SATU: Panggilan Tak Dikenal

9.5K 490 12
                                    

'Juli, Minggu ketiga. Dear, Amalia. Betapa tenangnya kami tanpa kalian ...'


Centana menutup buku itu ketika bertepatan dengan suara telepon menggetarkan udara di dalam kamar kosnya. Bunyi itu memantul-mantul di dinding, membuat Centana yang pada awalnya tengah terkuasai perasaan lelah, menjadi kalang kabut. Pukul sembilan malam, kedua bocah terkasihnya telah terlelap. Centana tidak ingin mereka terbangun dan kembali memporak-porandakan waktu yang kini telah menjelma keheningan itu.

Ponsel itu diketemukannya di sana, di atas tas rajutnya yang tergeletak begitu saja di ubin. Ia baru saja pulang dari sebuah petualangan yang melelahkan. Ia mencari sebuah pekerjaan, tapi lagi-lagi, hasilnya nihil. Wanita tiga puluh tahun itu tahu, jika keadaan ini terus berlanjut, tabungannya akan terkuras dan keadaan bisa semakin gawat. Dan ia tidak ingin itu terjadi.

Layar ponsel itu menunjukkan sebuah nomor yang tidak dikenalinya. Kedua alis Centana mengerut. Ia mencoba mengorek ingatannya, tapi tetap tidak menemukan sesuatu di dalam sana. Dan tanpa membiarkan dering itu mengganggu ketenangannya lebih lama lagi, ia segera menekan layarnya.

"Iya, halo?" ucap Centana dengan suara sedikit berbisik. Diliriknya bocah-bocah yang tengah tertidur di atas kasur lipat yang tergelar begitu saja di atas ubin. Mereka begitu pulas. Dan polos.

“Apa saya bisa berbicara dengan Nona Centana?"

Suara seorang lelaki. Bernada tegas namun lembut.

"I-Iya ... Sa-ya sendiri."

“Syukurlah. Saya kira saya akan mendapatkan nomor yang salah."

Centana semakin tidak mengerti. Keningnya mengerut. Lebih dalam dan berlipat.

"Bisakah kita bertemu, Nona?"

"Ma-af. Ini si-siapa, ya ...?" Centana bertanya dengan penuh keraguan.

“Nanti Anda akan tahu jika kita sudah bertemu. Untuk saat ini, saya bersyukur karena telah menemukan Anda, Nona Centana. Saya benar-benar merasa bahagia, dan ingin hidup lebih lama lagi dari sebelumnya."

Malam itu, ketika percakapan itu berakhir setelah sang penelepon memberikan tempat dan waktu pertemuan, Centana tidak mampu memejam mata. Ada keganjilan yang melesak di dalam dadanya. Keganjilan yang teramat aneh. Di satu sisi, Centana menganggap ini ulah seseorang yang tengah mencandainya. Pasti ini sebuah lelucon yang teramat payah. Tapi di sisi lain, sedikit harap itu muncul. Centana berpikir, bisa jadi lelaki itu adalah salah satu pemimpin perusahaan (atau mungkin bagian SDM), di mana ia telah menitipkan surat lamaran pekerjaan, karena tentu saja tidak mungkin ada yang tahu nomor teleponnya selain mereka. Bisa jadi, ini adalah sebuah kesempatan bagi ia dan anak-anaknya, bukan?

Pikiran-pikiran itu, dan pertanyaan demi pertanyaan itu, terus saja menghantui pikirannya. Hingga pagi yang masih buta merayap datang, dan ia terpaksa bangun untuk bersegera ke kamar mandi. Ia harus mencuci baju yang semalam telah direndamnya, karena jika tidak, air ledeng akan berhenti mengalir pada pukul lima pagi.

Kota yang menyedihkan, batin Centana. Tapi semenyedihkan bagaimanapun, ini adalah pilihannya. Centana tahu itu. Dan dirinya tidak layak untuk mengeluh.

***

"Bunda mau pergi lagi, ya?"

Dengan manja, Gishel memeluk punggung Centana. Bocah sepuluh tahun itu merebahkan kepala, tangan-tangan kecilnya merapat begitu erat, dan ia mulai merasakan kehangatan yang begitu dirinduinya.

Karena merasa bersalah atas waktu-waktu yang ia khianati, Centana menghentikan pulasan bibirnya. wanita itu mengembus napas kecil sejenak, lalu meraih lengan Gishel yang melingkari perutnya, dan menarik lembut ke depan. "Iya, Sayang. Kakak Gishel yang sabar dulu, ya. Bunda mau cari kerja. Kakak dan dedek ikut Budhe Sri dulu, ya," ujarnya kemudian, sambil menepuk-nepuk lembut tangan mungil itu.

“Tapi Gishel kangen Bunda. Gishel pengen maen sama Bunda."

“Kakak ...," Centana memutar tubuh hingga berhadap-hadapan dengan putri sulungnya," Bunda juga ingin main sama kakak dan dedek. Ingiiinnn sekali. Bunda juga sangaaattt kangen kalian." Ia merengkuh tubuh mungil Gishel dan memeluknya erat. "Tapi untuk saat ini, Bunda harus cari kerja. Jika tidak, kita mau makan apa? Siapa yang akan memberi Kak Gishel uang jajan? Hayoo ..."

Centana mengulas senyum dan mengecup kening Gishel ketika bocah itu semakin menenggelamkan tubuhnya ke pelukan sang ibu.

"Kakak sayang Bunda, kan?"

Gishel mengangguk pelan.

“Bunda juga sayaaaanggg sekali sama kakak. Sayang sama dedek juga. Karena itulah Bunda butuh pekerjaan, agar kakak dan dedek bisa sekolah, makan, jajan ..."

"Makan es krim?" Gishel mengangkat kepalanya dan menatap Centana dengan mata bulat yang berbinar-binar. Ada sekumpulan kunang-kunang di dalam sana. Berkelip. Terbang dan bernyanyi-nyanyi kecil.

“Iya, es krim."

"Beli leggo baru?"

Centana mengangguk. Mengulas senyum. Melihat itu, Gishel juga tersenyum. Bocah itu kembali menenggelamkan kepalanya dalam dada Centana yang teramat hangat. Bau tubuh Centana menyapa cuping hidungnya. Ia menghirup dalam-dalam, menyimpan untuk seharian ini nanti, sampai pada akhirnya ibunya pulang dan memeluk kembali.

"Bunda," desah Gishel.

"Iya, Sayang?"

Centana mengelus ujung kepala bocah itu.

"Kapan kita pulang ke rumah?"

Dada Centana seketika terpukul. Rasa sesak itu menyusup tanpa ampun. Rumah ... Kapan kita akan pulang ke rumah? Kenapa kita tidak pulang saja ke rumah?

Rumah ...

“Kita tidak akan pernah pulang, Sayang. Kita sudah tidak punya rumah lagi. Maafkan Bunda, ya ...”

***

Ia mengusap keningnya yang kuyup oleh keringat itu dengan punggung tangan. Matahari dan asap panas dari kendaraan yang lalu-lalang di depan halte membuatnya gerah. Sesekali, ia memutar pergelangan tangan dan mengamati layar jam tangan merahnya. Pukul satu siang, ia mendesah gelisah. Ia sudah terlambat untuk bertemu dengan lelaki misterius yang meneleponnya semalam.

Setengah jam lebih ia berdiri di depan halte itu. Angkutan umum yang ditungguinya belum juga muncul. Surabaya lebih payah ketimbang kota kelahirannya. Dan sangat panas. Penuh bau tubuh yang menyesakkan napas dan suara-suara riuh dan pikuk.

Centana berkali-kali mencoba menahan mual. Tidak biasa ia naik kendaraan umum, tapi saat ini, segalanya telah berubah. Ia harus juga bisa berubah. Setiap kali Centana ingin menyerah, ia akan memejam mata sejenak. Mencoba mencari dua sosok mungil yang memenuhi jiwanya, lalu mengecupnya satu per satu di alam bawah sadar itu. Memeluk. Mengecup kembali. Lalu ia akan mampu tersenyum dan bergairah kembali setelah itu.

Tidak lama kemudian, angkutan umum berwarna oranye gelap itu pun muncul. Dua orang lelaki kekar keluar dari tubuhnya, lalu seorang lagi. Setelah mereka semua pergi dan yakin tidak ada yang turun, Centana pun menaikkan kakinya. Isi angkutan umum itu tidak terlalu sesak, ia bersyukur untuk itu dan sekali lagi memutar pergelangan tangan. Pukul satu lebih lima belas menit. Ia telah terlambat satu jam lebih. Waktu makan siang telah lewat. Di dalam hati, Centana berpikir, akankah lelaki itu masih menunggui kedatangannya?

Hingga detik ini, lelaki itu tidak menghubunginya kembali, dan Centana mulai meragukan keputusannya untuk datang ke tempat itu ... []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang