DUA PULUH SATU: Semoga Berhasil

3.3K 206 4
                                    


Dalam pertemuan awal di ruang kantor Adam Bumi Saputra Hutama itu, mereka berdua berhasil membuat Kentaro dan Juna terkejut, walau pada akhirnya, Kentaro lebih bisa menguasai diri dan menutup keterkejutannya dengan tetap bersikap cool dan mengangguk patuh seperti biasanya pada Tuan Adam. Sementara Juna, lelaki itu sampai melongo. Ia tidak habis pikir, bagaimana nasib buruk membuatnya juga harus bertemu Centana di kantor.

“Apa yang Papi pikirkan, sih?!” protes lelaki itu sambil menunjuk ke arah Centana dan mencibirnya dengan mengeluarkan bunyi ‘cih’ yang cukup keras, membuat wanita itu menyeringai dengan perasaan bersalah. Melihat wajah aneh yang dibuat istrinya, Juna memalingkan muka dengan kesal.

“Papi pikir, Centana juga butuh penyegaran,” jawab Tuan Adam dengan tenang dan berwibawa, seperti biasanya saat setiap kali menanggapi keluhan Juna.

“Penyegaran ... Papi pikir kantor ini taman kanak-kanak, apa?!”

“Menurutmu sendiri ... Apa yang sudah kau lakukan selama hampir tiga minggu ini, Juna? Bekerja?”

Juna mengatupkan bibir dan bungkam. Ia tidak bisa berkutik dan membantah lagi.

“Ken, apa kau sudah memanggil Nyonya Liem kemari?” tanya Tuan Adam sambil mengalihkan wajah ke arah Kentaro yang berdiri tepat sejajar dengan Juna.

“Sudah,” jawab Kentaro.

Tidak seberapa kemudian, suara pintu diketuk. Kentaro memutar tubuh, berjalan ke arah pintu dan membukanya. Nampak seorang wanita Tionghoa bertubuh sedikit lebih pendek dari Centana, gendut, berkulit bersih, dengan perut membuntal, berdiri di balik pintu. Ia mengangguk ke arah Kentaro, lalu berjalan anggun dan sopan, menyapa Tuan Adam dan Juna. Senyumnya merekah, tapi berangsur-angsur surut ketika matanya tertambat pada Centana yang berdiri di samping Tuan Adam.

“Bagaimana kabar Anda, Nyonya Liem?” sapa Tuan Adam dengan mengulas senyum. Lelaki tua itu memang terkenal ramah pada semua karyawannya. Itu pulalah alasan mengapa ia berhasil membangun kerajaan yang megah dan kuat.

“Baik, Tuan. Ada yang bisa saya bantu? Mengapa saya dipanggil kemari sepagi ini?”

Tuan Adam berdiri dan merengkuh bahu Centana. “Perkenalkan, ini Centana—”

“Ah, siapa yang tidak kenal dengannya, Tuan. Saya sudah melihat wajah Nyonya Muda di koran. Saya merasa bahagia bisa menyapa dan bertemu langsung di sini, dan—” Celoteh wanita empat puluh empat tahun itu terhenti seketika, saat Kentaro berdehem di sampingnya. Ia jadi serba salah. “Ma-maaf,” ujarnya kemudian, lebih lirih. Ia mengulas senyum di bibir dengan canggung. Melihat itu, Centana tersenyum. Sejak tadi, ia pikir Nyonya Liem adalah perempuan yang gigih dalam bekerja dan tentu saja pasti menakutkan. Tapi ternyata salah. Nyonya Liem yang berdiri di depannya itu adalah wanita berpipi cubby yang lucu dan banyak bicara. Nyonya Liem bahkan sempat melambaikan tangannya gemuknya ke arah Centana saat berbicara tadi.

“Tidak apa-apa,” jawab Tuan Adam. “Mulai hari ini, saya titipkan menantu kesayangan saya ini pada Anda, Nyonya. Bantu dia mempelajari tugas-tugasnya, dia yang akan menggantikan Anda saat cuti nanti.”

Mendengar kata ‘menantu kesayangan’ keluar dari bibir ayahnya, Juna merasa mual. Rasanya ia ingin segera pergi dari tempat itu.

“Aahh ..., Anda ini romantis sekali, Nyonya Centana,” ucap Nyonya Liem dengan malu-malu. Pipi cubby-nya bersemu merah.

“Maksudnya?” tanya Centana tidak mengerti.

“Saking cintanya Anda pada Tuan Muda, Anda sampai mendampinginya di kantor dan melayani keperluannya di sini. Saya jadi ingin pulang dan memeluk suami saya di rumah.”

“Nyonya Liem ...,” tegur Kentaro sekali lagi.

“Oh, oh, maaf. Lagi-lagi saya tidak bisa mengontrol diri saat bahagia ....”

Raut wajah Nyonya Liem begitu menyesal. Dengan cepat ia menutup bibirnya yang tersapu warna pink tua, sambil menundukkan kepala. Sementara itu, Tuan Adam tertawa. Sungguh, Nyonya Liem telah berhasil mencairkan ketegangan di ruangan itu ketika mereka berempat—Tuan Adam, Centana, Juna, dan Kentaro—bertatap muka tadi. Tapi kebahagiaan itu sama sekali tidak dirasakan oleh Juna. Sedikit pun. Lelaki itu masih saja merengut dan dongkol. Mulai saat ini, neraka akan benar-benar berhasil menggapainya hingga di tempat kerja. Padahal selama tiga minggu lalu, ia mau bekerja hanya karena di kantor inilah satu-satunya tempat yang tidak menampakkan sosok istrinya. Sedangkan Centana, hati wanita itu merasa lega. Ketakutan yang terpilin sejak pagi tadi ternyata tidak terwujud. Ia yakin, dirinya bisa ‘diterima’ nanti.

***

Mula-mula, sebagai perkenalan, Nyonya Leim mengajaknya berputar-putar dengan penuh semangat dan memperkenalkan pada setiap staff pemasaran yang ada di kantor itu. Tidak luput satu pun. Nyonya Liem selalu berkata, “Lihatlah, Nyonya Muda kita akan mendampingi suaminya bekerja di sini! Bukankah pasangan ini sangat romantis?” dengan suara menggelegar dan bahagia, membuat Centana malu setengah mati—karena tentu bukan seperti itu kenyataan kehidupan pernikahannya dengan Juna: PASANGAN ROMANTIS, omong kosong yang sangat besar—dan berkali-kali harus menampilkan senyum canggung pada semua orang.

Setelah berhasil mengelilingi seluruh sudut kantor bagian pemasaran, Nyonya Liem mengajak Centana ke kantor bagian lain. Kali ini ia tidak seheboh tadi. Nyonya Liem lebih sopan dan anggun. Mungkin karena bukan di sinilah ‘daerah kekuasaannya’, demikian pikir Centana. Terakhir, mereka menuju ke kantin. Oh, syukurlah, aku sudah lelah, batin Centana. Kakinya terasa pegal. Gedung sebesar itu tentu saja membuatnya lelah.

Nyonya Liem masih nyerocos dan menunjukkan satu per satu sudut kantin yang sangat luas itu, tetapi Centana sudah tidak mendengarkannya lagi. Mata wanita itu tiba-tiba menemukan sesuatu. Seorang wanita muda berambut lurus sebahu, yang tengah berjalan membusung dada ke arahnya.

“Oh ... Well, well ... Coba tebak, siapa yang datang ke tempat ini?” ujar wanita itu, Sabrina Ong. Dengan genit, Sabrina memutar-mutar kunci mobil dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Blazer hijau lumutnya tersampir begitu saja di kedua bahu, tanpa memasukkan kedua lengan.

“Se-Selamat pa-gi, Nona Sabrina,” ujar Nyonya Liem sambil menundukkan kepala dengan hormat, tapi sapaan itu tidak diacuhkan Sabrina.

“Hai,” sapa Centana.

Sabrina mengangkat satu alis. “Hai?” Matanya melirik ke atas, sementara bibirnya ditarik ke sisi kiri. “Apa seperti itu salam seorang anggota baru Hutama?” ejeknya lagi. Centana menarik napas panjang dan menekan di dada. Ia tahu, seharusnya ia menghindari wanita ini.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Sabrina.

“Eehh, Nyonya Muda mulai hari ini akan—”

“Aku tidak sedang bicara sama kau, Gen-Dut!” Sabrina membulatkan kedua matanya pada Nyonya Liem. Tatapan dingin dan menusuk itu seolah mampu menyusutkan tubuh besar milik Nyonya Liem seketika.

“Aku akan bekerja di sini.”

“Ooohh ... Menarik. Selamat datang di perusahaan.” Sabrina menjawab dengan nada cuek, lalu berjalan mendekati Centana dan berbisik di telinganya. “Semoga berhasil.” Ia tesenyum sinis, kemudian berlalu pergi. Langkah sombongnya menggetarkan lantai di mana Centana berpijak.

“Dia adalah ‘sebuah masalah’ di tempat ini,” desis Nyonya Liem.

“Aku tahu itu,” balas Centana. Mata wanita itu masih menekuni punggung Sabrina yang semakin menjauh. []

~ bersambung

#faith #mysecondmarriage #ajengmaharani #novel #romance #novelwattpad #wattpadindonesia #wattys2018 #perselingkuhan #pernikahankedua #rumahtangga #cintakedua #centana #juna #kentaro #facebookfanpage #galeriajengmaharani

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang