Seharian ini, Kentaro sama sekali tidak menghubunginya. Centana mimbang. Berkali-kali ia membolak-balikkan ponsel itu, memainkannya. Di dalam pikiran, ia terus menimbang-nimbang, apakah dirinya yang harus menghubungi pertama kali, ataukah tetap menunggu dengan terus berusaha melipat kecemasan. Dan tentu saja itu akan membuatnya sangat tidak nyaman.Pukul sembilan malam, Centana melirik jam dinding bulat berbingkai hitam di atas kamar Juna. Sudah dua malam ini ia dipaksa terus tidur di tempat yang membuat dadanya sesak itu. Dan selama itu pula ia harus bertengkar dengan lelaki itu. Seperti berdiri dan tidur di atas bara api neraka.
Pintu kamar terbuka. Centana terjingkat dan menatap lelaki manja itu masuk dengan gayanya yang arogan. Ia melempar kunci mobil di atas meja, lalu dengan kasar meletakkan tubuh lelahnya di atas sofa kamar berbentuk oval itu."Minum." Juna menyilangkan kaki, menatap ke arah Centana.
"A-Apa?"
"Minum. Kau nggak dengar?"
Wanita itu mengerutkan kedua alis.
"Kau itu bodoh atau apa, sih? Suamimu baru pulang kerja jam segini. Ambil minum sana, aku haus!"
Kali ini Centana menganga sambil mendelik. Isi kepalanya tiba-tiba kosong. Ia bertanya pada diri sendiri, apa saat ini telinganya sedang tidak salah dengar. Lelaki yang sedang melonggarkan dasinya dengan gaya sok yang menyebalkan itu memerintahnya mengambil minum? MINUM?!
"Woiii! Mana minumku?" Juna kembali memerintah. Suaranya lebih keras dan marah. Mendengar itu, Centana turun dari ranjang dan mendekatinya dengan berkacak pinggang.
"Dengar, aku bukan pembantumu, ya."
"Memang bukan, kok. Siapa bilang kau itu pembantuku?" Juna menurunkan kaki, lalu berdiri dan menghampiri Centana. Ketika tubuh Juna telah mendekati wanita itu, ia meraih dagunya dan berkata, "Kau bukan pembantuku, tapi kau adalah ISTRIKU."
Dengan jengkel Centana menepis tangan Juna yang menempel di dagunya. "Sejak kapan kamu mengakui kalau aku ini istrimu. Kemarin-kemarin kamu bilang kita ini bukan--"
"Ssttt ..." Juna meletakkan jari telunjuknya ke bibir Centana. Setelah itu, dengan sangat cepat, tangan kanannya merengkuh pinggang Centana dan menariknya mendekat.
Tubuh Centana menempel ke tubuh Juna, ia menahan dada lelaki itu dengan kedua tangan dan membeliakkan mata. "Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku!" Centana merontah-rontah, tapi lengan Juna lebih kuat daripada itu. Dan tanpa ia duga, Juna justru memeluknya. Embusan napas terasa lengket di leher Centana. Wanita itu membeku untuk beberapa saat. Waktu seolah memaksanya untuk bergeming.
"Apa yang aku lakukan?" bisik Juna. Lembut. Napasnya semakin melekat di leher wanita itu. "Aku ingin kita melakukan apa yang dilakukan oleh suami-istri. Bukankah ini menarik, Centana?" ujarnya kemudian.
Sebuah hentakan di dalam kepala berhasil menyadarkan Centana. Wanita itu mendorong tubuh Juna. Lelaki itu melepaskan rengkuhannya. Tanpa diduga, Centana melayangkan sebuah tamparan.
Wajah wanita itu memanas. Napasnya memburui udara. "Ja-Jangan menyentuhku! Aku tidak seperti wanita-wanitamu di luar sana. Paham?!"
Sebuah senyuman nakal tersungging di bibir lelaki itu. Ia menatap Centana sambil membelai pipinya yang berdenyut-denyut. "Kau ini wanita aneh. Aku suamimu, tapi nggak boleh menyentuhmu. Lalu, siapa Ken sampai kau mau dicium olehnya? Kekasihmu? Ya, ya, ya ... Kalian benar-benar sangat cocok. Hahaha ...!"
Juna melangkah keluar kamar. Tawa kemenangannya masih menggema dan memantul-mantul di dinding. Dada Centana naik-turun karena amarah. Mukanya memerah. Kata-kata Juna membuatnya semakin khawatir.
***
Ponsel itu berdering berkali-kali, tetapi tidak sekalipun Kentaro mengangkat dan menerima panggilan. Ia hanya meliriknya sekali, nama itu tertera begitu jelas di layar, lalu membuang muka dan berjalan ke arah jendela kamar apartemennya. Kegelapan menyelimuti wajahnya yang dingin. Tanpa ekspresi. Matanya sasar menusuk malam yang menggantung di depan sana.
Hening. Ponsel itu menyerah untuk terus berdering tanpa dihiraukan. Kentaro meneguk sisa vodca yang ada di dalam gelasnya, lalu kembali menekuni kegelapan. Matanya masih saja dingin. Menusuk. Aroma kebencian menguar. Dengan mendengus kesal, Kentaro meremas gelasnya kuat-kuat.
Darah segar mengucur dari telapak tangannya yang tergores, tetapi lelaki itu tidak peduli. Rasa sakit di dadanya, jauh lebih menyedihkan daripada itu ...
***
Sinar matahari hangat menyelinap masuk dari celah-celah korden hitam di kamar Juna dan jatuh pada wajah Centana. Wanita itu mengerutkan dahi, lalu membenamkan wajahnya semakin dalam dan lindap di bawah selimut. Ia terdiam sejenak. Menikmati rasa kantuk yang masih enggan luruh dari matanya, tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dengan gegas Centana membuka selimut, bangun dari ranjang dan memakai sandal kelincinya.
Diliriknya jam dinding. Pukul enam lima belas. Ia sudah sangat terlambat. Kebingungan dan cemas. Dengan cepat dan tergesa-gesa Centana berjalan ke arah kamar mandi dan membuka pintu. Tapi ketika matanya menangkap tubuh telanjang Juna yang tengah diguyur shower, Centana seketika memekik dan menutup kedua matanya dengan telapak tangan.
“Mesuumm!! Ngapain kamu mandi di situ?" pekik Centana sambil membalik badan. Dadanya berdegup kencang. Ini adalah pertama kalinya ia melihat tubuh lelaki lain selain suminya dulu.
"Ngapain? Ini kamarku woii, pikun!!" jawab Juna tanpa peduli. Ia tetap asyik memijat-mijat lengannya yang tengah dibaluri sabun cair. Aroma lavender menguar. Menggelitik hidung. Mendengar ucapan itu, Centana mengangkat kepala. Lelaki manja itu benar. Ini adalah kamarnya. Tanpa bicara lagi, wanita itu berjalan cepat ke arah pintu keluar dengan wajah bersemu merah, menuju ke kamar anak-anaknya.
'Sadar kamu, Centana. Jangan tersipu malu. Lelaki itu musuhmu!' batinnya sambil memukul dahinya sendiri.
***
Ketika ia datang ke ruang makan, Tuan Adam, Nyonya Linggar, Juna, dan kedua putrinya telah duduk di sana dan menatap dirinya. "Maaf, aku terlambat," ujarnya lirih. Juna menyungging senyum, lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulut.
"Jangan terburu-buru. Makanlah dengan tenang. Biar anak-anak kuantar sekolah," ujar Nyonya Linggar sambil menyentuh lembut tangan Centana ketika wanita itu terduduk di sampingnya.
"Tidak usah, Ma. Biar aku saja. Aku akan sarapan setelah pulang mengantar. Lagipula, hari ini aku ada janji sama seseorang.”
"Nggak mau! Gishel mau dianter Oma Linggar saja!"
"Jola juga. Jola juga."
Kedua bocah itu berdiri dari kursi dan menghambur ke arah Nyonya Linggar dengan wajah gembira. "Anak maniiss ... Sini Oma peluk." Melihat keceriaan itu, Centana dan Tuan Adam tersenyum. Sementara Juna memutar bola matanya dan mulai merasa tidak nafsu makan lagi.
"Mau ke mana kau, Jun?" tanya Tuan Adam ketika Juna hendak berdiri.
“Berangkat kerja."
"Kau tunggu di sini. Tunggu istrimu selesai makan, lalu antar dia ke tempat tujuannya."
Juna melongo. Hari masih pagi, tapi kesialan sudah menduduki kepalanya. "Tapi, Pap, aku nanti telat ker--"
"Antar dia, Juna. Urusan kerja biar Papi yang urus."
Juna melirik tajam ke arah Centana. Wanita itu memalingkan muka dengan canggung. Ia sendiri pun tidak ingin berada satu mobil dengan lelaki manja yang tadi pagi sudah menodai matanya yang suci itu. Menodai ... Pipi Centana merona merah. Bayangan di dalam kamar mandi itu kembali menampakkan wujud di dalam kepalanya. Ia menepis-nepiskan udara di atas kepala.
"Sedang apa kau?" tanya Nyonya Linggar. Centana terhenti dan terhenyak. "Ti-Tidak apa-apa. Tidak ada apa-apa," ucapnya gagap, sambil melirik Juna dan nyengir. Lelaki itu memelototinya sambil mengarahkan jari telunjuk, lalu menggerakkan telunjuk itu di leher. Seolah berujar pada Centana: Kau akan mati setelah ini!
Centana menelan ludah. Kepalanya tiba-tiba terasa sangat berat. []
~ bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...