelah itu, kuhempaskan tubuh jenjang itu dan berlalu tak acuh ke arah pintu kelas.
***
Atap sekolah adalah satu-satunya tempat paling sunyi di sekolah ini. Aku sudah berada di tangga terakhir, mengulurkan tangan dan membuka pintu yang menuju ke atap sekolah. Angin pukul sebelas menerpa wajahku. Samar aku mencium aroma tanah basah. Hujan. Sebentar lagi pasti turun hujan. Langit muram, tapi aku lebih suka demikian.
Langkah kakiku terayun ringan menuju sudut paling teduh di bagian atap sekolah. Tapi, baru beberapa langkah, aku mendengar suara isakan. Itu perempuan. Ya, aku yakin itu tangisan seorang perempuan.
Kakiku terhenti seketika. Cih! Sungguh sangat merepotkan jika harus bertemu dengan perempuan yang sedang menangis. Aku memutuskan untuk berbalik, tapi ... aroma itu ....
Pelan, aku mendekat, dan mulai melihatnya.
***
Hidungku menangkap aroma musim semi yang basah ketika melihatnya duduk menunduk di sana. Angin semakin terasa dingin, samar terdengar suara teriakan riuh dari arah bawah, terbawa angin ke cuping telingaku.
Tertegun. Dentuman dadaku tidak tertahankan. Kedua kaki ini tiba-tiba saja melangkah mendekat tanpa kuminta, seolah ada kerinduan diam-diam yang membawaku bergerak.
Suara gemerisik sepatu kets yang beradu dengan lantai atap membuatnya terjingkat. Mata kami bertemu sesaat. Mata yang basah itu ... Wajah yang menyimpan rahasia kepedihan itu ... Wajah yang menyimpan aroma musim semi itu ... Rasanya, aku ingin membawanya masuk ke dalam seluruh tubuhku.
Wanita itu cepat-cepat menghapus lelehan air matanya dan berdiri. Dia mencoba menampilkan wajah tegar yang penuh kepura-puraan ketika aku sudah berdiri dua meter di hadapannya.
Langkahku terhenti. Aku menatapnya tanpa ingin berkata-kata. Tanpa ingin bertanya apa-apa.
"Ke-Kelas be-ra-pa kamu? Ap-Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya terbata-bata. Mungkin dia malu, aku yakin itu.
"Kentaro, Mam. 1-A."
Dia menggangguk-angguk kecil, menahan sengguk yang keluar dari dadanya sambil menekan rahang.
"I ... Ibu akan turun se-karang," ujarnya lagi, sambil mulai berlalu. Kain roknya melambai tertiup angin. Aroma musim semi yang basah itu semakin kuat menusuk hidung ketika dia melawatiku. Tanpa sadar, tanganku bergerak meraih pergelangannya, menarik tubuh mungil itu mendekat ke tubuhku dan merengkuhnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...