Tak ada yang lebih buruk dari cinta. Ketika kau tengah dimabukkan oleh perasaan itu, kau mampu melakukan apa pun demi dirinya, bahkan jika itu sesuatu yang paling buruk sekalipun.
Sabrina Ong baru berusia dua belas di malam Tahun Baru itu dan tengah libur musim dingin. Ia merasa bosan berada di rumah tanpa melakukan apa pun, dan ingin segera kembali ke Swiss, tempatnya menimba ilmu. Lalu Daniel Ong, sang ayah yang penuh kasih itu, mengajaknya ke pesta Tahun Baru keluarga Hutama dengan sedikit paksaan. “Kau pasti akan menemukan sesuatu yang menarik di sana, Sab. Percayalah sama Papi,” ujar Daniel Ong begitu meyakinkan.
Malam itu adalah kali pertama bagi Sabrina bertemu dengan keluarga besar Hutama. Ia tidak terlalu tertarik dengan seluk-beluk keluarga itu. Sama sekali tidak. Tetapi begitu sosok Kentaro muncul di hadapannya, Sabrina benar-benar tidak berkutik. Ia merasa seluruh darahnya melesat begitu cepat, dan panas. Sesuatu tengah memberontak di dalam sana. Begitu beringas dan meletup-letup. Dan semenjak malam itu, Sabrina bersumpah, suatu hari, ia pasti akan menikah dengan Kentaro.
Pasti!
Kepergian Kentaro menyisakan rasa pedih di dalam hatinya. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi, tapi tetap saja itu sangat menyakitkan. Sabrina berusaha mengendalikan diri, mengatur napasnya yang tersengal. Setelah merasa cukup tenang, ia meraih telepon merah yang ada di atas meja kerjanya dan menekan dua tombol.
“Rencana Papi berhasil, dia marah besar. Dia baru saja keluar dari ruanganku,” ujarnya. Untuk beberapa saat, Sabrina terdiam mendengarkan lawan bicaranya yang tertawa kesenangan.
“Bagus, Sab. Bagus. Darah Ong begitu kental di dalam tubuhmu.”
“Lupakan dulu pujian itu, aku sedang patah hati.”
“Ha-ha-ha. Tenang, Sayang. Sabar. Kemarahan tidak akan menghasilkan apa-apa. Biar Ken saja yang terbakar dadanya, bukan kau.”
Sabrina membungkam. Ia tidak ingin mendengus kesal lagi.
“Rasa marah Ken hari ini akan membuat kebenciannya semakin terpupuk subur. Dia pasti semakin tidak sabar, dan ketika kebenaran akan kematian kedua orang tuanya itu terungkap, tidak ada lagi yang tersisa di dalam hatinya. Tidak ada lagi. Dan kitalah yang akan memenangkan pertarungan ini.”
“Jadi kapan kita akan memberikan rekaman itu?”
“Sedikit lagi, Sab. Sedikit lagi. Papi akan memberitahumu jika waktunya tiba.”
“Tapi dia akan menelanku bulat-bul—”
“Sssttt ....”
Sabrina memutar kedua bola matanya. “Baiklah, baiklah. Terserah Papi saja. Kau adalah bos permainan ini,” jawabnya dengan sedikit kesal, lalu meletakkan kembali gagang telepon itu ke tempatnya.
***
Mereka berdua makan tanpa berbicara sedikit pun. Hanya bunyi sendok dan garpu yang membentur piring, juga suara benda-benda lain yang tak sengaja berdenting.
Restoran itu tidak terlalu riuh. Orang-orang makan tanpa banyak berbicara, seperti mereka. Hanya sesekali tertawa kecil sebagai pertanda adanya kebahagiaan di dalam sebuah kesunyian yang sakral. Tapi bagi Centana, itu adalah makan malam paling canggung yang pernah ia rasakan.
Wajah dingin Kentaro masih menyisakan kemarahan. Centana pikir itu pasti karena kejadian di ruang kantornya, di hari itu, ketika Juna menyentuh dagunya dan mereka berdua saling bersitatap.
“Bagaimana kabarmu?”
Tiba-tiba saja suara lembut Kentaro memecah keheningan dan membuat Centana sedikit tersentak. Wanita itu mendongakkan kepala, menatap wajah lelaki di hadapannya. “Ba-baik,” jawabnya.
“Syukurlah.” Kentaro mengulas senyum, meletakkan alat makannya di atas piring, lalu menopang dagu dengan kedua tangan dan terdiam kembali. Mata lelaki itu memejam, menikmati alunan musik jazz yang kembali menguasai udara di sekitar mereka.
Mata Centana tidak terlepas sedikit pun dari lelaki itu. Kata-kata Juna yang menghina dirinya tadi malam masih melekat di dalam kepalanya. Selama seharian ini ia mencoba memikirkan lekat-lekat, alasan-alasan apa yang bisa membuat hatinya terikat pada lelaki keturunan Jepang itu. Wajah yang menyenangkan, suara yang lembut, perlakuan-perlakuannya yang manis, lalu ....
“Aku pernah mencintai seseorang.”
Lagi-lagi lelaki yang masih terpejam itu memecah kecanggungan di antara mereka, tapi kali ini lebih lembut dan syahdu, membuat Centana tidak mampu mengeluarkan apa pun untuk sekadar membalas ucapannya.
“Aku sangat-sangat mencintainya sampai seolah-olah aku siap dan mampu untuk membunuh siapa pun yang akan menyakiti dirinya,” ucap Kentaro. Matanya terbuka kali ini, tetapi kosong dan dingin, tepat mengarah kepada Centana.
“La-lalu ... a-pa yang terja-di pa-da kalian?”
“Aku sudah tidak bersamanya.”
“O-h ... Su-sudah pasti demikian, kan. Ka-karena ... a-ku tidak pernah melihat dirinya. He-he-he ....”
Centana semakin merasa canggung. Ia memainkan garpunya, berputar memilin spaghetti di atas piringnya.
“Dia sudah mati.”
Wanita itu terhenyak. Garpu di tangannya berhenti diputar.
“Ma-ti ...?” Centana mendongak dan kembali menatap Kentaro, memasang wajah simpati sekaligus keingintahuan yang besar. “Maafkan aku, Ken ... A-aku ...,” Centana menelan ludah sejenak, “apa dia sedang sakit?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Dibunuh. Dia dibunuh. Juna yang telah membunuhnya.”
Garpu di tangan Centana terjatuh dan berdenting kecil ketika menyentuh bibir piring. Wanita itu memekik tertahan, menatap tanpa berkedip ke arah lelaki yang masih menyimpan musim dingin di kedua bola matanya itu. Lelaki itu bahkan tidak mengubah ekspresinya ketika mengatakan sebuah kepedihan.
***
Setelah kata-kata pedih yang mengejutkan itu, Kentaro tidak mengucapkan apa-apa lagi. Centana tidak ingin percaya, tetapi juga sangat ingin tahu. Ia berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kuku ibu jari di dalam kamar anak-anak. Jendela masih terbuka lebar, angin pukul sebelas malam berkesiur menerpa korden tipis berwarna merah muda yang menjuntai hingga menyentuh lantai. Ia ingin sekali bertanya banyak hal di saat tadi, tetapi Kentaro benar-benar membisu. Entah apa yang ingin disampaikan oleh lelaki itu padanya, yang jelas, kini Centana tahu kenapa kedua lelaki itu begitu saling membenci. Tapi yang jadi pertanyaan besar di dalam pikiran Centana, jika benar Juna telah menjadi pembunuh, kenapa lelaki manja itu tidak dipenjarakan? Apa yang sebenarnya telah terjadi?Kaki-kaki Centana terhenti tepat di depan pintu kamar. Ia menekuni pintu bercat putih itu, bergumam sendiri, “Apa aku tanyakan saja pada Juna? Ah, tidak, tidak. Itu sangat bahaya, nanti dipikir aku menuduhnya dan dia akan marah lagi.”
Centana berbalik, mengangkat kaki beberapa langkah lalu berhenti kembali. “Tapi aku tidak bisa seperti ini. Aku harus tahu. Tidak mungkin Juna itu seorang pembunuh, kan?”
Wanita itu bergeming.
Melamun.
“Arrgghhh! Mereka berdua membuatku gila! Masa bodoh!” desisnya sambil menjambaki rambutnya beberapa kali, berharap otak di dalam tempurung itu bisa kembali jernih. Lalu, dengan cepat, ia pun melangkah ke arah ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Gishel, berusaha keras untuk terpejam. []
~ bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...